Siane dengan pakaian dayang membawa nampan berisi banyak makanan. Ia berjalan menuju kamar para raja.
"Berhenti, Kau mengatar makanan untuk Raja?"
"Benar"
Prajurit itu memeriksa makanan. Setelah yakin, makanan itu tidak beracun. Ia menyuruh Siane masuk ke kamar raja.
"Baginda, hamba mengantar makam malam untuk Baginda"
Keheningan seketika terjadi. Kamar yang tadinya ramai, mendadak diam karena kehadiran seorang dayang istana.
"Hmmm, angkat wajahmu!"
"Untuk apa Baginda? Ia hanya seorang pelayan. Mengapa harus melihat wajahnya?" teriak wanita di ruangan itu.
"Benar, untuk apa meminta wanita ini mengangkat wajahnya?! Bukankah Baginda berjanji akan menghabiskan malam bersama kami malam ini?"
"Selir-selirku. Kalian terlalu pecemburu. Aku hanya ingin melihat wajahnya saja. Apa tidak boleh?" jawab satu-satunya laki-laki di kamar itu.
"Bukanya tidak boleh. Tapi, aku dengar Baginda meminta Jiarti untuk memilih dayang yang tercatik setiap malam untuk menemani baginda. Bagaimana kami tidak iri? Apa kami tidak cukup cantik?"
"Benar, jika setiap malam Baginda memanggil dayang baru untuk menemani, kami merasa sangat tidak berguna."
"Sudah cukup! Lestari! Kau harus ingat siapa Kau dulu! Kau tidak lebih dari seorang dayang juga bukan? Aku mengangkamu sebagai selir. Apa sekarang Kau berani membantahku?" teriak baginda raja.
Siane yang menunduk tidak bergeming. Ia hanya mendengarkan percakapan ini dengan sabar. Ia menunggu kesempatan yang baik.
"Kalian berdua keluarlah. Jangan membantah!" kata raja.
Dua orang wanita itu keluar. Sebelum keluar, mereka berusaha mengamati Siane yang menunduk. Berharap bisa memberikan pelajaran padanya esok hari.
"Taruh saja makanan di meja dan perlihatkan wajahmu"
Rajapun merebahkan dirinya ke ranjang. Ia sangat penasaran dengan dayang yang Jiarti pilihkan mala mini
~Apa dia lebih cantik dari yang semalam? Jiarti, kau benar-benar lihai memilih. Batin raja~
"Mengapa masih diam, kemari dan temani aku" perintah raja yang melihat Siane berlutut dan menunduk.
"Pelihatkan wajahmu!"
"Hamba tidak yakin, Baginda" jawab Siane.
"Mengapa?"
Siane bangkit perlahan. Ia melepaskan ikatan rambutnya dan mendekati baginda raja.
"Karena saya adalah adalah kesialan Anda malam ini." Kata Siane sambil menancapkan pisau ke dada Baginda dan terus menekannya.
Raja bersuaha berteriak dan mencekik Siane.
"Pengawal.!"
Teriakan itu membuat Siane kesal dan semakin dalam menancapkan pisau hingga meningal. Prajurit menggedor pintu. Siane turun dari tempat tidur. Dan membuka pintu itu.
"Kebetulan sekali, apa kalian masih mengenaliku?"
Semua prajurit takut dan berlutut dengan kaki gemetar.
"Bagus, kalian masih tahu aturan. Bawa mayat pria busuk ini keluar! Kumpulkan para selir dan permaisuri sekarang juga. Aku ingin bertemu dengan semua pembesar istana!"
Siane berjalan keluar dari kamar dan menuju ke singgasana. Dengan pakaian dayang yang melekat, siapa pun masih akan bisa mengenali wanita ini. Ya, dia adalah Ratu Tawang yang mereka makamkan waktu itu.
Tak berapa lama, semua selir dan permaisuri berlutut di hadapan Sang Ratu. Perdana menteri terkejut melihat Siane, begitu pula semua petinggi istana lainnya.
"Aninda, tak ku sangka Kau pun menjadi salah satu selir. Pertukaran apa yang Kau berikan untuk status ini?" kata Siane yang kecewa melihat Aninda.
"Yang Mulia, hamba tidak punya pilihan. Hamba harus bertahan hidup. Mohon Yang mulia mengampuni nyawa kami"
Siane mendengar laporan dari perngurus istana.
"Tiga belas selir dan seorang permaisuri. Semuanya sudah lengkap. Para pejabat yang terkait hubungan darah dengan raja sebelumnya juga sudah hadir." Kata orang itu.
Siane meminta semua orang diam. Ia duduk di singgasana. Ia melihat permaisuri yang gemetar, dan selir yang memohon pengampunan. Pejabat lain yang bersekongkol terlihat gemetar dan pucat. Ingin rasanya menghabisi semua orang yang ada. Sayang, pesan Ming menghentikan keinginannya itu.
"Pergilah dan jangan perlihatkan diri kalian lagi dihadapanku!" perintah Siane pada para permaisuri dan selir.
Seketika raut muka mereka mejadi bahagia dan senang. Mereka berlutut dan bersiap pergi meninggalkan istana. Kecuali satu, Aninda.
"Yang Mulia" kata Aninda masih berlutut dan tidak meninggalkan tempatnya seperti lainnya.
"Biarkan hamba menebus kesalahan hamba dengan kembali menjadi pelayan Yang Mulia Ratu" katanya sambil menunuduk.
"Hamba telah menyesali perbuatan hamba. Mohon Baginda Ratu memberi hamba satu kesempatan lagi."
Siane yang melihat kesungguhan Aninda teringat akan semua kebaikan yang ia lakukan. Di satu sisi, ia tahu Aninda baik. Tapi di sisi lain, ia juga tahu, Aninda tida bisa dipercaya. Ia bisa menjadi selir pasti pastilah tanpa alasan.
"Pergilah, aku membebaskanmu dari hukuman mengikutiku"
Mendengar hal itu Aninda merasa kecewa. Ia tidak menyangka ,Siane akan mengatakan hal itu. Awalnya, Aninda ingin menjadi dayang kembali dengan harapan, bisa membunuh Siane. Karena apapun juga, Siane telah membunuh Raja Purwa Abean. Raja yang memberinya kehiudpan nyaman. Setelah ini, ia tidak tahu harus pergi ke mana.
Ternyata Siane tidak sebodoh itu.
"Hamba mengerti" kata Aninda bangkit dan berjalan pergi.
Sebelum pergi, Aninda sempat menatap seorang menteri. Tatapannya mengisyaratkan, tolong bantu aku menyingkirkan wanita ini. Menteri itu membalas tatapan itu dengan kepala yang sedikit menunduk, tanda ia setuju dan tahu apa yang harus ia lakukan.
"Selanjutnya, yang ingin pergi silakan. Aku tidak akan memaksa kalian bekerja di bawahku!" kata Siane.
Semua yang hadir langsung bicara satu sama lain. Mereka berdiskusi untung dan ruginya mengikuti pemerintahan Siane.
"Ratu, hamba akan tetap bersama Ratu" kata pria yang tadi sempat menerima kode mata dari Aninda.
Siane menatap pria itu.
"Hamba akan mengatur keuangan negara kita. Hamba yakin, Yang Mulia Ratu akan menerima banyak pajak dari rakyat dan memastikan kas kerjaan utuh tidak kurang sedikitpun. Hamab tidak pernah berkhianat pada siapapun, jadi mohon Yang Mulia pertimbangkan"
"Begitukah? Apa Kau akan menuruti semua perkataanku?"
"Benar Baginda Ratu"
Siane tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya.
"Kalau begitu, keluarlah dari istana dan ikutlah dengan Aninda. Aku melihat kalian saling menatap. Jangan kira aku tida tahu. Aninda ingin kau membalaskan dendamnya padaku. Sementara Kau, diam-diam jatuh hati pada selir ini. Apa aku salah?"
Pria itu langusng berlutut dan tidak membantah. Semua orang yang hadir langsung paham. Jika memang tidak berniat baik terhadap pemerintahan wanita ini, lebih baik pergi. Ia bisa melihat semua dengan sangat baik