"Bodoh! Bangun! Kalian adalah murid seorang para normal terkenal. Bangun!" teriak Ki Warno melihat ke dua murid tersungkur ketakutan.
"Benar-benar tidak berguna!" teriak Ki Warno lagi.
Siane yang melihat hal itu mengambil keris yang mereka jatuhkan.
"Ampuni aku. Ini, ini bukan salahku! Kami hanya mengikuti perkataaannnn…" dan tercabutkah nyawa salah satu murid itu karena keris yang Siane tancapkan.
Tak ingin bernasib sama, murid lainnya. Duduk bersemedi dan melafalkan beberapa mantra yang ia percaya dapat mengusir setan.
"Apa Kau kira aku ini hantu?" tanya Siane yang mendekati murid itu.
Murid itu membuka mata dengan keringat dingin yang mengguyur kepalanya. Melihat Siane yang mendekat ia semakin keras membaca mantra. Dan tentu saja itu tidak ada gunanya.
"Dasar para normal!" kata Siane mengakhiri hidup murid yang terakhir.
Melihat dua muridnya tumbang, Ki Warno segera mencari cara agar ia bisa lolos.
"Wanita iblis, tidak akan aku biarkan kau hidup! Kehadiranmu membawa petaka bagi semua orang! Matilah bersamaku!"
Ki Warno mengeluarkan semacam ajian. Entah ajian apa, ia membaca mantra sambil mengeluarkan sebuah alat seperti pecut. Dengan mantra yang ia eja, ia terus berusaha mendapatkan Siane.
"Kau pasti sudah gila!:" kata Siane yang berusaha menghindar.
Ia berusaha menghindari cambuk itu. Ia tahu benar, ia adalah manusia normal yang akan merasa kesakitan jika terkena alat itu.
Mendengar keributan, dua prajurit yang berada di luar masuk ke dalam.
"Ki Warno" teriak salah satu dari mereka.
"Jangan mendekat! Cepat kalian tutup kembali makam ini. Jangan biarkan iblis wanita ini keluar! Makam ini hanya bisa dibuka dari luar!"
"Tapi jika kami melakukannya, bagaimana denga Anda?"
Ki Warno masih berusaha mengejar dan menangkap Siane. Apapun yang terjadi, Siane adalah manusia. Ia tertangkap dan cambuk melukai tangan dan kakinya. Sangat sakit dan perih. Ia menjadi lemah dan sulit bergerak. Melihat hal itu Ki Warno tak mau melewatkan kesempatan dan mengikat Siane dengan tali cambuk yang ia bawa.
"Aku akan mati bersama iblis ini! Cepat!"
Dua prajurit itu segera keluar dan melakukan perintah Ki Warno. Perlahan pintu makam tertutup. Malam mulai datang dan langit semakin gelap.
"Kau tidak bisa kemana-mana lagi!" kata Ki Warno yang mengikat tubuh Siane dan menyeretnya.
"Lepaskan aku!" teriak Siane.
Ki Warno meleparkan wanita itu ke dekat Ming.
"Mati ya mati! Tidak perlu bangkit!"
Ki Warna duduk dan mulai melafalkan matra.
"Ha ha ha ha , jadi aku adalah iblis? Jika aku iblis, Kau apa?" teriak Siane mencoba membuat pria itu membuka mata.
"Apa Kau kira semua yang Kau lakukan bisa membunuhku? Kau akan mati dan aku akan tetap hidup!"
Ki Warno tetap tidak bergerak dan membaca mantra. Ia mengabaikan Siane untuk ritual yang ia percaya bisa membunuh wanita itu. Siane yang cerdas memanfaatkan moment itu untuk meraih pisau yang terselip di tubuh Ming. Dengan kekuatan yang tersisa ia mencoba meraih piasu itu.
"Sepertinya aku melihat rohmu mulai keluar!" kata Siane .
Pria itu diam tidak membuka mata. Kini pisau itu sudah ditangan Siane. Ia merangkak perlahan sambil menahan sakit.
"Kau benar-benar percaya bahwa aku adalah hantu? Kau akan menyesal karena menganggapku begitu. Karena aku adalah manusia abadi!"
Dan seketika tumbanglah Ki Warno karena mata kanannya di tusuk oleh lemparan pisau Siane.
"Kau..Kau…" erang pria itu kesakitan.
Siane mencoba mengumpulkan tenaga dan berdiri. Ia mengambil cambuk yang Ki Warno gunakan untuk menyiksa dirinya. Ia menggunakan cambuk itu untuk menghajar para normal itu. Erangan pria itu sangat keras. Ia kesakitan luar biasa. Dan Siane mengakhiri para normal itu dengan sebuah tusukan keris di jantungnya.
"Selesai!" kata Siane pada dirinya sendiri.
Ia terjatuh dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Ia memejamkan mata sejenak untuk merasakan sakit di tubuhnya. Meski bisa sembuh dengan cepat, rasa sakit ditubuh sangat menjadi-jadi.
Ia ingin menagis tapi, ia tahu. Air mata hanya akan membuat luka-lukanya semakin memburuk. Ia mengamati jasad-jasad di sekitarnya. Siapa sanggka, tempat itu bukan menjadi makam ratu, tapi makam para pembunuh ratu.
Dengan sisa tenaga yang terkumpul, Siane mendatangi Ming. Ia memeriksa denyut nadi Ming. Ia bisa merasakan Ming masih hidup namun sangat lemah.
"Dasar iblis. Kau tidak akan bisa keluar dari sini!" teriak prajurit yang ada di depan.
"Meski Kau hidup tempat ini tidak akan bisa Kau buka dari dalam. Kau akan terkurung selamanya di sini. ha ha ha ha" teriak prajurit dengan suara yang sama.
"Aku akan melaporkan ini kepada raj…."
Tiba-tiba suara itu menghilang.
~Huh, apa dia lelah? Atau hewan buas menerkamnya?~
Suara teriakan rajurit itu tiba-tiba hilang. Siane tak mendengar apapun lagi. Kini, ia diam untuk menunggu tenaganya sedikit pulih. Setelah itu barulah ia akan mencari cara agar bisa keluar dan menyelamatkan Ming.
"Yang Mulia" ucap seseorang dan membuat Siane membuka mata.
"Apa anda baik-baik saja?"
Siane yang melihat pria itu terkejut.
"Kau? Bukankah Kau prajurit yang berjaga di luar tadi?"
Pria itu mendekat dan belutut.
"Yang Mulia benar nama saya Sura, maaf hamba terlambat."
Tak punya pilihan, Siane memilih untuk memercayai pria itu. Ia membantu membawa Ming keluar dari sana. Di sisi mulut pintu, Siane melihat seorang prajurit tewas. Kini ia tahu, mengapa tiba-tiba ia tidak mendengar kembali prajurit yang berteriak mengejeknya di pintu. Pria itu tewas di tangan Sura.
Dengan kereta kuda milik Ki Warno, Sura membawa Ming menjauh dari hutan pemakaman itu. Mereka menuju ke kota. Sesampainya di kota, Sura membeli beberapa obat dan makanan dengan uang yang tersimpan di dalam kereta kuda itu. Sura menyewa sebuah kamar di penginapan dan membantu mengobati Ming.
Ke-esokan harinya, mereka kembali melanjutkan perjalanan ke ibu kota kerajaan Tawang. Siane menutupi wajahnya dengan kain agar tidak ada yang mengenalinya.
"Berhenti, kami akan memeriksa kereta ini sebelum masuk istana!"
Sura turun dari kursi kusir,
"Apa Kau sudah buta? Ki Warno memintaku untuk mengambil beberapa barang agar ia bisa menjaga makam ratu dengan aman. Jika kalian menghentikanku, maka aku akan terlambat."
"Tapi…"
Sura tidak bicara, ia segera kembali ke kursi kusir dan memacu kereta itu. Gerbang istana terbuka dan mereka berhasil masuk. Kedatangan mereka tidak menarik perhatian siapapun.
"Yang Mulia, hamba hanya bisa membantu sampai di sini. Berikutnya, terserah Yang Mulia" kata Sura.
"Aku mengerti"
Siane melangkah keluar. Ia pergi ke tempat para dayang dan mengambil baju mereka. Ia menyelipkan pedang kecil. Kemudian ia pergi ke dapur.
"Mbak Yu, apakah ini untuk baginda raja?" tanya Siane pada dayang yang ia temui.
"Benar, kamu siapa? Sepertinya saya tidak pernah melihat kamu sebelumnya?"
"Jangan begitu Mbak, mungkin karena dayang di istana sangat banyak. Sehingga Mbak tidak mengenali saya." Kata Siane
"Emmm begitu ya? Ini adalah makanan untuk baginda Raja Purwa Abean. Beliau ingin makanan ini di antar ke kamarnya."
"Raja Purwa Abean? Bukan Raja Edward?"
"Benar, sejak Raja Edward pergi berperang, Paduka Purwa Abean membuat kudeta dan menetapkan dirinya sebagai raja. Dengar-dengar, raja ini juga telah menyiapkan rencana untuk menyingkirnkan Raja Edward."
"Begitu, maaf saya tidak tahu akan hal ini. Saya hanya dayang biasa yang tidak berani bergossip."
"Tidak apa-apa." Kata dayang itu.
"Jadi apa Jinarti yang menyuruhmu?" kata dayang itu. "Ya sudah. Hati-hati ya. Jangan membuat beliau marah."