"Katakan apa yang membawamu kemari?"
Robert, mengambil nafas cukup dalam. Ia memajamkan mata dam membukanya kembali. Ia melihat hujan yang turun dengan intensitas sedang dari kaca di ruang tamu rumah itu. rumah yang tampak hangat dan penuh cinta. Sebuah rumah yang suasanyanya selalu ia rindukan.
"Minumlah" kata wanita di depannya.
Ia pun menerima secangkir kopi. Dilihatnya kopi itu. masih persis dengan apa yang ia sukai dan bisa minum dulu, saat mereka bersama.
"Apa ada sesuatu yang menganggumu?" tanya wanita itu lagi penasaran.
"George ada di rumah?"
Wanita itu mengangguk.
"Ia sedang bermain game dengan Willo dan Diego." Jawabnya dengan lembut. "Jadi apa yang ingin Kau bicarakan?"
Pria itu tak tahu harus memulai dari mana. Ada rasa takut, cemas dan gelisah di dalam hatinya. Sekali lagi ia menoleh ke sana kemari. Ia menemukan beberpa foto keluarga yang terlihat begitu hangat dan bahagia.
Wanita di depannya cukup peka. Sempat berhunbungan dengannya, membuat wanita itu bisa mendeteksi kegundahan si tamu.
"Katakan, ada masalah apa?"
Orang yang dikenal sebagai sosok ayah idaman itu, menyandarkan tubuhnya. Rasa pening diam-diam menyerang tiap bagian kepala. Seperti ada jutaan jarum menusuk-nusuk langsung ke daerah saraf.
"Apa ini ada hubungannya dengan Lintang?"
Robert mengeleng. Ia mengeluarkan sebuah gelang. Gelang yang cukup usang namun sangat berharga. Diletakkannya gelang itu di meja.
Melisa, mengambil dan megamati gelang itu. ia membawa apa yang tertulis di dalamnya.
~For the love of my live. King Edward of Skanidavia~
"Kau jatuh cinta pada pemiliknya?" tanpa basa-basi
Robert mengangguk, Melisa tersenyum dam meletakkan kembali gelang itu di meja. Ia mengambil cangkir teh dan meneguk sedikit isinya.
"Lalu apa yang Kau tunggu? Kejarlah wanita itu" jawab Melisa.
"Tapi…."
"Robert, pergilah. Kau berhak menemukan kebahagianmu." Ujar Melisa.
"Sama sepertiku. Aku sudah mendapatkan kebahagianku. Kau lihat bukan? Aku memiliki keluarga baru. Aku memiliki George, Diego dan Willo. Kau tak perlu mencemaskan aku lagi"
"Tapi…."
"Robert dengarkan aku. Aku tahu, kau merasa bersalah padaku dan Lintang atas percerain kita. Tapi Kau harus tahu. Akulah yang memutuskan berpisah denganmu. Bukan Kau! Ini adalah murni keputusanku. Aku mencintai George sejak pertama kali melihatnya.
Meski aku telah menikah denganmu, aku telah mencoba segala cara untuk melupakannya. Tapi, ternyata aku tidak bisa. Aku menyukai George. Meski Kau mencintaiku, aku tidak bisa mencitaimu. Itu adalah fakta.
Aku meninggalkanmu bukan karena kekurangan uang, cinta atau hal lain. Kau memperlakukanku dengan sangat baik saat menjadi istrimu. Hanya saja, hatiku memang tak bisa mencitaimu"
Robert menghela nafas. Rasa sakit hatinya kembali mucul setelah sekian lama pergi. Ia kembali mengingat semua kenangan itu.
"Dengarkan aku. Kau berhak bahagia. Sama sepertiku. Kejarlah wanita ini. Janga tahan dirimu demi aku ataupun Lintang. Aku yakin, anak itu akan mengerti. Ia sudah dewasa. Ia akan mengerti keadanmu.
Bukankah Kau sendiri yang bilang? Lintang memintamu mencari kekasih?
Kisah cinta kita sudah berakhir Robert. Saatnya Kau bangkit dan temukan kebahagianmu"
Robert mengambilng kembali gelang using itu. Jawaban inikah yang ia inginkan? Atau justru larangankah yang ia nantikan?
"Apa Kau tak ingin menemui Lintang?"
Melisa menggeleng.
"Aku tak pantas menemuinya. Akulah yang memutuskan meninggalkan kalian berdua. Tolong jaga anak itu baik-bail"
Robert tersenyum kecut. Ia segera masuk ke dalam mobil. Ia ingat, setiapkali Lintang bertanya tentang ibunya, Robert menjawab bahwa Melisa telah meninggal dunia.
"Aku tak ingin menyusahkan kalian" begitulah kata Melisa dulu.
Meski hati Robert hancur melihat kepergian Melisa, namun ia tetap tidak menyesalinya. Melisa adalah cinta pertamanya. Hanya saja, takdir berkata lain. Setelah menikah dua tahun, Melisa tidak menemukan kebahagian di dalam dirinya.
"Berjanjilah Kau tidak akan marah jika aku mengatakan suatu rashasia padamu"
Robert yang tak bisa mebaca pikiran wanita hanya mengangguk lemah tak berdaya. Di dengarkannya perlahan suara emas sang kekasih, sambil berharap semua yang ia katakana adalah cerita fiski pengantar tidur.
"Aku jatuh cinta pada George"
Sayangnya, harapan hanya tinggal harapan. Kisah cinta lain mucul di pernikahan mereka yang masih seumur jagung. Tapi seperti yang selalu ia bilang. Apapun yang terjadi, suami istri harus saling jujur. Ia pun menghargai kejujuran Melisa.
Saat itu, Robert mencoba sekuat tenaga membuat Melisa bahagia, sayang semuanya gagal. Makin hari cinta Melisa pad George semakin besar. Hingga suatu hari, ia meminta agar Robert melepaskanya. Sebuah hari yang membuat Robert hampir kehilangan akal sehatnya sebagai manusia.
Hari itu, Hakim mengabulkan keputusan perceraian mereka. Robert tak tahu harus bagaimana menyampaikannya pada Lintang. Ia hanya seorang laki-laki lemah yang gagal mempertahankan keutuhan rumah tangganya.
"Katakan padanya aku telah meninggal. Aku akan mengganti namaku. Jadi, ia tidak akan curiga" pesan Melisa sebelum berpisah.
"Tapi, bagaimana?" bantah Robert.
"Kau punya segalanya Robert" ujar Melisa. "Kau bisa mengatur semua ini bukan? Kau adalah sagabat terbaik yang pernah aku miliki. Meski aku tak mencintaimu sebagai kekasih, tapi aku mencintaimu sebagai sahabat.
Ku moho, ini demi kebaikan kita bersama"
Robert benar-benar kehabisan kata-kata. Hidup dan kenyataan memang kejam. Tapi bukankah Tuhan tak akan memberi pencobaan di luar kemanpuan kita?
Sejak hari itu, Robert hidup dengan Lintang. Meski telah bercerai dengan Melisa, ia tetap berhubungan baik dengannya. Tetap berkomunikasi dan menceritakan semua perkembangan Lintang secara diam-diam tanpa sepengetahuan siapapun. Pernikahan boleh berakhir, tapi bukankah hubungan persahabatan harus tetap terjalin?
Lima tahun bercerai, Melisa memutuskan menikah dengan George. Ia pun telah resmi menganti namanya. Dari Melisa Hatt menjadi Melisa Sisca Putri.
~Kita telah sampai di tempat tujuan~
Kecerdasan buatan yang terpasang pada mobil itu membuyarkan kenangan-kenangan lama Robert. Sebauh kenanagn yang terus menghantuinya setiap malam.
Robert melepas sabuk pengaman. Ia menoleh ke arah café tempat tujuannya. Ia mengecek ponsel. Hari ini, ia harus bertemu dengan seorang wanita yang akan dijodohkan denganya.
"Namaku Reta" kata wanita dengan rambut bergelombang sebahu dengan gaun marun. "Pamanku bilang kau tampan, sepertinya ia tidak berbohong"
"Terima kasih, Nona Reta"
Robert menjawab seperlunya. Entah sudah berapa banyak orang yang ingin menjodohkannya dengan wanita. Mulai dari yang umur belasan hingga yang lebih tua.
"Pamanku adalah salah satu pemegang saham di perusahaanmu bukan?"
Robert mengagguk.
"Ia banyak bercerita tentangmu. Ia bilang, akan mengahadiakan rumah mewah jika kita menikah nanti"
Robert kembali diam dan memerhatikan, ia mengamati Reta yang makan dengan elegan. Ia sangat cantik dan menarik. Tapi mengapa ia tak menyukainya sedikit pun?.
"Kau tidak makan?" tegur Reta. "Makanlah, Pamanku akan memberikan apapun untuk mendukung perusahaanmu jika kita menikah. Kau tak perlu kawatir."
Belum sampai Robert menjawab, mata Robert terhenti pada sosok wanita yang baru saja keluar dari mobil. Wanita dengan kacamata, tas putih dan baju berwana putih.
"Kau baik-baik saja?" tanya Reta tak sabar dan menoleh ke arah amata Robert tertuju. Tapi wanita itu tak mendapatkan clue apapun, setelah menoleh.
"Jadi tetapkan saja tanggal pernikahannya." Kata Reta.
Robert kembali fokus kepada Reta. Kata-kata Reta seperti perintah baginya.
"Nona Reta, saya sagat menghargai perasaan Anda. Tapi sepertinya kita tidak cocok."
"Mengapa? Ku rasa kau memenuhi kriteria secara finasial untuk diterima dikeluarga besarku" jawab Reta.
"Bukan masalah itu. Hanya saja, aku memiliki anak yang hampir seusia denganmu"
Reta terkejut. Ia hampir tersedak steak yang masuk ke mulutnya. Tak tahu harus menjawab apa, wanita itu memutuskan pergi tanpa sepatah katapun.