"Sian, Kaukah itu? Lama tak jumpa. Apa kau baik-baik saja?" tanya pemilik café yang segera menghampiri salah satu tamunya.
"Aku baik-baik saja" jawab Sian singkat.
"Kemana saja Kau? Aku mencemaskanmu. Aku bahkan tak bisa menghubungimu"
Sian tersenym dan memberikan pelukan hangat layaknya sahabat.
"Yah, aku keracunan dan dirawat di rumah sakit. Jadi aku tak bisa menghubungimu"
Setelah percakapan itu, Sian segera naik kel lantai dua. Ia memasuki ruang VVIP pribadi yang biasa ia gunakan kapan pun ia berkunjung di situ. Sendiri membuatnya jauh lebih nyaman. Mengingat, terkadang ia membawa pekerjaannya.
"Nona" sahut Robert saat Angle melewati menjanya.
"Bukankah yang baru saja lewat adalah Prof. Sian? Anda akrab dengannya?"
"Benar. Ia sering datang setidaknya beberapa kali seminggu. Tapi belakangan ia tak datang. Aku mencemaskannya."
"Tunggu, bisakah saya bicara dengannya?"
Angle mengerutkan dahinya.
"Saya khawatir itu permintaan yang sulit. Sian tak terlalu suka ada orang asing mendekatinya. Oleh karena itu, ia selalu duduk di ruang VVIP"
Robert mengangguk. Ia segera kembali duduk, sementara Angle mengantarkan pesanan Sian.
Robert berfikir bagaimana caranya bicara pada wanita itu. Ia merogoh kantungnya dan teringat.
"Nona, tolong bantu saya. Kumohon" kata Robert pada Angle yang baru saja turun.
Angle tersentak kaget. Ia terkejut dengan panggilan Robert yang tanpa peringatan terlebih dahulu.
"Baiklah-baiklah. Lain kali, tolong jangan membuat saya terkejut OK? Jadi apa yang bisa aku bantu"
Robert menunjukkan sebuah gelang pada Angle. Wanita itu menerima gelang itu. Ia tak yakin, ini akan berhasil. Namun ia tetap mencobanya.
"Bunga?" tanya Sian heran saat Angle metakkan sebuah nampan di depannya. Wanita itu kemudian membuka piring kecil yang tertutup di nampan.
"Pria itu yang memaksaku memberikan ini padamu" Kata Angle yang menunjuk Robert yang tengah berdiri tak jauh dari ruang VVIP.
Dari tempatnya duduk, Sian bisa melihatnya dengan jelas. Karena ruangan itu hanya disekat dengan kaca satu arah.
"Ia bersi keras ingin bicara padamu. Apa kau mengenalnya?"
Sian mengambil gelang di atas piring dan mengamatinya. Ini memang gelangnya, hanya saja lebih mengkilap dari biasa.
"Biarkan dia masuk" jawab Sian. "Dan terima kasih"
Angle mengangguk dan meninggalkan wanita itu kembali.
"Kau beruntung, Dia menyuruhmu masuk"
Robert mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, ia menghampiri Sian.
"Apa saya mengenal Anda?"
"Profesor. Saya Robert, ayah Lintang. Saya harap, Profesor masih mengingat saya"
Sian tersenyum dan meletakkan kembali gelang di piring kecil. Ia mempersilahkan pria itu duduk di bangku tepat berhadapan dengannya.
"Apa ada yang bisa saya bantu, Tuan Robert?"
Robert mengangguk pelan. Ia menyiapkan hati dan pikirannya sebelum berucap.
"Saya menyukai Anda, Profesor. Bisakah kita berkencan untuk saling mengenal?"
Sian tersenyum.
"Tidak" jawabnya santai.
"Mengapa?"
"Saya rasa, Anda tidak menyukai saya,Tuan Robert. Anda hanya terpengaruh dengan kutukan yang menempel pada saya"
Robert bingung seketika.
Ming yang mendengar cerita Sian tertawa. Ia tak menyangka, Robert akan menyukai Sian. Bukankah mereka hanya bertemu satu kali? Itu pun juga dalam keadaan yang kurang baik.
"Berhentilah tertawa, kita harus mencari solusi untuk ini"
Ming terdiam sejenak. Ia mengamati Sian yang telah rapi dengan gaun indah menempel pada tubuhnya.
"Nikmati saja Yang Mulia. Bukankah ini adalah takdir kita. Hidup abadi dan dicintai?"
Sian menggeleng.
"Kita harus mencari cara mengehentikan kutukan ini"
Ming tertawa lagi.
"Tapi Anda menerima ajakan kencan ayah Lintang bukan?"
Sian tak membanah kenyataan itu. Ia teringat kejadian saat mereka bicara. Ponselnya tiba-tiba menyala dan sebuah pesan masuk.
~Adik, malam ini Mas Surya ke rumah ya? Saya ingin mengenal adik lebih dekat, begitu kurang lebih isi pesannya~
Di satu sisi ia tak nyaman dengan Prof. Surya. Di sisi laian, ia mencoba membua Robert mengerti.
~Tidak, mengapa? Adik tidak menyukai saya?~
Balasan itu membuat Sian gila. Prof. Surya terus bertanya alasannya tak boleh datang.
"Prof. Jangan menghindar dengan dongeng seperti itu. Saya 55 tahun dan Ayah dari seorang anak. Saya mohon, jangan menolak saya dengan alasan gila seperti ini" desak Robert yang masih tak percaya dengan cerita kutukan yang Sian jelaskan.
Sian menghela nafas. Sekali lagi ia melihat ponselnya yang dipenuhi dengan pesan dari Prof. Surya.
"Tolong, biakan saya mencoba. Jika memang kita tidak cocok, saya akan berhenti"
Sian mengambil beberapa menit sebelum menjawab. Jawabannya harus jelas. Di satu sisi, ia tak ingin bersama Prof. Surya. Di sisi lain, ia tak ingin kejadian saling membunuh itu terjadi lagi.
"Baiklah. Malam ini kita coba. Saya sudah menjelaskan semuanya. Pastikan saja Tuan Robert tidak menyesal berkencan dengan saya. Ingat, semua yang mencitai saya pada akhirnya meninggal"
Robert mengangguk.
"Saya hidup di dunia moderen. Saya akan buktikan, kutukan itu tidak ada" jawab Robert.
Sian kembali ke ponselnya.
~Apa Adik menyukai orang lain?,Desak Prof. Surya.~
Sian segera mengetikkan sesuatu untuk membalas chat panjang tak berujung.
~Apa Prof. Menyukai saya? Saya sudah menikah, saya yakin Prof. bisa menemukan gadis lain yang lebih baik dari saya~
Tak ada balasan lagi dari Prof. Surya.