Chereads / Ratu Tanah Jawa / Chapter 14 - Bab 14: Tante Sian

Chapter 14 - Bab 14: Tante Sian

"Marni, saya baik-baik aja. Kau boleh istirahat" kata Sian kepada wanita yang Prof. Surya kirimkan ke rumah sakit untuk menemani dirinya malam itu.

Marni terlihat bingung. Ia mencoba membantu Sian berdiri dari ranjangnya. Tapi wanita itu menolak dengan halus. Ia tidak ingin merepotkan siapapun maupun berhutang pada siapa pun.

"Ibu, saya mohon. Biarkan saya bantu. Bapak sudah memberi saya amanat untuk membantu Ibu." Jelas wanita itu.

Sian tersenyum dan melangkah ke kamar mandi sendirian. Ia mengisi air di bak mandi dan bermaksud merendam dirinya di air panas. Ia memandangi infus yang menancap di tangannya. Menyedihkan, tubuhnya sangat lemah. Hidup abadi tidak berarti kau sangat kuat. Kau sama seperti orang biasa hanya saja, kematian tidak akan merenggut nyawamu.

"Ibu, apakah saya boleh masuk?" kata Marni. Sian yang berada di kamar mandi diam saja. Melihat tidak ada respon, Marni kembali bicara.

"Tolong Non, saya takut Bapak marah. Kalau Bapak Surya tahu saya tidak membantu Non, saya bisa dipecat"

Suara Marni mengiba. Sian yang mendengar hal itu menarik nafas dalam-dalam. Di satu sisi tidak ingin merepotkan siapa pun. Di sisi lain ia tidak ingin membuat orang lain kehilangan pekerjaan.

Melihat situasi itu, ia teringat pada Aninda. Dayang yang dulu pernah mengikutinya. Ia begitu setia. Sampai suatu ketika keadaan berubah. Ia menjadi selir dan bahkan menjalin hubungan diam-diam dengan seorang pegawai istana.

"Marni, kemarilah."

Marni yang mendengar itu sangat senang. Ia segera membuka pintu dan masuk.

"Nona, saya bantu melepas pakaian ya?"

"Iya, tolong ya" kata Sian dengan lembut.

Sian sangat lemas. Ia merasa hampir-hampir tidak punya tenaga. Marni membantu wanita itu dengan sangat cekatan dan perlahan. Diam-diam Sian memerhatian wajah wanita itu. Setelah Sian membenamkan diri di bak mandi, ia pun bertanya.

"Sudah lama bekerja dengan Prof. Surya?"

Marni yang membantu mencuci rambut Sian terkejut. Ia menjawab dengan terbata-bata.

"Su su sudah Ibu eh Mbak, Nona maksud saya"

Sian melirik bayangan Marni di kaca. Ia melihat wanita itu ketakutan.

"Mengapa gemetar? Kau tidak perlu takut padaku Marni." Jawab Sian menenangkan. Wanita itu mengucapkan terima kasih dan mengangguk.

Marni pun melanjutkan perkerjaannya.

"Sudah berapa lama?"

"Lima tahun" jawab Marni dengan nada lebih stabil.

Sian kemudian berfikir sejenak. Ini terlihat sangat canggung.

"Menurutmu seperti apa Bapak Surya sebenarnya?" tanya Sian asal-asalan.

Marni mengambil shower dan menyiram rambut Sian.

"Bapak orangnya baik menurut saya Non. Beliau punya banyak kegiatan dan teman. Suka membantu siapa saja yang datang ke rumahnya.

Meski zaman udah anggih, bapak masih membaca Koran cetak setiap hari. Beliau juga masih mempunyai buku-buku cetak di perpustakaan rumah. Setiap bulan, selalu saja ada buku baru yang datang."

"Lalu mengapa Kau begitu ketakutan?"

Marni terkejut kembali. Ia melihat ke depan ke arah cermin. Marni melihat wajah serius Sian.

~Gila Mbaknya ini, umur berapa sih? Kok tubuh dan mukanya kayak anak kulihan aja? Pantesan Bapak tergila-gila sama dia~

"Marni?" panggil Sian.

"Eh maaf Non." Kata Marni.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya"

Marni menganggguk dan mematikan air. Ia mengambil handuk untuk membungkus rambut Sian.

"Sudah hampir dua minggu ini, Bapak uring-uringan . Tanpa sebab. Beliau marah-marah sendiri. Kami tidak tahu apa penyebabnya. Semua yang dilakukan oleh orang-orang di rumah di rasa salah.

Bahkan waktu Mas Fajar datang dengan anaknya, beliau juga marah karena hal sepele. Kami jadi takut Non."

Sian mengangguk.

"Kamu nggak tanya kenapa?"

Marni menggeleng.

"Tidak berani Non. Saya takut." Jawab Marni. "Tapi, tadi saya lihat pas Bapak di parkiran agak berubah Non. Beliau sedikit lebih ramah. Kayaknya, mungkin Bapak kepikiran Non yang sakit"

Sian tidak bereaksi melihat jawaban Marni. Marni yang melihat hal itu merasa sidikit takut tiba-tiba.

~Apa saya salah ngomong ya? pikir wanita itu dalam hati~

Sian keluar dari bak mandi dan mengenakan kimono handuk. Ia berjalan keluar. Saat ia keluar tidak sengaja infus terseret dan lepas dari pergelangan tangannya. Darah mengucur deras. Marni yang panik, segera menghubungi suster. Sian berusaha tenang. Darah yang keluar membuatnya semakin lemas. Ia mencoba menahan dengan kassa yang ada dikotak P3K.

"Aduh, Non saya akan panggil suster." Kata Marni yang khawatir.

Namun baru ia berdiri, seseorang datang. Ia tidak banyak bicara dan melakukan sesuatu. Ia mengambil beberapa hal di p3K dan menempelkannya di tangan Sian yang berdarah.

"Yang Mulia, Anda tetap saja ceroboh ya?" kata pria itu.

Marni yang kaget dengan apa yang dilakukan pria itu tidak bisa bicara. Sementara Sian mendongak dan melihat wajah pria itu.

"Ming?" kata Sian pelan berharap Marni tidak mendengarnya.

Pria itu tersenyum. Tak lama dokter dan perawat datang. Mereka memerikasa, Ming yang tadi berada di dekat Sian, kini menunduk dan duduk di sofa. Ia tidak ingin Lou mengenali dirinya. Meski ia merubah tampilan, tapi bukan berarti tidak bisa dikenali. Apalagi oleh orang yang pernah menjadi temannya bukan?

"Beruntung sekali. Pertolongan pertama ini sangat baik. Menghentikan darah dengan efisien." Kata Dokter Lou saat melihat plester yang ada di tangan. Ia melirik ke pria yang duduk di sofa dengan topi dikepala. Karena pria itu tida bereaksi, Lou mengalihkan pandangannya.

Lou meminta suster memasang kembali infus. Dan petugas kebersihan membersihkan darah yang tercerer di lantai. Setelah selesai, pria berjas putih itu pamit dan membawa pasukannya kembali. Marni kini terpana dengan orang yang ada di sofa. Sesosok yang duduk di sana. laki-laki dengan denim dan terlihat lebih muda dari Sian.

"Maaf Mas, makasih ya atas bantuannya. Anda?"

Sian segera memotong.

"Ia adalah keponakan saya. Kebetulan masih sekolah kedokteran juga."

Ming berdiri dan memberi tangannya sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua.

"Maaf saya membuat Anda kaget. Masuk tanpa izin. Saya Rain. Tapi Tante saya biasa panggil saya Ming."

Marni membulatkan bibirnya dan berkata O.

"Saya Marni. Saya ditugaskan oleh Bapak Surya untuk menjaga tantenya Mas" jelas Marni. "Sekolah kedoteran ya? Pantes ganteng dan cekatan ya? Spesialis?" tanya Marni.

"Iya, spesialis bedah Mbak Mar" kata Ming berbohong.

Hidup ribuan tahun membuat pria ini mengambil semua jurusan spesialis di setiap identitas baru yang ia buat. Bisa dikatakan, ia adalah dokter spesialis semua bidang. Kali ini, ia berencana membuat identitas baru sebagai mahasiswa kedokteran spesialis bedah.

"Oh, sukses yo. Sudah semester berapa?"

Ming tertawa. "Semester tiga Mbak Marni"

"Marni, kamu belum makan dari sore tadi" kata Sian menyelamatkan Ming dari rasa ingin tahu Marni.

Marni menoleh. Sian mengeluarkan ponsel miliknya.

"Berapa nomor kamu. Ada banyak restoran di depan rumah sakit, Kamu makan dulu ya. Mumpung Ming ada di sini. Ok?"

"Aduh nggak usah Non. Saya makan seadanya aja" kata Marni.

Sian tersenyum, ia mengeluarkan kartu.

"Pakai ini" katanya mengeluarkan kartu yang tak membutuhkan pin untuk menggunakannya. "Beli makan ya? Jangan sampai kamu sakit. Beli apa saja yang kamu butuhkan.OK?"

Marni tidak bisa menolak dan mengambil kartu. Setelah mengucapkan terima kasih ia melangkah keluar.

"Mas Surya" ejek Ming ketika yakin Marni sudah jauh.

Sian yang mendengar itu hanya menggeleng dan menyandarkan tubuh lemahnya di ranjang.

"Jadi, kapan Tante akan menikah dengan Mas Surya?"