"Gelang ini tak ternilai harganya." jelas soseorang pada kliennya.
"Bukan karena material pembentukknya. Tapi lebih kepada nilai historisnya. Ini sudah berumur ratusan tahun. Dengan emas putih asli dan designs elegant kuno. Ini bukan gelang sembarangan. Batu berlian yang mengihiasinya pun dipotong dengan tangan. Bukan dengan bantuan mesin canggih seperti sekarang ini."
"Ini adalah sebuah mahakarya" kata pria itu lagi memberi penekanan.
"Jika ini Anda publikasikan, saya yakin akan banyak sekali kolektor yang mengincarnya. Mereka akan membayar dengan harga yang sangat mahal. Ada unsur sejarah yang membeku bersama kenangan di dalamnya.
Kalian di depan pria itu menggeleng tak yakin. Ia mengambil gelas usang yang hampir-hampir seperti barang rongsokan di hadapannya.
"Apa Anda ingin saya membersihkan benda ini?" tanya pria yang sangat bersemangat itu lagi.
Dengan ragu klien itu mengulurkan kembali gelang yang ada di tangannya. Ia mengulurkan kepada ahli permata langganannya. Namun saat tangan ahli permata di depannya hendak mengambil. Ia menariknaya kembali.
"Saya rasa, biarakan saja benda ini tetap seusang ini"
Ia sengera mengucapkan terima kasih dan melakukan sacaning pada barkot yang ada di hadapannya sebagai bentuk pembayaran.
Ahli permata yang melihat reaksi kliennya itu bingung. Ia terdiam terpana. Dalam hatinya, ia menimbang-nimbang. Apakah dirinya melakukan kesalahan? Mengapa si klien pergi dengan muka masam?
"Lila, apa aku salah bicara?" tanyanya pasa asisten cantik di sampingnya. Wanita itu menggeleng.
Penjelasan ahli permata tetang nilai sejarah yang melekat pada gelang kuno terus bergema di kepala pria itu. Ia mulai berfikir keras, dari mana anak semata wayangnya menemukan benda ini? Apa ini benda curian?
"Oh! Aku tidak mencurinya, Ayah. Aku menemukannya di lantai" kata sang putri yang mencoba membela diri.
"Menemukannya? Di lantai?"
Penekanan kata per kata membuat Lintang sedikit gusar. Ia tahu apa arti penekanan itu? Setiap kata yang ditekan mengandung unsur kata jelaskan! Sebuah penjelasan logis yang pastinya berasal dari kejujuran hati. Bukan karangan indah seperti pada cerita-ceita novel misteri.
"Aku melakukan konsultasi dengan dosen pembimbingku" kata Lintang memulai cerita heroiknya.
Ia merasa perlu menceritakan semua detailnya sampai tuntas. Jika ketauan berbohong, wah bisa gawat. Lintang dibesarkan seorang diri oleh ayahnya. Tapi bukan berarti ia bisa se-enaknya sendiri tanpa disiplin dari ayahnya.
Maka dengan cekatan, Lintang menjelaskan secara rinci. Tidak ada detail yang ia lewatkan. Semuanya persis tanpa bumbu penyedap apapun. Seperti roti yang dibuat tanpa ragi ataupun penyedap rasa yang membuat ceritanya terdengar seperti drama.
"Ku rasa, itu adalah tindakan pencurian!"
"Tidak ayah. Aku tidak bermaksud…"
Perkataan Lintang terhenti. Ia tidak berani melanjutkan. Tentu saja, ia tahu benar. Yang ayahnya katakan itu benar. Jika ia memang tidak berniat mengambilnya, mengapa harus sampai membawanya pulang? Seharusnya cukup meletakkan gelang di meja dan semuanya akan beres.
Lintang, mengapa kau begitu naif? Bukankah kecanggihan digital, akan bisa menampilakn foto tiga dimensi dari yang dipotretnya? Mengapa sampai harus repot-repot membawanya pulang? Ayahmu jadi marah, bukan? Batin Lintang.
"Ayo pertanggung jawabkan kesalahanmu!" kata sang ayah. Lintang yang belum sempat menjwab tiba-tiba sudah ditarik tangannya.
"A ….Ayah kita akan ke mana?" tanya Lintang.
Sang ayah tidak menjawab. Ia hanya menyalakan mesin mobil dan berkendara secepat mungkin.
"Rumah sakit? Untuk apa?" tanya Lintang saat mengetahui kordinat jalan yang dipilih oleh mesin GPS pada layar mobil.
~Kau tidak mungkin akan mengatakan bahwa anakmu ini mencuri gelang bukan, Ayah? Kumohon Tuhan tolong cegah ayahku melakukan hal bodoh yang akan merusak reputasiku dan reputasinya sendiri~
Tapi bukan ayah Lintang namanya jika ia takut dan berkelit. Ia bahkan tanpa canggung mengatakan semua yang Lintang lakukan pada Siane. Perubahan wajah Siane terlihat begitu jelas. Sungguh berita mencengangkan. Ini bukan telenovela. Meski begitu, kekecewaan pada Siane terlihat begitu jelas. Mengapa hidupku harus penuh dengan drama pikir wanita dengan selang infus di tangannya.
"Ini ambillah. Jika Kau menyukainya, Kau boleh memilikinya" kata Siane kepada Lintang yang sudah ketakutan mendengar hukuman apa yang akan di terimanya.
"Apa?" kata Lintang berteriak spontan. Dalam teriakakkanya terselip kata, Apa aku tidak salah dengar?
Siane mengangguk dan menjelaskan sekali lagi. Tentu saja, ini membuat Lintang terkejut. Begitu pula pria lain dengan topi di kepala yang sedang duduk nyaman pada soda memandangi drama kehidupan live action di depannya.
Se-umur hidup ini adalah keputusan paling kontroversial. Tak masuk nalar sama sekali. Apa hampir mati membuatnay berubah? Mustahil!
"Te …terima kasih" kata Lintang menundukkan kepalanya sedikit.
Siane kembali tersenyum. Ming dengan tampilan barunya di sofa terus berdecak kagum pada perubahan hati Siane. Ia semakin ahli bermain peran. Ekpresinya sempurna. Satu-satunya orang yang ekpresinya datar dan tidak berubah sama sekali di ruangan itu adalah dia. Dia pria yang bertanggung jawab atas jalannya drama ini. Benar pria itu adalah ayah Lintang.
"Huh hampir saja. Aku kira aku akan di Drop Out!" keluh Lintang kepada sang ayah yang mengemudi dengan tanpa ekpresi.
Litang yang duduk di sebelah kemudi tidak bisa menebak apa yang ada di benak ayahnya. Ia juga tidak berani bertanya meski hanya satu patah katapun.
"Berikan gelang itu pada Ayah"
Glek, apa lagi ini? Tanya Lintang pada sahabatnya yang terdekat yaitu nurani. Apa ia masih marah dan akan menghukumku? Nurani membisu. Ia tidak bisa memberikan konfirmasi apapun hari ini.
Dengan sedikit takut, Lintang memberikan gelang itu kepada ayahnya. Menerima gelang itu, sang ayah hanya meletakkanya di depan kemudi mobil. Tidak ada yang tahu apa yang ada di benak pria itu sekarang.
Apa dia berencana menghukumku? Tanya Lintang pada nurani lagi.
Kali ini nurani mengangguk. Ia seperti berbisik pelan. Sepertinya begitu. Apa lagi yang kau harapkan? Ayahmu akan tetap memberikan disiplin padamu bukan?
"Turun, jangan mengulangi hal bodoh lagi"
Lintang kembali menoleh. Pintu sudah terbuka. Kalimat kejam yang ayahnya lontarkan seperti memberi peringatan kepada sahabat Lintang lainnya, yaitu logika. Ia benar-benar mengibarkan bendera putih dan tidak mau lagi bekerja sama bersama Lintang maupun nurani untuk bertindak bodoh lagi.
"Baik Ayah. Terima kasih" kata Lintang saat sudah turun dari mobil.
Sang ayah segera menuntup mobil dan pergi entah ke mana.
Di rumah sakit Ming dengan identitas barunya menggerutu. Ia merengek penjelasan pada Siane.
"Aku memang hidup dan dilahirkan ratusan tahun lalu. Tapi bukan berarti aku berhenti belajar hal-hal baru bukan?"
"Maksud Anda?" tanya Ming lagi.
"Gelang itu sudah dimodifikasi. Ku rasa, ayah Lintang menyadari sesuatu dan ingin mencari tahu lebih lagi. Ia memasang sensor dan kamera tersembunyi di gelang tadi. Jika aku terus memakainya, kira-kira apa yang bisa ia dapatkan?"