Tuhan adalah kasih. Tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya demi orang lain. Sayangnya sebagain besar cinta memang akan berkorban namun demi satu tujuan. Bukankah cinta murni itu hanya dongeng belaka?
"Kutukan ini mulai memudar"
"Benarkah? Yang Mulia, apa yang membuat Anda berfikir demikan?"
"Mereka bukan seorang penguasa Ming. Jadi, tak akan ada pertumpahan darah. Aku cukup menyelesaikan semua ini dengan cepat bukan?"
Ming tersenyum kecil.
"Menyelesaikannya dengan cepat, atau Yang Mulia Ratu memang jatuh cinta pada salah satu diantaranya?"
Pertanyaan Ming tepat mengenai sasaran. Hidup bersama dalam kutukan selama ribuan tahun membuat Ming negenal Sian lebih dari seorang kakasih. Ming lebih dari seorang tabib yang mengikuti ke mana tuannya pergi. Ming adalah sahabat yang paling mengerti Sian.
"Kau baik-baik saja, Profesor?"
Robert tampak khawatir cerita hidupnya malam itu membuat orang yang ia kencani bosan. Meski ia menggengam tangan Sian, tapi hati dan pikiran gadis itu pergi entah ke mana.
"Oh, maaf sampai di mana kita tadi?"
Robert berusaha mencairkan kecangungan di antara mereka. ia menoleh ke a ah pasangan lain yang berkencan juga di tempat itu. Sebuah tempat di atas gedung dengan reservasi khusus untuk sedekar menikmati makan malam.
"Saya sudah menceritakan kisah saya, bagaimana jika Profesor menceritakan tentang diri Anda?"
"Kau yakin ingin mendengarnya, Robert?"
"Apakah aku tak boleh tahu tenatang kisahmu, Sian?"
Sian meminta Robert pergi ke perpustakaan kota. Malam itu sekitar tiga puluh menit sebelum tutup. Jika bukan karena Sian adalah seorang guru besar, petugas perpustakaan akan memintanya keluar.
"Mungkin Kau bisa mencari tahu, lewat buku ini"
Robert mengambil buku digital dan menyalakannya. Sebuah judul absurd tertulis pada halaman pertama. Saat Ia membuka halamaan berikutnya, siapapun tahu buku ini tak layak dikonsumsi publik.
"Menelisik Wanita Abadi Haus Darah?"
Sian megangguk.
"Pengarangnya adalah seoang ahli meta fisika, bukan sejarahwan. Buku ini tak bisa dipertanggung jawabkan"
"Tapi ia menulis berdasarkan kisah nyata" bantah Sian.
Robert membalik halaman-halaman berikutnya secara cepat. Halaman demi halaman, semua membahas seorang wanita yang tidak pernah bisa dibuktikan keberadaanya secara ilmiah. Buku semacam ini adalah sebuah dongeng bagi Robert. Ia terbiasa bergumul dengan angka dan grafik, bukan cerita fiksi.
"Mungkin aku harus menemui pengarangnya"
"Aku membunuhnya" sahut Sian singkat. "Ia menemukanku dan ingin mempubilkasikan keberadaanku. Aku tak punya pilihan. Aku menghabisi nyawanya, tiga puluh tahun lalu.
Jadi Tuan Robert, apa Anda masih tertarik dengan saya?"
Dalam perjalan pulang Sian dan Robert tak banyak bicara. Siasat Sian Nampak begitu mulus menampar pipi Robert. Mungkin setelah ini, ia tak akan menemui wanita itu lagi. Terkadang hanya perlu sedikit gertakan untuk menjauhkanmu dari seseorang jatuh cinta padamu.
Sebagian besar orang siap menerima kelebihan kita tapi tidak dengan kekurangan kita. Tanyalah pada dunia apa arti cinta, maka yang tersisa hanyalah nafsu belaka.
"Berapa banyak orang yang telah Kau bunuh dengan tanganmu?"
Sian menoleh.
"Maaf?"
"Membunuh seorang ahli metafisika dengan mudah tanpa penyesalan, aku yakin itu bukan kali pertama bukan?" jelas Robert. "Jadi, sudah berapa orang yang Kau bunuh selama hidup?"
"Aku tak pernah menghitung, Robert. Percayalah Kau tak akan pernah tahu berapa jumlahnya"
Tiba di halaman rumah Sian, Ming sudah menunggu mereka. Saat Robert akan membuka pintu, Ming membukanya terlebih dahulu. Ming terasa familiar di mata Robert.
"Ming?"
"Yap, masalah datang" kata Ming memberi isyarat ke dalam rumah.
Sian segera melangkah ke dalam. Robert masih mengikuti wanita itu.
"Profesor Surya?"
Pria itu menoleh. Ia telah duduk di ruang tamu berjam-jam lamanya. Berpakaian rapi, kacamata dan perawakan santun.
"Adik"
"Bukankah saya sudah mengatakan, saya tidak bisa menemui Profesor?"
"Mas" sanggah pria itu. "Panggil saya Mas. Kita tidak sedang di universitas"
Sian mendekat.
"Ada yang bisa saya bantu?" Kata Mas atau Prof sengaja Sian lewati. Ia tak ingin membuat pria itu nyaman dengan dirinya.
Hidup ribuan tahun membuatnya sadar seribu trik yang pria akan lakukan demi mendapatkan sang pujaan hati.
"Ada yang ingin saya bicarakan, secara pribadi dengan Adik"
Ucapan itu berhenti dengan pandangan pada Robert dan Ming. Sian mengangguk dan menoleh ke pada dua pria itu.
"Saya akan membeli minuman untuk kalian" ujar Ming sambil menarik Robert.
"Hei bocah, lepaskan!" kata Robert kesal. "Aku bisa berjalan sendiri!"
"Begitukan? Paman bahkan tidak terlihat seperti ingin memberi mereka ruang" sindir Ming.
Robert tak menjawab. Wajah masamnya terlihat begitu jelas. Baik Ming maupun Robert menunggu di kursi teras.
"Paman, apa Kau jatuh cinta pada bibiku?"
Robert menoleh. "Apa itu tampak aneh?"
"Tidak, hanya saja aku tak menyarankan Kau mengencani bibiku. Dia bukan wanita biasa"
"Maksudmu, dia wanita yang telah dikutuk dan tidak akan mati?" sindir Robert. "Aku sudah tahu itu"
~Dasar keras kepala, umpat Ming pada dirinya senrdiri~
"Siapa pria itu? Dan apa kita saling mengenal? Aku merasa sangat familiar denganmu"
Ming tersenyum.
~Bagaimana mungkin Kau tidak familiar denganku? Aku adalah dokter yang menangani keluargamu sebelum sampai aku menjalankan kematianku beberapa saat lalu~
"Mungkin. Mengapa Anda tidak menanyakannya pada putri Anda?"
Kesal dengan keadaan, Robert masuk ke mobil. Ia menyandarkan kepalanya di kemudi.
"Bob, cari tahu siapa Prof. Surya" perintahnya pada kecerdasan buatan yang ada di mobil.
Dalamh itungan detik muncul banyak sekali nama Surya. Bob mengeliminasinya satu persatu berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
"Dia adalah dosen pembimbing skripsiku Ayah, apa ada masalah?" tanya Lintang.
Robert tak menjawab dan segera mematikan sambungan. Semua profil pria itu muncul dengan cepat. Dengan konfirmasi dari sang putri, ia yakin Prof. Surya sedang mengejar Siane.
"Apa ini?" tanya Robert melihat sebuah kotak cincin di meja. Entah sejak kapan pria itu sudah ada di dekat Sian kembali.
"Kau belum pulang?"
"Bagaimana aku bisa tenang melihat seorang kakek tua merayumu dan bahkan…"
Robert membanting kotak cincin ke sofa. Kotak itu terbuka dan cincin jatuh ke lantai. Sebuah cincin berlian besar.
"Dia rekan kerjaku" jawab Siane singkat.
Ming yang melihat kejadian itu dari atas hanya menggelengkan kepala. Ke kanak-kanakan, pikirnya.
"Kau menerimanya?"
"Dia akan pulang dengan wajah bahagia jika aku menerimanya bukan?"
"Tapi"
"Robert, aku tak mengatakan padanya bahwa aku wanita abadi yang dikutuk. Aku juga tidak akan menikah dengannya atau siapapun yang mendekatiku"
"Mengapa?"
"Karena semua yang menikahiku akan mati mengenaskan dibunuh pria lain yang menyukaiku. Aku yakin, kau tak ingin mengalami hal itu juga bukan?"
Robert tertawa geli. Ia memandangi berlian besar di lantai. Ming semakin kasihan melihat pria itu. Cinta buta pada masa puber kedua, pikirnya.
"Menikahlah denganku. Aku tak keberatan mati karena cinta, dibanding mati dalam kesendirian"