Tuhan memberi kita dua telinga dengan maksud agar kita cepat mendengar tapi lambat berkatkata. Biarlah semua hal yang keluar dari mulut kita dalah kata-kata pujian bukan sebaliknya. Jika langit selalu biru dan jalan selalu rata, tidak! Bukan itu yang akan terjadi dalam hidup ini.
"Bukankah Kau tahu gelang ini akan meledak jika aku bertindak agresif?"
Ardian semakin erat memeluk Sian, ia mengambil tangan dengan delang peledak dan tertawa.
"Tapi akulah yang memiliki alat pemicunya sekarang. Apa yang Kau harapkan? Kita mati bersama?"
Ardian melempar Sian ke tempat tidur.
"Rahmawati, Sila, Wida dan Laras memohon untuk bisa tidur di sini selai lagi. Tapi aku mengabaikannya" jelas Ardian sambil membuka bajunya.
"Kau tahu?! Kau harusnya bahagia! Kau akan menjadi satu-satunya wanita yang ada di sisiku. Aku memiliki harta, kekuasaan dan semua orang memujaku. Oh, aku bisa memuat siapapun orang yang kau benci lenyap. Jadi, jika setela ini ada yang bergosip. Aku pastikan orang itu akan lenyap selamanya."
Ardian mendekati Sian. Wanita itu mulai berteriak dan membela diri. Ia berusaha lolos dari Ardian. Dibalik hatinya tang tergila-gila pada Sian, ia sadar. Ardian hanya akan membunuhnya cepat atau lambat. Orang-orang seperti Ardian sungguh mudah sekali ditebak.
"Tidak ada gunaya berteriak. Kamar ini dirancang kedap suara. Tidak akan ada yang mendengarkan teriakanmu. Jadi mengapa kau begitu sulit diatur? Apakah aku harus melukaimu terlebih dahulu?"
Ardian mendapatkan Sian. Ia mencekik leher wanita itu karena terus memberontak. Cekikannya tak terlalu kuat, ia tak ingin wanita itu mati ditanganya. Ia hanya ingin mengancamnya. Ia harus membuat Sian bertekuk lutut memohon nyawa padanya. Penolakan hanya berlaku bagi kaum rendahan bukan kalangan atas seperti dirinya.
"Lihat, Kau bahkan begitu lemah. Kau memang terlihat muda tapi, kekuatanmu…."
Dengan nafas terengah Sian memberontak.
"Jika kau tahu aku begitu lemah, mengapa kau harus melakukan semua ini? Bukankah seorang anak harus melindungi ibunya?
"Tapi Kau bukan ibuku. Dan aku tak akan membiarkan ayahku mendapatkanmu!"
Sian tertawa seketika.
"Apa yang lucu sayang?"
Sian menunjuk kaca besar di depan mereka. Ardian melihat seseorang merekamnya dengan ponsel.
"Sejak kapan!!!" teriak Ardian marah.
Ia segera melapaskan Sian dan lari mencoba menangkap orang itu.
"Berikan padaku!" ancamnya. Vira berusaha menghindar sebisa mungkin. Ia mendekati pintu dan berusaha membuka pintu kamar yang terkunci. Ardian bersiap memukul Vira.
"Hentikan!!! Aku menyiakannya secara langsung. Cepat atau lambat, polisi akan datang!"
Ardian yang panik segera mencari kembali pakaiannya. Ia tak ingin tampak polos di hadapan semua orang. Otak cerdanya itu tiba-tiba menjadi tumpul.
~Sudah berapa lama ini berlangsung? Bagaimana ia bisa seceroboh ini? Mereka melihatnya telanjang? Tidak ini tidak benar!!!~
Suara sirine menggema. Langkah-langkah kaki berat meminta agar pintu itu dibuka. Vira membukanya dan para polisi itu membawa Ardian yang masih setengah telanjang pergi.
"Terima kasih, atas laporan Anda" kata salah satu polisi yang datang.
Vira bernafas lega. Ia berhasil melakukan apa yang Sian minta dengan selamat. Semua sesuai rencana. Ia terduduk lemas sambil melihat mereka keluar dari ruangan itu satu persatu. Siaran langsung dihentikan.
Diluar rumah itu, wartawan sudah menunggu dan menyiarkan langsung penangkapan gubernur yang digadang-gandang menjadi calon presiden. Ardian tampak mengumpat sepanjang perjalanan menuju mobil. Ia kesal, marah dan kacau. Tak pernah terpikir olehnya semua renaca matang yang telah disusunnya hancur berantakan.
Jika saja, ia mengantisipasi Vira. Penata rias yang memergokinya mengaduk jus mungkin tidak akan seperti ini. Tapi bangkai yang tersimpan dengan rapi pun pasti akan berbabu busuk juga. Tidak selama-lamanya Tuhan diam.
"Yang Mulia, semua berjalan dengan baik"
Ming datang menjemp Sian. Rencana dan sekenario ini berhasil berkat bantuannya juga tentunya.
"Apa Kau membawa yang aku minta?"
Ming mengeluarkan sebuah kartu untuk Sian.
"Dengarkan aku, pergilah dari sini sementara waktu. Akan banyak orang yang mengejarmu. Uang di dalam rekening ini akan cukup untuk memulai hidup baru di tempat yang baru. Hanya saja, jangan pernah memindahkannya ke rekening milikmu. Mereka akan mencurigai asal uang ini.
Aku tak akan memblokir rekening ini. Gunakan dengan bijak. Apa Kau mengerti?"
Vira mengangguk. Ia menerima kartu dari Sian. Segera ia tempelkan kartu itu pada ponselnya. Ia hampir mati karena serangan jantung melihat nominal di dalammnya. Jika ia tidak ingat pesan Sian, ia pasti sudah berteriak kegirangan memberi tahu semua orang tentang keberuntungannya hari itu.
Inilah yang disebut dengan tetaplah berjalan di jalan orang benar. Sebab Tuhan memberikan berkatnya pada orang-orang yang mereka kasihi pada waktu mereka tertidur.
Berita besar yang disiarkan langsung membuat pengacara Robert mengambil suatu tindakan. Ia tahu, pasti masalah kliennya akan jadi lebih mudah ditangai mulai dari sekarang. Meski lawan yang ia hadapi adalah seorang Situmorang sekalipun, ini akan semakin mudah.
"Kalian tak memiliki bukti cukup. Kalian tak bisa menahan klien saya!"
Para juri di pengadilan dibuat tak bisa berkutik. Pengacara itu benar, Robert hanyalah salah satu orang yang menjadi sasaran Ardian karena ia tak menyuap pria itu seperti pengusaha lain. Tak ada alasan bagi mereka untuk terus menahannya. Ia tak terbukti bersalah. Mereka membebasakan Robert.
"Ini benar-benar tak masuk akal. Seseorang yang melakukan suap pada penguasa justru mendapat masalah karenanya?" Keluh Robert selama perjalanan pulang.
"Mungkin, alsan lainnya juga karena Ardian menginginkan Anda mendukungnya dalam pemilihan presiden tahun depan. Ia juga merekayasa kematian sang ayah agar semua hartanya jatuh ke tangannya. Lebih jauh lagi, ia juga berniat menikahi wanita yang ayahnya telah nikahi demi mendapat warisan penuh."
"Mungkin, alsaan itu datang begitu ia melaksanakan rencana awalnya. Tapi percayalah, rencana awal pria itu tak serumit yang Anda lihat sekarang"
Robert turun dari mobil. Ia bergegas mengetuk pintu. Tak berapa lama seseorang membukanya.
"Sian? Anda bukan Sian?" tanya Robert dengan bingung.
"Oh, maaf pemilik rumah sebelumnya telah pindah. Ia menjual rumah ini dengan harga murah kepada kami. Beserta seluruh perabot dan mobilnya."
Robert kecewa mendegar berita itu. Ia segera mengucapkan terima kasih dan berpamitan. Ia kembali ke dalam mobil dengan hati gelisah.
"Jadi apa rencana Ardian sebenarnya?" tanya pengacara yang masih duduk di kursi depan.
"Ia memenjarakanku agar ayahnya bisa menikahi Sian. Ayahnya pasti mengadu bahwa aku bersama Sian dihari sang ayah melamarnya"
~Jawaban konyol~
Pengacara itu tertawa dalam hati. Bagi mereka yang tak pernah melihat Sian, jawaban seperti itu adalah sebuah kebodohan. Tapi bagi mereka yang tahu kebenaran, mereka akan diam.
Tidak selama-lamanya Tuhan itu diam. Ia memberikan kekuatan baru bagi orang yang menanti-nantikannya. Ia memberikan kelegaan. Sebab Ia adalah Suami bagi mereka yang tak bersuami. Ibu bagi mereka yang tak beribu dan Ayah bagi mereka yang tak berayah. Kekasih bagi mereka yang tak menemukan cinta.
"Bob, bukankah aku sudah berhari-hari memintamu untuk mencari di mana keberadaan mereka?"
Kecerdasan buatan itu diam.
"Apa yang membuatnya diam? Bukankah aku memprogrammu tanpa rasa takut?"
Bob menampilkan sebuah pesan kepada Robert ke layar. Ia ingin bosanya tahu, pesan itu yang ia temukan setiap kali mencoba mencari tahu dimana keberadaan Sian.
"Setiap orang yang mencintaiku akan mati. Jangan cari aku"
~Tamat~
NB: Cerita di atas cuma fiksi, kesamaan nama tokoh dan kejadian hanyalah kebetulan belaka.