Seindah apapun mimpi, semua itu tidaklah nyata. Kita tetap harus bangun dan menghadapi kenyataan. Meski hati menginginkan untuk tinggal, tapi raga tak bisa mengelak kenyataan. Tidak semua hal yang kita impikan baik untuk kita. Terkadang, kita memang harus merelakan kenyataan pahit menjadi bagian dari diri kita.
"Sian…Tolong…Ini..Ini ..Kakang …Mas…Sian. Lepaskan" pintanya.
Professor Surya sudah hampir kehabisan nafas. Kadar oksigen yang masuk ke tubuhnya berkurang drastis. Cengekeraman Sian pada lehernya terlalu kuat. Jika saja, jika saja ia memilih untuk berfikir panjang terlebih dahulu. Jika saja logikanya masih jalan tidak didahului nafsu, mungkin ia tak perlu mengalami semua ini.
"Saya…saya….sa…." kata pria itu memelas. Nyawanya sudah diujung tanduk.
Maya yang melihat hal itu gemetar ketakutan. Ia tak tahu harus berbuat apa? Di satu sisi majikannya salah. Di sisi lain, ia tak ingin tuannya mati ditangan Sian meski itu adalah akibat perbuatannya sendiri. Apa boleh buat, laki-laki memang kadang mudah tergoda dengan apa yang ia lihat dan hatinya inginkan.
"Jika Kau tidak melepaskan ayahku, aku akan membunuhmu dengan tangaku sendiri!"
Sian menoleh. Entah sejak kapan seseorang sudah mendekatkan pisau buah ke lehernya. Ia menatap pria itu dan melepas cengkeramannya pada Profeseor Surya seketika. Professor Surya jatuh ke lantai.
"Ndoro" kata Maya berlari mengampiri Professor Surya.
Ia beberapa kali terbatuk. Ia hirup udara sebanyak yang ia mampu. Tubuhnya benar-benar minus oksigen. Satu menit saja terlambat, tentu nyawa sudah melayang.
Pria dengan pisau melihat sang ayah dengan risau.
"Seperti inikah wanita yang dicintai ayahku? Keji, dingin bahkan rela membunuh tanpa belas kasih?"
Sian tak bergeming. Baginya, membunuh adalah bagian dari hidupnya. Sejak ratusan tahun lalu, sudah tak terhitung berapa jumlah manusia mati ditanganya. Ada yang mati tanpa sebab tak jarang mereka mati karena ulahnya sendiri. Semua itu terjadi begitu saja.
"Dia masih hidup. Apa yang Anda takutkan?"
"Kau…"
Kata-kata umpatan Ardian tertahan di tenggorokan. Ia tak menyangka, wanita yang membuat sang ayah gila sampai hampir mati bukan bidadari dari surga yang manis melainkan malaikat pencabut nyawa. Jika hari ini ia tidak menyempatkan diri mampir ke villa, entah apa yang akan terjadi? Bukan tidak mungkin, nyawa sang ayah sudah melayang.
"Anda harus mempertangung jawabkan perbuatan Anda kepada polisi" kata Ardian "Maya, tolong panggil polisi yang ada di lantai bawah!" perintahnya.
Maya mengaguk, ia bergegas pergi. Namun sang ayah mencegahnya.
"Ini semua bukan salah Professir Sian" jelasnya terbata. "Semua ini salah ayah. Ayahlah yang telah membuat Professor Sian mengambil tindakan seperti ini. Tolong, sudahi saja masalah ini. Anggaplah tidak pernah terjadi"
"Tapi ayah, apakah ayah sadar? Ayah hampir mati dibuatnya?"
Professor Surya menggeleng. Ia mengisyaratkan Maya agar membantunya berdiri.
"Ini semua salah ayah, Ardian. Kalau Kau masih menganggapku ayah, tolong jangan perpanjang masalah ini"
Professor Surya tak memberi Ardian pilihan. Mau tak mau ia harus menurutinya. Jika guru kencing berdiri maka murid kencing berlari. Semua akan diturunkan dari contoh yang kurang baik menjadi semakin buruk.
"Orang macam apa yang ayahku sukai ini?" keluh Ardian.
Ia merebahkan diri dan mengambil ponsel untuk melihat sendiri kejadian yang sebenarnya. Adegan demi adegan tak membuatnya sadar. Bagi Ardian, semua yang ayahnya lakukan adalah benar.
"Wanita kejam, aku tak akan memanggilmu ibu seumur hidupku!"
Sian menghindari ponsel pintar yang Ardian lempar ke wajahnya. Jika sang ayah sudah sangat membuatnya geram, Ardian tak lebih baik.
"Jadi, menurutmu, yang ayahmu lakukan itu benar?"
"Tidak ada yang salah!" jawabnya cepat! "Bahkan kalian akan menikah, apa yang salah dengan perbuatan ayahku? Cepat atau lambat kalian akan menikah! Itu bukan alasan yang baik untuk mencekik seseorang!"
Sian melirik ke ponsel di lantai. Ia melirik adegan yang kembali di putar ulang.
"Berapa istri kau miliki?"
"Istri? Aku punya lebih dari tiga? Tidak satupun sama sepertimu. Mereka adalah wanita baik-baik yang bahkan rela melayaniku meski aku tak memberi mereka nafkah sekaliapun. Wanita memang ditakdirkan untuk melayani laki-laki.
Jangan karena ayahku tergila-gila padamu, kau jadi se-enaknya. Kau tau? Bahkan Maya yang lulusan luar negeri pun rela menjadi asisten rumah tangga ayahku. Artinya, hanya tinggal menunggu waktu saja ayah akan segera membuangmu.
Ada ratusan wanita cantik mengantre untuk dinikahi oleh ayahku. Tak satupun bengis sepertimu!" ejek Ardian.
Sian berjelan mendekati Ardian. Dilihatnya lekat-lekat angkuh lawannya bicara.
"Berhenti! Apa yang Kau lakukan?" perintahnya.
"Kau seorang kepala daerah?"
"Benar" jawabnya dengan penuh kesombongan. Sian melirik tanda pengharagaan di baju yang Ardian pakai. Ia bukan kepala daerah sembarangan. Harta, tahta dan wanita.
"Lihat dirimu, Kau bahkan terkesima melihat semua penghargaan ini. Jika Kau meminta maaf pada ayahku. Mungkin, aku akan memaafkanmu, Wanita!"
Sian semakin medekat. Tak digubrisnya apa yang Ardian katakan. Ocehannya bagaikan suara radio rusak ditelinganya. Ia mengangkat tanganya dan menyentuh dada pria itu. Dilihatnya satu persatu tanpa pengharagaan yang disematkan di sisi kanan dan kiri.
Jantung Ardian tiba-tiba berdetak kencang tak karuan. Ia merasa gugup. Ini pertama kalinya ada seorang wanita berani mendekat dan menyentuh tanda penghargaan yang ia kenakan. Bahkan sang istri di rumah pun, tak pernah melakukan hal ini sebelumnya.
"Jangan memprovokasiku!" perintah Ardian pelan dalam suara gematar.
Tangan sian meraih kemeja Ardian dengan posisi mencengkeram. Keringat menetes ke punggng Ardian dari leher begain belakangnya. Ada perasaan takut, cemas dan bahagia bercampur menjadi satu.
"Pria memang hanya mahluk yang bejalan berdasarkan nafsu mereka!"
Ardian melempar tangan Sian seketika. Kalimat Sian terlampau tajam ditelinganya. Fantasinya tentang Sian lenyap seketika.
"Dengan segala hormat Nona, tarik kata-kata Anda!"
Amarahnya Ardian naik dari hati ke kepala.
"Kau tahu, aku bisa saja melenyapkan Anda tanpa ada satu pun yang mengingat nama Anda di muka bumi ini. Jika bukan karena menghormati ayah saya, maka saya sudah tidak mau lagi bicara dengan seorang pembunuh berdarah dingin seperti Anda! Bahkan berada di sini pun Anda tidak pantas!" teriaknya memaki membalas ejekan Sian.
"Jadi Tuan gubernur ini merasa diri lebih baik dari saya?"
Wajah Ardian memerah seketika.
"Sebenarnya saya pun enggan berhadapan dengan Tuan. Jika bukan karena Tuan merekayasa kasus Tuan Robert, saya pun tidak akan berada di sini. Perlindungan saksi? Perlindungan macam apa yang Anda tawarkan? Bahkan ini lebih mirip dikatakan penculikan!"
Ardian tertawa senang
"Kau sudah tau rupanya! Ini bagus. Kasus Robert memang aku yang membuatnya! Kau tahu? Jika orang sekelas Robert saja bisa aku kalahkan, bukankah berarti Kau yang tak memiliki pelindung apapun juga bisa aku leyapkan?
Berhentilah membuat masalah! Nasibmu ada di tanganku!"
Plak!!! Tamparan mendarat di pipi Ardian. Seketika mulutnya berhenti bicara.
"Tolong, bersikaplah hormat kepada orang yang lebih tua!"