"Jadi kapan Tante akan menikah dengan Mas Surya?" kata Ming.
Spontan Sian dan Ming tertawa terpingkal-pingkal.
"Keponakanku, kenapa? Kau sepertinya Kau tidak suka sama calon Om mu ya?" balas Sian sambil terkekeh.
"Hah, pria itu. Ia memanggil polisi dan menerobos masuk. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Karena aku sudah membuat diriku mati. Aku hanya bisa melihat mereka membawa Anda Yang Mulia Ratu"
"Sudah lah Ming" kata Sian . "Sampai kapan Kau akan memanggilku seperti itu? Aku bukan lagi seorang Ratu."
"Jika Yang Mulia Edward mendengar hal ini. Saya pasti bisa dipenggal hidup-hidup" jawab Ming.
Sian tertawa kecil. Ia mengenang pria itu.
"Jadi bagaiman sekrang? Kau adalah Rein? Mahasiswa kedoteran dari?"
Ming menghela nafas.
"Korea. Saya bersekolah di sana dan ibu saya adalah keturunan Taiwan dan Indo Belanda. Bisa mengusai lima bahasa. Inggris, Indonesia, Korea, Spannyol dan Perancis. Orang tuaku meninggal dalam kecelakaan. Aku dibesarkan oleh Tanteku. Prof. Sian. Bagaimana?"
Sian tertawa geli.
"Asal Kau tidak berkeliaran di sini itu tidak masalah"
Rein yang adalah Ming tersenyum.
"Obat yang Kau buat, hampir membunuhku. Tambahkan sesuatu agar benar-benar ampuh" imbuh Sian.
Ming mengguk. Ia tidak mejawab apapun. Ia hanya berfikir. Dampak obat itu begitu buruk pada Tubuh Sian. Tidak boleh. Ia harus menemukan sesuatu yang bisa langsung membunuh tanpa menyakiti.
"Apa yang Kau pikirkan?" tanya Sian.
Rein yang adalah Ming menoleh. Ia menjelaskan apa yang ada dibenaknya.
"Bagaimana dengan Surya? Apa Kau punya ide untuk menjauhkannya dari ku?"
Rein befikir sejenak. Ia menggeleng. Ia bangkit dari tempatnya duduk.
"Semua orang yang mencintai Anda akan mati dan saling menghancurkan. Jujur saja, identitas sebagai dosen kali ini benar-benar sangat berguna. Anda hidup lebih tenang selama 10 tahun. Tidak bertemu para penguasa dan tidak ada yang jatuh cinta pada Anda."
"Jadi?"
"Yang Mulia, cobalah hidup normal dan menolak cinta itu secara normal kali ini. Mungkin saja, kutukan itu sudah mulai pudar. Prof. Surya hanyalah orang biasa tanpa kekuasaan. Jadi, tak akan menimbulkan pertumpahan darah."
Sian merenung sejenak. Ia mengenang semua kilas hidupnya ribuan tahun. Berganti identitas lagi dan lagi. Entah sudah berapa banyak orang yang saling menyakiti demi dirinya. Ia pernah menjadi Ratu, bagsawan, selir, pengusaha dan kali ini hanya rakyat biasa. Dan ini jauh lebih normal. Jika sebelumnya, terlalu mencolok dengan kekuasan. Menjadi manusia biasa saja membuatnya tidak bertemu banyak orang.
"Kau benar. Identitas ini tidak buruk. Bahkan bisa sedikit lebih tenang. Ayo pikirkan cara untuk menghilangkan kutukan abadi ini"
Seseorang mengetuk pintu. Rein yang adalah Ming berdiri dan membuka pintu. Betapa terkejutanya Ming saat melihat siapa pria di depannya.
"Anda?"
"Oh Maaf saya ayah dari Lintang." Kaya pria itu sopan "Boleh saya masuk?"
Ming tidak yakin. Ia menoleh ke arah Sian. Setelah wanita itu mengagguk, ia membuka pintu dan membiarkan pria itu masuk. Pria itu tersenyum dan merasa sedikit takjub saat melihat wanita yang berbaring di tempat tidur.
"Maaf ada yang bisa saya bantu?" tanya Sian mencoba bangkit dan mendekat.
Pria itu reflek dan membantu Sian berdiri. Ia sempat tidak bicara beberapa detik mengamati wajah wanita itu.
"Oh terima kasih. Saya bisa sendiri" kata Sian.
Pria itu kembali mudur dan meminta maaf. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
"Prof. Sian. Apa ini gelang milik Anda?" tanya pria itu dengan sopan.
Sian menerima dan mengamti benda itu. Ia kemudian teringat akan apa yang telah terjadi beberapa waktu lalu. Ia kehilangan benda itu dan tidak bisa menemukannya.
"Putri saya menemukannya secara tidak sengaja. Sepertinya Putri saya menyukai gelang ini. Ia bersi keras meminta saya untuk membuat duplikatnya" kata Pria itu berbohong.
"Saya meminta putri saya mengembalikannya. Tapi sepertinya Anak ini tidak menurut dan masih menyimpannya di kamar. Hari ini, saya ke kamar dan masih menemukan benda itu. Saya dengar Anda sedang dirawat. Jadi saya terpaksa mengembalikannya seperti ini."
"Lintang, kemari!" kata pria itu, datar tegas dan dingin.
Tak lama gadis itu muncul dengan wajah cemberut.
"Ayo katakana sesuatu pada Prof. Sian"
Lintang protes. "Ayah, bukan itu tujuan kita kemari" kata Lintang dan ayahnya hanya diam mematung memandang anak itu.
Lintang tak habis pikir, mengapa ayahnya mengubah rencana. Apa sih yang ada di benak ayah? pikir gadis itu.
"Cepat minta maaf" kata ayahnya lagi. Terkesan mengisyaratkan, diam dan jangan jadi anak bandel. Kau membuat ayah malu dengan tingkahmu.
Dengan kesal, Lintang mendekat.
"Profesor, maafkan saya. Saya telah menemukan gelang Anda, tapi tidak segera mengembalikannya. Percayalah saya tidak bermaksud mengambilnya. Hanya saja, Anda pingsan dan baru bangun hari ini. Oleh karena itu..."
"Lintang minta maaf yang benar. Ayah tidak pernah mengajarimu hal sepeti ini bukan?"
Lintang bertambah kesal.
"Ayah Kau ingin aku seperti apa?" teriaknya.
Sian dan Ming yang melihat itu hanya bisa diam. Ke kenak-kanakan, kesan itu yang mucul dari sikap mahasiswa semester akhir di hadapan mereka saat ini.
"Baiklah, Prof. Sian. Saya bersalah. Tolong maafkan saya" kata Lintang sambil menundukkan kepala.
Semua yang ada di ruangan menantikan reaksi Sian.
"Apa Kau menyukainya?" Tanya Sian.
Lintang mengangkat kepala dan kaget. Ayah Lintang pun demikian. Rein yang adalah Ming juga demikian. Selama ini, Sian tidak pernah memberikan benda itu kepada siapa pun. Benda itu memang terlihat usang. Tapi, itu adalah benda berumur ribuan tahun hadian dari Raja Edward.
"Kalau Kau suka. Aku bisa memberikannya padamu. Hanya saja, jangan diduplikat" jelas Sian.
Ia mengambil tangan Lintang dan menyerahkan gelang itu. Lintang dan ayahnya tidak bisa bicara. Lintang melihat ke arah sang ayah.
"Tidak Prof, saya tidak berani. Ayah saya akan marah nanti...."
Sian tersenyum.
"Sudahlah Kau mengambilnya, berarti Kau menyukainya bukan? Aku melihat rekaman CCTV yang terpansang di vas bunga kantorku hari itu. Ayahmu datang melindungimu. Ia berbohong kalau Kau ingin menduplikatnya.
Ku rasa ayahmu ingin melindungimu dan tetap ingin kau jadi anak yang baik. Mengembalikan apa yang menjadi milik orang lain. Maka dari itu, aku putuskan mulai hari ini gelang itu jadi milikmu"
Penjelasan Sian membuat Lintang bingung.
~Ia tahu? Aku mengambilnya? Kenapa ia tidak bergeming dan marah padaku? batin Lintang~
Lintang menoleh ke ayahnya dan membawa benda itu.
"Ma maafkan aku" kata Lintang.
Ayah Lintang mendekati Sian.
"Lintang, Kau sudah lihat? Kebohongan tidak akan pernah bisa Kau sembunyikan. Meski Kau berbohong pada ayah. Tapi kebenarannya, Prof. Sian mengetahui Kau megambil dan bukan menemukannya"
Kata ayah Sian.
"Saya gagal mendidik putri saya Prof. Sian" kata sang ayah.
"Begini ssaja, saya akan membeli gelang Anda sesuai harga jualnya di pasaran bagaimana?"
Sian menggeleng.
"'Tidak perlu. Ambil saja."
Ayah dan anak itu memaksa namun Sian tetap dengan pendiriannya. Akhirnya, mereka pun mengucapkan terima kasih dan pergi.
Di mobil, ayah Lintang membisu sesaat. Sesuatu mengganggu pikirannya. Ia terdiam dan benar-benar tenggelam dalam lamunan.
"Berikan gelang itu pada ayah" katanya tiba-tiba.