"Apa yang sudah Kau lakukan, hingga membuatmu setakut ini?"
Vira mematung. Ia tak bisa menjawab apapun pertanyaan Sian. Seseorang mengancamnya pasti sudah mengancamnya.
Sian membuka lemari, dicarinya pakaian yang pas untuk dirinya. Hanya ada satu dan tidak ada pakian lain di lemari itu. Ia terpakasa mengganti gaun pengantin dengan pakian tidur yang ada.
"Kau tampak gugup sekali, jika orang lain melihatmu sekarang mereka akan langsung menyadari Kau telah melakukan sesuatu yang tidak benar" desak Sian sambil sembari mengganti pakaian.
"Tidak Nyonya. Saya melihat bukan melakukan sesuatu, sa ..saya…"
"Sssst"
Sian meminta Vira berhenti bicara. Ia mendengar keributan. Langkah kaki seseorang yang cukup berat sambil berlari kian mendekar.
"Nyonnya" katanya sambil mengetuk pintu. "Tuan pingsan"
Apa tidak mungkin, gumam Vira lirih. Ia semakin ketakutan. Kakinya kehilangan kekuatan seketika. Wajahnya tampak pucat.
"Nyonya, saya tidak"
Sian membuangkam mulut Vira. Ia tak ingin Sulastri mendengar apa yang Vira ucapkan. Tangan Sian meraih mulut Vira tepat pada waktunya.
"Panggil ambulance segera"perintah Sian denagn suara keras. "Saya akan keluar setelah berganti baju"
"Baik, Nyonya"
Langkah kaki itu pun menjauh. Perlahan tangan Sian pergi dari mulut Vira.
"Bukan saya yang melakukannya sungguh. Bukan saya Nyonya"
Sian merapikan rambut secepat yang ia bisa. Meski ia tak mencintai sang sumai, tapi tugasnya adalah memastikan ia baik-baik saja.
"Tetaplah di dalam jangan keluar. Jika orang lain melihatmu sekarang, mereka akan mencurigaimu. Apa kau mengerti?"
Vira bersembunyi sesuai perintah Sian. Di luar Sian melihat dokter probadi professor Surya sibuk memberikan pertolongan pertama. Keadaan cukup kacau. Untunglah para tamu sudah tidak ada. Pria itu terlihat tak berdaya.
"Apa yang terjadi?"
Dokter menggeleng.
"Suami Anda tiba-tiba terjatuh setelah meminum sesuatu di sana. Nafasnya terlihat berat, kita harus membawanya ke rumah sakit. Ia butuh bantuan ventilator."
Sian mengamat-amati Professor Surya. Ia bukan dokter, jadi ia tahu apa yang terjadi. Ia mencoba merasakan detak jantung pria itu. Meski pun sangat lemah, tapi ia masih bisa merasakannya. Tak lama, sulastri berteriak memberi kabar bahwa ambulance telah datang.
Ardian langsung menutup ponselnya dan berlari membatu pertugas medis mengangangkat sang ayah. Ventilator dipasang, alat pemicu jantung juga segera mereka tata. Dekat jantungnya sangat lemah sekali. Mereka memutuskan membawa pasien ke rumah sakit untuk penanganan lanjutan.
"Tinggal di sini dan jangan kemana-mana" perintah Ardian saat meilihat Sian hendak mengikuti masuk ke ambulance.
Sian kehilangan kata-katanya. Pria itu sungguh paranoid, pikirnya. Ia pasti berfikir, ini bisa menjadi celah kabur bagi Sian. Sungguh dangkal sekali otak pria ini.
Kepanikan di rumah sore itu, segera berlalu begitu saja. Mobil ambilance meninggalkan rumah dan keheningan kembali terjadi. Para asisten rumah tangga mulai membersihkan sisa-sisa pesta. Beberapa polisi memberi garing kuning dan mengecek gelas yang suaminya minum.
"Katakan apa yang kau lihat?" Tanya Sian langsung pada intinya sambil menyantam makan malamnya di kamar.
Keputusnnya menagan menahan Vira adalah tepat. Ia tidak membiarkan wania itu pergi dengan satu alasan. Vira mengetahui sesuatu yang tidak orang lain ketahui.
"Saya melihat Tuan Ardian mengaduk jus yang tertinggal di meja. Jus itu menjadi merah. Saya tak tahu apa yang terjadi. Saya hanya melihat ia mengaduk."
"Benarkah? Jus berubah warna? Ia pasti memasukkan sesuatu ke dalamnya. Mereka akan mencari tahu apa itu" jawab Sian santai.
"Apa Tuan baik-baik saja, Nyonya?"
"Tergantung dari sisi mana kau melihatnya. Jika Kau jadi aku, ya ia baik-baik saja. Ia masih bernafas meski tak sadarkan diri. Tapi sejauh mana kondisinya, aku tak tahu. Mereka mengurungku di sini."
"Bagimana bisa mereka mengurung Anda?"
Pertanyaan polos Vira membuat Sian tersentuh. Ia benar-benar gadis polos baik-baik yang menghawatirkan orang lain.
"Banyak hal terjadi di luar kendali kita Vira. Semakin usia kita bertambah, masalah kita semakin pelik"
Sian melanjutkan makan malamnya dengan elegan. Diam-diam ia mencoba berfikir bagaimana caranya memanfaatkan situasi saat ini. Apakagi saat ini, motof Ardian masih belum jelas. Jika ia membenci dirinya, mengapa ia tak langsung saja meracuninya. Mengapa justru sang ayah?
"Kau harus tinggal di sini, Vira." Perintah Sian.
Di rumah sakit, para dokter spesialis mencoba menganalisa apa yang terjadi pada pasien spesial ini. Ia bukan hanya seorang guru besar yang berpengaruh tapi juga anak adari seorang tokoh masyarakat. Mereka harus melakukan yang terbaik, atau. Konsekuensi akan menimpa mereka.
Ardian menunggu di luar. Berkali-kali ia lirik jam tangan mewah yang terpasang di pergelangan tangannya.
"Aku takut, kita akan kehilangan beliau" gumam dokter pribadi yang tadi memberikan pertolongan pertama.
Wanita itu merasakan firasat yang kurang baik. Ia memang bukan dokter spesialis penyakit dalam, tapi tanda-tanda vital pasein tampak melemah sesaat sebelum masuk ruang emergency.
Sakit kepala sebelah tiba-tiba menyerang Ardian begitu hebat.
"Obat?"
Ardia menoleh. Menatap tajam dokter pribadi ayahnya itu. Wanita itu tampak terkejut. belum pernah sebelumnya Ardian memberinya tatapan seperti itu.
"Tidak, terima kasih"
Dua jam berlalu, dokter yang menangani memberi tahu keadanya. Kita tak pernah mengharapkan hal buruk terjadi. Hanya kadang, kita harus menghadapinya. Tak ada jaminan pria itu akan selamat.
Ardian meninggalkan dokter tanpa sepatah katapun. Ia pacu mobilya secepat yang ia bisa untuk tiba di rumah. Orang pertama yang ia cari adalah istri baru sang ayah.
"Ayahku sekarat dan kau di sini menikmati makan malammu?"
Ardian mengecengkeram leher Sian.
"Kau menyuruhku tinggal. Apa lagi yang bisa aku lakukan?"
"Kau sengaja membuat ayahku seperti ini? Inikah yang Kau katakanan, setiap orang yang menikah denganmu akan mati?"
Sian tetap tenang dan tidak terprovokasi. Ia sedang mamainkan perannya dengan baik.
"Kaulah yang menyebabkan semua ini dan kini Kau menyalahkanku? Putraku, aku sudah memperingatkamu!"
"Benarkah? Ibu birkan aku membunuhmu!"
Sian tertawa lepas seketika. Wajah Ardian membuatnya tahu, apa yang ia pikirkan adalah benar.
"Kau yang merancangkan semua ini karena frustasi? Kau menginginkan dia mati lebih dari siapapun. Kau bahkan memercayai kutukan yang aku ceritakan? Dan itu tidak terjadi sampai hari H pernikahan?"
"Dengan segala hormat, ibu"
"Ibu?" bantah Sian. "Kau mulai memanggilku ibu? Apa kau ingin jadi pahlawan Ardian? Kau meracuni ayahmu. Kau memasukkan sesutu pada jus terakhir di meja. Jus jeruk itu menjadi merah dan manis. Tak berapa lama setelah ayahmu meminumnya.
Biar kutebak, ia terkena serangan jantung akibat asam lambung mendesak seluruh oragan tubuhnya. Jadi apa alasan dibalik semua ini? Jangan katakana Kau jatuh cinta padaku sekarang"
"Apa yang membuatmu sepercaya diri ini?"
Ardian melepaskan Sian.
"Kalau pun Kau mengatakan semua itu, percayalah mereka akan lebih percaya padaku dari pada Kau. Seorang wanita yang menikahi duda demi harta."
"Kau telah merencanakan semua ini"tebak Sian. Wajah Ardian menyiratkan skenenario matang yang tak terbantahkan.
"Benar, lagi pula tidak ada salahnya membiarkan ayah kembali ke sisi ibu. Dia telah mengurung diri dalam waktu yang lama sejak kematian ibu. Ia sangat mencitai ibuku. Jadi mengapa aku tak membantunya?"
"Itukah mengapa pesta pernikahan ini lebih mewah dari pesta manapun?"
"Tepat sekali! Ini akan menjadi pesta terkhir ayahku. Lagi pula bukankah Kau sendiri yang mengatakan. Siapapun yang menikah denganmu akan mati? Aku hanya ingin membantumu mewujudkan kutukan itu!"
"Ayahmu telah mengganti isi surat wasiatnya belum lama ini"
"Lalu? Dimana letak keanahannya? Aku akan menikahimu setelah ayahku mati. Sebagai bentuk pertangung jawaban dari pihak keluarga"
Ardian memeluk Sian. Meski ia memberontak, pelukan itu makin erat.
"Berhentilah melawan. Aku menceraikan semua istriku demi Kau. Tidak adakah penghargaan sedikit saja untukku? Lihat, dirimu. Kau benar-benar cantik dan muda. Kau tidak hanya membuat ayahku tergila-gila, tapi juga mebuatnya terbaring di rumah sakit
Dengan satu kalimat dariku, akan bisa membuatmu mendekam di penjara selamanya. Jadi mengapa kau tak menyerah dan mengikuti semua ini dengan baik? Bukankah menjadi istri seorang gubernur akan lebih terhormat? Lagi pula, umurku lebih muda darimu. Bukankah itu suatu keberuntungan?"