"Ayah, ini pasti ulah ayahku" kata Lintang pada Ken.
Semuanya berubah hanya dalam waktu singkat. Jikalau bukan ayahnya, siapa lagi? Seumur hidupanya, Lintang tak pernah melihat sang ayah ikut campur dalam masalahnya. Tapi kali ini, ia masuk ke dalam dan merusak semuanya.
"Nona, sebaiknya jangan ganggu" kata Hilada memperingatkan Lintang dan Ken yang datang siang itu.
Lintang bukan gadis gila hormat. Meski ayahnya adalah seorang hebat pemilik perusahaan, namun ia enggan datang ke tempat sanga ayah bekerja. Ia lebih senang diam di rumah dan menikmati hidupnya yang tenang.
"Jika bukan karena ayahku membuat masalah, kami tak akan ke sini Nona Hilda"
"Tapi" kata Hilda ketakutan melihat Lintang melenggang.
Hilda mencoba mengubungi security, tapi langkan Ken dan Lintang jauh lebih cepat.
"Inikah yang di sebut sibuk?" sindir Lintang.
Robert melirik ke putrinya dan Ken. Ia letakkan berkas yang diam-diam ia amati sedari pagi.
"Hilda mengizinkanmu masuk?"
"Tidak Ayah!" sahutnya cepat. "Aku mengelabuhinya."
"Apa yang putriku inginkan sampai datang kemari?"
Lintang melempar surat pemberitahuan dari kampus. Robert membacanya sekilas.
"Ini baik untuk kalian" belanya pada diri sendiri.
"Baik?" tanya Lintang. Ia tertawa geli sekaligus kesal. "Ken, apa kau bisa menemukan kebaikan dari penggantian dosen pembimbing ini?"
Ken menggeleng.
"Benar! Tidak ada kebaikan dalam hal yang ayah lakukan. Jika ayah meminta mereka mengganti dosen pembimbing kami, maka semua usaha kami akan sia-sia!
Tidakkah ayah berfikir sebelum bertindak?"
Robert mengerutakan dahinya.
"Orang tua tahu apa yang terbaik baik anak-anaknya"
"Tidak ayah! Kau naïve. Sejak kapan Ayah jadi ikut campur masalah kami? Bukankah ayah selalu bilang, raihlah semua dengan usahamu sendiri. Ayah tak akan membantu sedikitpun?
Kemana kata-kata bijak seorang ayah pada anaknya selama ini?
Katakan Ayah! Apa alasan ayah meminta mereka melakukan semua ini?"
"Surya bukan guru yang baik"
"Mengapa?"
Robert tak menemukan jawbannya. Tepat seperti yang Lintang pikirkan.
"Kau membencinya tanpa alasan Ayah?"
Lintang mengambil surat di meja kembali. Tak terbanyang betapa konyol alasan sang ayah hari itu.
"Prof. Surya dan Sian adalah satu-satunya orang yang bisa membaca penemuan gulungan kami. Mereka akan sangat membantu penemuan naskah kuno ini. Ini akan membuka jalan bagi karir kami sebagai seorang arkeolog.
Tapi, lihat apa yang ayah telah lakukan. Ayah menghancurkan usaha kami hanya dalam satu malam. Semua usaha kami sia-sia!"
Robert menarik nafas. Dilihatnya wajah kecewa putri semata wayangya. Ke-egoisannya akan cinta membuatnya melakukan hal semacam ini. Hal-hal diluar batasnya sebagai ayah.
"Berikan gulungan itu, ayah akan menemukan orang lain untuk membacanya"
Lintang tertawa.
"Ayah, apakah ayah ingin menggunakan kekuasaan ayah lagi?"
"Bukankah Kau juga begitu Putriku?"
Lintang terdiam. Ken yang dari tadi menemani hanya mematung melihat keduanya berdebat.
"Kau membawa sumber daya dari Ayahmu ini untuk menemukan gulungan di lokasi penggalian. Katakan, jika kau hanya memiliki ayah seorang biasa, apakah putriku yang cerdas ini akan menemukan sebuah artefak kuno?"
"Aku ingin ayah mencabut permohonan ini dari universitas"
"Tidak" bantah Robert keras.
Sebelum putrinya kembali menyanggah, Robert bicara. "Surya tak akan meluluskanmu. Percayalah pada ayah. Apalagi, saat ia tahu kalian berhubungan dengan ayah"
Lintang marah sepanjang perjalan kembali ke rumahnya. Ken hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi. Tak terbayangkan semua berubah hanya dalam satu malam.
"Mengapa tak sekalian saja, ia memberikan kita gelar Doktor?"
"Kau gila Ken, tidak ada sesuatu yang dicapai dengan instan. Apa yang di dapat dengan mudah akan hilang dengan cepat juga."
Mobil berhenti di teras rumah Ken.
"Tunggu, ini rumahku?"
Lintang mengangguk dan keluar dari mobil.
"Kita harus selamatkan apa yang bisa kita selamatkan, sebelum ayahku menyita semua penemuan kita."
"Tapi aku tak menyimpan apapun, Lintang. Kau membawa semuanya bukan?"
Lintang tak menjawab dan masuk ke dalam rumah seperti rumahnya sendiri. ia berpapasan dengan asisten rumah tangga dan tersenyum. Tiba di kamar Ken ia langsung melakukan invasi.
"Aku adalah asset paling berharga saat ini. Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini sementara waktu"
"Apa?" Teriak Ken terkejut. "Kau sudah gila Lintang! Ayahmu bisa membunuhku!"
"Tenanglah, aku akan membayar sewanya. Jadi kau tak perlu kawatir!"
Ken berusaha menjelaskan. Namun semua penjelasannya itu tidak diindahkan oleh Lintang. Sahabatnya , justru pergi mencari ayah dan ibu Lintang.
"Oh, tidak usah bayar Nak Lintang. Tinggal di sini gratis, selama kamu nyaman aja. Biar Ken nanti pindah di kamar belakang depan kamar Mbak Jum, bagaimana?"
Melihat ibunya tak membantu sama sekali Ken menjadi kesal. Ia segera membereskan beberapa barang-barang miliknya. Mbak Jum membantunya memindahkan semua barang yang ia miliki. Sementara Lintang menelepon seorang asisten rumah tangganya untuk membantu mengatur kamar barunya menjadi sebuah tempat kerja.
"Sudah Mas, nggak apa-apa. Mbak Lintang kan calon istri masa depan Mas. Sekarang Mas ngalah dulu ya? Kamar ini sudah saya bersihkan Kok" bujuk Mbak Jum.
"Aduh Mbak, amit-amait dah saya punya istri kayak Lintang. Bisa dianiyaya saya setiap hari" gerutu Ken semakin kesal.
Kamar baru Ken sangat kecil. Sepertiga dari kamar aslinya. Barang-barang koleksi Ken terpaksa dipindahkan ke gudang. Kamar itu hanya memuat sebuah tempat tidur, meja belajar dan almari tanpa toilet. Sangat berbeda dengan kamarnya di atas.
"Sudah tidak usag menggerutu terus. Tidak baik terus mengeluh. Sama perempuan itu harus mengalah. Kamu itu laki-laki. Malu kalau Lintang dengar!" tegur sang ayah melihat Ken terus menggerutu.
Di rumah Lintang, sang ayah meminta asisten rumah tangganya diam-diam membuat salinan gulungan yang putrinya temukan. Ia tahu, Lintang adalah anak keras kepala yang tak akan memberikan gulungan itu.
"Nona…"
"Sudahlah, aku tahu ke mana ia pergi. Ia berada di rumah Ken. Ibu Ken baru saya memberitahu."
Robert mencoba membaca apa yang anaknya temukan. Ia juga diam-diam menyalin semua riset milik anaknya. Selama ini, apapun yang anaknya lakukan akan selalau terpantau, karena Robet diam-diam memasang alat penyadap.
"Hanya setengah yang terbaca. Apa Kau bisa membaca sisanya?"
Sian mengunduh salinan gulungan yang Lintang temukan. Selama ini, Lintang menolak menunjukkan gulungan asli itu. Kini, Robert yang tegila-gila padanya malah memberikan salinan gulungan dengan suka rela.
"Entahlah, aku tak melihat apapun. Aku butuh bentuk asli gulungan ini. Kau tahu? Gulungan kuno terkadang memiliki trik khusus untuk menyembunyikan catatannya. Kau lihat sendiri bukan? Setangah dari gulungan ini kosong"
Robert mengangguk dari layar. Tak lama sambungan terputus. Ming yang melihat salinan gulungan yang Sian unduh berdecak kagum.
"Lihat, Kekasih baru Anda bukan orang sembarangan Yang Mulia. Dia adalah Raja teknologi. Raja era modern yang bahkan bisa membuat para pengusaha menjilati kakinya"
"Ming, mengapa aku tak ingat ada gulungan seperti ini?" tanya Sian mengalihkan pembicaraan.
Ming menggeleng. Memorinya tak pernah hilang, tapi ia tak ingat pejabat kerajaan mana yang menulis gulungan itu. Terlampau lama mereka hidup dan mengalami pergantian kekuasaan. Ming selalu berusaha mengahancurkan semua catatan sejarah tentang keberadaan mereka. Hanya saja terkadang masih ada yang menulis secara diam-diam.
"Kita harus memusnahkan gulungan ini"