"Sah?"
Semua yang hadir menyatakan Sah.
"Bagimana bisa sah, saat anda tidak menanyakan opini saya?"
Pria dengan setelan jas yang menjabat tangan mempelai laki-laki menjelas dengan singkat.
"Maaf Nona, di kepercayaan kami wanita tidak punya hak untuk bicara"
Ardian yang mendengar percakapan diam-diam berdecak kagum.
~Ia memang sangat berani, pikirnya~
Diliriknya jam tangan mewah yang ia pakai. Acara sudah berlangsung cukup lama. Pernikahan secara agama pun sudah dilaksanakan, mengapa masih belum terjadi apapun?
Ardian memanggil Sulastri.
"Apa surat nikah akan mereka tanda tangai sekarang?"
Sulastri membenarkan. Ardian merasa gelisah.
~Bagaimana mungkin sesuatu belum terjadi? umpatnya dalam hati~
Ia meminta ajudannya mendekat dan menyerahkan secarik kertas serta alat tulis. Ia menulis sesuatu untuk di berikan pada penghulu. Penghulu yang menerima pesan itu mengerutkan dahinya. Ia meliirik ke arah Ardian. Ini belum pernah terjadi sebelumya.
"Apa ada masalah?" tanya Professor Surya.
"Tidak ada, hanya saja penandatangan buku nikah akan kita langsungkan secar tertutup setelah acara penikahan ini selesai. Ada beberapa hal yang harus kami lakukan untuk mengeluarkan surat nikah secara hukum"
"Oh, saya mengerti" jawab Professor Surya.
Acara dilanjutkan dengan pesta besar. Sian berganti pakaian. Tidak ada satu mata pun yang tak tertuju padanya. Jika saja mereka bisa mendekat dan berfoto dengan wanita cantik itu. Sayangnya, pengawal Ardian membuat blokade di depan pelaminan.
"Kau tampak gelisah Ardian?" tegur sang ayah.
"Aku hanya sedikit lelah" bantah Ardian. Ia tak menyangka sang ayah bisa menangkap kegelisahan hatinya.
"Pergilah istirahat. Jangan sampai Kau jatuh sakit"
Ardian setuju. Ia turun dari pelaminan dan segera meberi tahu kepala keamanan pesta itu.
"Jangan biarkan mempelai wanita melarikan diri" bisiknya.
"Jangan khawatir Tuan, gelang di tangannya berfungsi dengan baik. Jika nyonya berinisiatif kabur, kami akan meledaknnya seketika"
"Jangan mengambil tindakan diluar batas! Tidak ada yang menyakiti wanita itu, tanpa izin dariku. Apa kau mengerti?" ancam Ardian.
Keringat dingin menentes.
"Ba..baik Tuan"
Ardian membuat kepala keamanan ketakutan. Sesekali ia bertindak tegas pada Sian. Sesekali, tingkahnya menunjukkan hal sebaliknya.
"Bos kita sudah gila" bisik kepala keamanan pada salah satu rekannya.
Di dalam kamar Ardian, mencoba menanangkan diri. Ia merebahkan dirinya di sofa besar. Ia melepas pakian dan menyandarkan kepalanya. Ada rasa kesal, marah, gelisah, benci dan kecewa. Ia hampir-hampir dibuat gila oleh semua perasaan yang datang bersamaan.
"Semua orang yang menikahiku akan mati?" gumam Ardian mengikuti kata-kata Sian waktu itu.
Ia mengambil vas bunga di meja dan melemparnya ke lantai. Ia melampiasakan kekecewaannya pada benda mungil tak berdanya.
"ha ha ha ha, apa yang aku lakukan. Aku bahkan memercai kata-katanya?"
Ardian tertawa gila. Ia merasakan akal sehatnya mulai kabur. Sungguh, malang sekali. Ia mulai tak bisa mengendalikan diri. Ia masuk ke kamar mandi dan membasahi tubuhnya.
Dalam siraman air panas ia berusaha meluapkan semua emosinya. Ia berteriak sekeras yang ia bisa. Ia tahu, meski suara kerasnya bergema. Tak akan ada orang yang bisa mendengarnya. Kamar Ardian, dirancang khusus kedap suara.
"Kita harus bisa mendekati mereka" kata Lintang.
"Aku sudah pikirkan hal itu, tapi kau lihat? Mereka bahkan membuat barisan mengelilingi pelaminan. Belum pernah dari jagad manapun pernikahan berlangsung seperti ini" sindir Ming.
"Mereka takut akan sesuatu, tapi apa?"
"Bukankah sangat jelas, mereka takut mempelai wanita kabur!" sahut Ming. "Sesuatu pasti telah terjadi. Bukankah ayahmu juga merasa ada keganjilan dalam kasus yang menimpanya. Mungkin, ayahmu berhubungan langsung dengan apa yang tanteku alami saat ini."
"Tapi apa? bahkan hingga saat ini ayah tak bisa ditemui. Pengacara kami masih mencari celah mengajukan pra peradilan"
"Sesuatu yang serius tentunya. Jika tidak, ayahmu tak akan pernah memintamu menjauhi Professor Surya bukan?"
Min mendekati pelaminan.
"Tuan, cukup memberi selamat dari sini"
"Aku keponakan mereka"
Ming menunjuk ke mempelai di pelaminan.
"Tapi tidak ada yang boleh mendekat"
"Sudahlah, biarkan dia mendekat" perintah Professor Surya. Ming segera meneroobs blokase itu. kepala kemanan melaporkan apa yang terjadi pada Ardian melalui alat komunikasi.
"Selamat atas pernikahan kalian"
Professor Surya menyambut Ming dengan pelukan hangat.
"Selamat datang di keluarga" ucapnya.
Sian mengangkat pergelangan tangannya memberi isyarat pada Ming. Ia melihat gelang itu.
"Kalian kemana saja? Aku tak menemukan kalian di rumah?"tanya Ming.
"Oh aku membawa tantemu berlibur di sebuah villa. Maaf tak memberi info terlebih dahulu. Setelah ini, aku akan meminta anakku memberikan alamatnya padamu"
Ming tersenyum palsu. Ia menjabat tangan Sian sambil menyisipkan sesuatu di tangannya. Sebuah alat pelacak. Berukuran cukup kecil sehingga tak akan ada yang mecuriagainya.
Di dalam kamar Ardian masih bergumul dengan pikirannya. Ia memikirkan cara agar apa yang disebut kutukan terjadi.
"Bagaimana ini?" gumammnya.
Kling, sebuang pesan singkat masuk.
~Seseorang mendekati mempelai~
Ardian segera berpakaian rapi dan keluar dari kamar. Ia kembali ke belakang rumah yang telah disulap menjadi tempat pesta. Suasanaya sudah tak seramai tadi saat ia beranjak pergi.
"Siapa?"
"Seseorang yang mengaku keponakan dari mempelai. Professor Surya mempersilakannya mendekat"
"Apa dia membuat masalah?"tanya Ardian lagi.
"Tidak, ia segera pergi setelah memberi selamat"
Ardian melihat sekeliling. Ia meminta kepala keamanan untuk beristirahat sejenak.
"Sudah tidak terlalu ramai. Kalian bisa beristirahat perintahnya."
Sian melihat orang-orang yang membuat blokade membubarkan diri. Ia menyadari Ardian telah melonggarkan pengawasan. Ia mencoba menyapu sekeliling dengan pandangannya. Ia menemukan Ardian beicara dengan dokter pribadi yang merawat ayahnya. Suaminya turun untuk mengambil sesuatu untuk mereka santap.
"Nyonya, apa nyonya ingin beristirahat? Tuan Ardian mengatakan sudah bisa beristirahat"
Sian menoleh ke arah penata rias. Sorot mata ketakutan terlintas di kedua matanya. Ardian pasti telah memintanya melakukan sesuatu.
Berjalan turun dari pelaminan menuju kamar, mata Sian dan Ardian sempat bertemu. Mata laki-laki itu tak bisa menyembunyikan aura licik dari rencana jahat yang ada di dalam pikiranya. Tapi apa?
"Mereka membawa Sian ke mana?"
"Ayah, Ibu sudah kelelahan. Mereka akan membantu ibu untuk berganti pakaian."
"Begitu rupanya. Aku akan mengantar makanan untuknya. Aku lihat, ia tak makan atau minum sama sekali"
Ardian mencegahnya.
"Mereka sedang berganti pakaian, biar Sulastri yang mengantarnya"
Sulastri segera mengambil makanan dari tangan sang ayah dan membawanya ke kamar di mana Sian berganti.
Ardian menuangkan minuman untuk sang ayah.
"Ayah, selamat atas penikahan ayah"
"Ayah tidak bisa minum minuman sepertimu. Tapi terima kasih" jawab sang ayah.
"Aku mengerti" jawab Ardian. "Mengapa tak mengambil jus di meja dan kita bisa cherss"
Professor Surya mnyetujui ide anaknya. Ia mengambil segelas jus terakhir yang ada di meja. Jus dengan warna pink.
"Sekali lagi selamat atas pernikahan ini"
Ku dua orang itu mengangakat gelas dan meminum minuman masing-masing sampai habis.