"Prof Sian, Anda sudah sadar?"
Sian membuka mata perlahan. Kesadaran mulai terbentuk di kepalanya. Ia melihat lurus ke depan. Cahaya lampu yang hangat membuat matanya yang sensiti terbuka.
"Apa yang Kalian lakukan di sini?"
Tak disangka, pertanyaan wanita yang berbaring itu membuat bahagia dua anak di depannya. Baik Ken maupun Lintang hampir-hampir melompat kegirangan. Jelas, sangat berbeda dengan Sian yang terlihat sangat tidak antusias.
"Kamu sudah pingsan selama dua minggu. Kami senang Adik Sian bangun hari ini"
Deg, suara itu membuat Sian sedikit tidak nyaman. Ia menoleh mencari sumber suara itu.
"Profesor Surya?"
Pria itu tersenyum dan mendekati Sian. Ia menarik kursi dan duduk di samping ranjang wanita lemah yang baru saja membuka matanya. Ia mengangguk.
"Kamu pingsan. Beruntung sekali. Lintang dan Ken mendatangi saya. Jika tidak…"
"Maaf Prof, saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan" kata Sian dengan nada sedikit dingin.
Prof Surya tersenyum. Ia meminta Lintang dan Ken menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi pada Sian. Dengan semangat yang membara Ken menjelaskan bahwa sebenarnya mereka mencari Sian untuk bimbingan skripsi. Namun pihak kampus memberitahu bahwa Sian sudah lebih dari dua hari tanpa kabar dan tidak bisa dihubungi.
"Kami tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian kami mencari Prof. Surya dan menanyakan hal ini. Sangat beruntung Prof. Surya mengajak kami mengunjungi kediaman Anda, Prof. Sian. Dan saat tiba, kami melihat mobil Anda terparkir. Namun rumah tampak sepi. Kami mencoba bertanya ke petugas di portal. Mereka mengatakan bahwa Anda tidak keluar dari komplek." Kata ken.
"Lalu kami meminta bantuan polisi untuk mengecek rumah Prof. Mereka membuka setiap ruangan dan kami menemukan Anda dengan denyut nadi yang sangat lemah terbaring di kamar. Kemudian, kami membawa Prof untuk di rawat."tambah Lintang melanjutkan.
"Benar, Kau keracunan suatu obat. Dan sangat beruntung, kami tidak terlambat menolong Adik Sian. Sehinga kami masih bisa melihat Adik saat ini"
Sian tersenyum tipis.
"Terima kasih atas perhatian kalian dan Prof. Surya" kata Sian.
Baik Ken dan Lintang terlihat senang. Prof. Sian terlihat memerah wajahnya. Bagaimana tidak, orang yang ia sukai mengucapkan terima kasih. Ini pertama kalinya Prof. Surya terlihat berguna di mata wanita yang ia sukai selain almarhum istrinya.
"Jadi, bagaimana? Apa yang Adik rasakan? Apa Adik membutuhkan sesuatu?"
Sian menggeleng. Ia hanya meminta dipanggilkan dokter Ming, dokter yang biasa merawatnya saat sakit.
"Maaf Nona Sian, saya dokter Lou. Saya yang bertanggung jawab merawat Nona."
Sian bingung. Biasanya, jika ia masuk ke rumah sakit tempat ia dirawat sekarang, Minglah yang akan menanganinya.
"Boleh aku tahu? Ke mana dokter Ming?"
Dokter Lou melepas kacamata dan mengatakan.
"Beliau telah berpulang sekitar lebih dari satu minggu yang lalu"
Setelah mengatakan hal itu. Dokter Lou segera menjelaskan keadaan Sian saat ini. Semuanya sudah mulai membaik. Racun ditubuhnya berangsur-angsur netral. Dalam dua tiga hari ia akan segera pulang. Mendegar hal itu Sian terseyum. Sebuah senyuman manis bagi siapapun yang meilihatnya.
Tapi tentu saja, senyum Sian bukan berarti kebahagian untuk kesembuhan melainkan. Kebahagian bahwa obat yang Ming berikan hampir bisa membunuh dirinya. Mungkin dengan menambahkan beberapa bahan berbahanya, maka onbat itu akan benar-benar bisa merenggut nyawanya. Membuatnya meninggal dan memang itulah yang ia inginkan.
Ming, di mana ia sekarang? Jika ia sudah membuat dirinya meninggal, itu artinya ia akan membuat identitas baru. Biasanya, orang yang akan Sian temui saat membuka mata pertama kali adalah Ming. Kini ia melihat Lintang, Ken dan Prof. Surya. Benar-benar plot yang sedikit berbeda. Yah mungkin karena mereka membawaku ke rumash sakit, sehingga Ming tidak bisa menemaniku saat ini. Begitu pikir Sian.
"Apakah Anda memiliki keluhan Nona Sian?"
"Nyonya, beliau jauh lebih dewasa dari Anda dokter Lou. Mohon menghormati posisi Prof. Sian" tegusr Prof Surya yang kesal mendengar dokter Lou memanggilnya Nona.
Sungguh ini sangat jelas, Sian memiliki pesona yang luar bisa. Bahkan dokter Lou yang masih muda pun sampai bisa memanggilnya Nona.
"Oh, maaf Nyonya. Saya kira" kata dokter Lou.
"Sudahlah Dok, tidak masalah Anda memanggil saya apa" sahut Sian. "Saya merasa baik. Kurasa Dokter bisa tenang sekarang. Terima kasih telah merawat saya"
Dokter Lou tersenyum. Ia membungkukak kepalanya sedikit dan segera meninggalkan ruangan. Prof. Surya terlihat kesal melihat dokter muda itu. Ada sedikit perasaan tidak aman di dalam hatinya.
"Anak muda zaman sekarang tidak tahu tata kerama dan sopan santun" gerutu Prof Surya.
Ia terlihat jengkel. Tapi memang tidak bisa dipungkiri, Sian terlihat sangat muda. Apalagi, saat ini Sian sedang tidak berdandan. Wajah aslinya terlihat bercahaya dan tidak menua sama sekali. Sian mengaku berusia lima puluh tahun. Tentu saja ia tidak mungkin mengatakan bahwa ia ribuan tahun bukan? Itu adalah rahasia yang hanya ia, Ming dan Tuhan yang tahu.
"Jangan tertawa kalian" tegur Prof. Surya melihat Ken dan Lintang yang saling berbisik dan tertawa lirih. Dua orang itu tahu, bahwa Prof. Surya cemburu pada dokter Lou.
"Sudah-sudah. Cepat pulang. Selesaikan srikpsi kalian. Ingat saya tunggu revisnya besuk."
Ken dan Lintang menangguk dan undur diri. Mereka mengerti, sebenarnya Prof. Surya hanya ingin berduaan dengan Prof. Sian. Jadi mereka segera pergi dari ruangan itu.
"Adik, bagaimana sekarang. Apa Adik mau makan sesuatu? Biar Mas Surya belikan"
Sian dengan tenang tersenyum dan menggeleng.
"Terima kasih atas kebaikan Prof. Surya. Tapi saya sudah banyak merepotkan selama dirawat bukan? Saya rasa, Prof. Sudah tidak perlu khawatir lagi. Prof. Bisa pulang sekarang. Saya akan baik-baik saja"
"Tidak Dik, Mas akan menjaga Kamu. Kamu tidak punya siapa-siapa lagi. Suami kamu sudah meningal. Istri saya juga sudah pulang ke Rahmatullah. Saya tahu rasanya sakit sendirian. Saya akan menjaga kamu" bantah Prof. Surya kekeh
Entah mengapa panggilan adik dan mas terdengar menyedihkan di telinga Sian.
"Prof. saya sudah baik. Saya tidak ingin Prof. sakit karena kelelahan menjaga saya. Jadi tolong Prof. pulang dan istrirahat ya?" bujuk Sian dengan manis sambil menahan rasa geli.
Prof. Sian menghela nafas.
"Adik memang sangat perhatian sama Mas. Saya terharu. Begini saja, saya akan kirim Marni untuk menemani adik ya. OK? Mas tidak mau Adik kenapa-napa."
"Tapi"
"Cukup" kata Prof. Surya menghentikan Sian. "Kalau Adik membantah, maka Mas yang akan menemani Adik. Bagaimana? Apa kita sepakat?"
Sian menghelan nafas. Seumur hidup sudah ia lalui dengan hal-hal konyol tentang cinta. Sekarang? Oh tentu saja, ini tidak segila yang penah ia alami. Ia pernah mengalamai yang lebih gila dari ini.
"Baiklah Prof. Saya setuju"
"Nah begitu" kata Prof Sian. "Satu lagi, panggil saya Mas. OK?"