"Katakan apa yang membuatmu begitu marah? Kau pulang dengan emosi yang sangat tingi. Kau menghukum semua asisten rumah tangga hanya karena kesalahan kecil. Ada apa Ardian? Kau menggila hari ini"
Ardian tidak menjawab dan hanya memiringkan tubuhnya ke arah lain. Ia sedang benar-benar tak ingin membicarakan isi hatinya pada sang istri saat ini.
"Cukup! Katakan padaku. Apa yan terjadi? Kau adalah sosok pemimpin yang dicintai oleh semua orang. Apa yang membuatmu merasa begitu buruk hari ini?" bujuk sang istri agar suaminya mau bercerita.
Wanita cantik dengan rabut hitam panjang itu memegang tubuh suaminya dan memeluknya. Ia ingin sebuah jawaban bukan penolakan. Ia tak biasa mendapat penolakan dari siapapun. Bahkan jika itu adalah suaminya.
"Katakan Sayang. Apa yang terjadi? Bukankah kita selalu bisa mengatasi masalah yang datang bersama? Lihat dirimu. Kau bahkan tidak mau bicara padaku hari ini. Kau membanting piring karena Sulastri memasak makanan yang tidak Kau suka.
Kau menghukum anak-anak agar tidak pergi bemain keluar. Minah pun tak luput dari hukuman, Kau menyuruhnya untuk membersihkan rumah mala mini sampai taka da debu sedikitpun.
Ada apa denganmu? Katakan padaku, jangan biarkan masalah membuatmu hilang akal. Ingat, Kau punya reputasi yang harus Kau selamatkan. Bukankah kau ingin menjadi penguasa seluruh negeri setelah ini?
Jika ada media tahu perbuatanmu, apa kata mereka?"
Ardian menghela nafas. Dipikirkannya perkataan sang istri.
"Kau benar. Ada hal yang lebih penting untuk di capai. Untuk apa marah hanya karena hal-hal sepele"
Sang istri tersenyum dan mencium Ardian.
"Bagus, sekarang katakan apa yang membuat calon presiden ini gelisah? Apa ada lawan politik yang menjegalmu?"
Ardian menggeleng. Ia bangun dari tempatnya berbaring. Ia menyandarkan tubuhnya ke ranjang.
"Semua ini gara-gara wanita itu" kata Ardian memulai ceritanya pada sang istri.
Dengan setia, sang istri mendengarkan denga saksama. Tak ada satupun yang terlewat. Selama ini wanita itu memang bukan hanya istri yang baik menurut agama, api juga istri pandai memberikan solusi disegala kondisi. Jika bukan karena ia adalah wanita, mungkin sang istri juga akan bisa memiliki jabatan yang tinggi.
"Menarik. Hanya karena wanita itu kau merasa hidupmu hancur?" Respon sang istri mendengar curahan hati sang kekasih.
"Entahlah, bagi kami pria harga diri adalah segalanya"
Sang istri mengangguk. ia memikirkan cara apa yang bisa ia gunakan untuk membalas Sian.
"Mengapa kita tidak mengunakan video itu untuk membuatnya kehilangan pekerjaan? Dia seorang janda bukan? Suaminya telah lama mati. Itu berarti, ia hanya bergantung pada pekerjaannya sekarang untuk membiayai hidupnya.
Jika ia bangkrut tak ada yang mau memberinya pekerjaan. Aku yakin, ia akan memohon kepadamu agar ia bisa dinikahi oleh ayahmu"
Usul sang istri benar-benar membuat mood Ardian kembali. Diam-diam dihubunginya orang kepercayaannya agar mengatur semua. Ia ingin, Sian kalah telak. Ia ingin wanita itu berlutut dan memohon ampun padanya.
"Saya sudah memotong bagian ini" kata orang yang Ardian hubungi diam-diam. "Apakah ini sudah cukup?" tanyanya.
Ardian cukup puas dengan hasil editan itu. Ia yakin, para warga net akan langung menyerang Sian yang tampak brutal di video. Ardian menggunakan video itu untuk mengancam Sian.
"Saya sangat kagum dengan kemampuan editor Anda Tuan Gubernur, tapi tidakkah Anda pikirkan dahulu? Jika video ini menyebar bukan hanya saya yang malu. Tapi juga ayah Anda. Ayah Anda memiliki reputasi yang jauh lebih baik dari saya.
Bukan masalah bagi saya sehilangan semuanya. Saya sudah pernah kehilangan itu semua di masa lalu. Tapi ayah Anda? Bukankah Professor Surya adalah ayah dari seorang Gubernur terhormat dan menteri lingkungan hidup? Apa Anda yakin, tidak akan mencoreng nama baik Ayah Anda?"
Ardian kembali ke kantor dengan emosi yang naik sampai ke ubun-ubun. Semua staffnya merasa negeri seketikan. Pria itu bisa menahan dirinya untuk marah. Namun arura panas bisa dirasakan orang-orang di sekitarnya.
"Saya akan membunuh Anda jika terus bersikeras menolak pernikahan dengan Ayah saya!"
Sian menggeleng.
"Jika Anda membunuh saya, saya tidak bisa pastikan Ayah Anda tidak membunuh Anda!"
Satu per satu cara dilakukan Ardian. Tak satupun berhasil. Semua solusi dan seranganya justri kembali padanya serta membahayakan posisinya. Ia merasa ingin menyerah.
"Apa sebenarnya alasan Nona Sian menolak ayah saya?"
Sian mengambil cangkir teh dan meminumnya dengan santai. Ia menoleh ke kamar Professor Surya. Pria itu masih ada di kamar untuk dirawat oleh Maya. Kondisinya melemah sejak Sian mencekik lehernya.
"Semua orang yang akan menikah denganku, pada akhirnya akan mati"
Ardian tertawa. Ia tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan itu. Tawanya memenuhi Villa besar tempatnya menyekap Sian. Maya bahkan sampai merasa kuawatir dengan pria berusia empat puluh tahun itu.
"Nona, kau bodoh apa bagaimana? Ini sudah era digital. Kau percaya pada mitos-mitos seperti itu? Kau sungguh bodoh ya? Apa gunanaya gelar professor yang Kau dapat?"
Sian hanya tersenyum kecil menanggapi tawa Ardian. Ia tak mau ambil pusing. Ia hanya fokus pada teh mawar yang diseduh oleh Maya untuk dirinya.
Dalam perjalanan kembali ke kantor Ardian terus tertawa mengingat kembali apa yang Sian katakan padanya. Suasana hatinya berubah seketika.
~Semua orang yang menikahiku akan mati~
Kata-kata itu terdengar menantang. Entah mengapa diam-diam kata-kata itu membuatnya bahagia.
Ia mengambil ponsel dan menghubungi Laras, istri lain yang ia miliki selain istri pertamanya Winda.
"Aku datang malam ini" begitu tulis Ardian padanya.
Wanita bernama Laras situ segera membalas dengan stiker khusus penuh cinta miliknya. Sementara itu, di tempat lain Winda yang mendapat kabar bahwa suaminya akan ke tepat Laras mala mini, hanya tersenyum.
"Baiklah salam buat Laras …" begitu jawabnya singkat.
Sebenarnya Ardian tahu, Winda tak terlalu pusing jika ia menikah dan memiliki lebih dari satu wanita. Bagi Winda yang terpenting ia adalah istri sah pertama yang menguasai seluruh Aset. Alasan itulah yang bisa membuatnya bertahan menjadi istri Ardian sampai saat ini.
"Mas, saya ingin membeli tas baru" kata Laras pada Ardian yang berada dipelukannya.
"Beli saja. Berapa?"
"Benarkah?" Laras bersorak kegirangan "Harganya senilai rumah ini. Boleh kan ya tapi?"
Ardian bangun dari pelukan Laras. Wanita itu bingung melihat tingkah Ardian. Tak biasanya ia bangun dan menolak pelukan Laras yang hangat.
"Mas, apakah baik-baik saja?" tanya Laras khawatir.
Ardian tersenyum. Ia membelai rambut Laras yang indah. Ia mengelusnya dengan cinta.
"Saya baik-baik saja. Seharga rumahnya? Kamu sudah menemani saya selama lima tahu. Kamu pantas mendapatkannya sebagai hadiah terakhir dari saya"
"Apa?" Laras terkejut. "Apa salah saya Mas? Kalau saya salah, saya minta maaf. Apa tas situ terlalau mahal? Jika begitu Laras batalkan. Asal bisa bersama Mas Ardian itu sudah cukup bagi saya"
"Tidak Laras, kamu tidak salah. Saya hanya sudah bosan. Sebagai ucapan terima kasih saya akan hadiahkan tas yang kamu mau. Jangan takut, meski kita bercerai saya akan tetap memberi nafkah"
"Tapi. Laras mau Mas Ardian" tangis Laras pecah.
"Laras, kamu masih muda. Carilah suami sah. Kita menikah hanya secara agama. Kamu berhak mendapatkan suami sah!"