Ia adalah gadis yang serupa dengan boneka idaman para gadis. Dengan rambut hitam berkilau, kulit putih mulus, dan lekuk tubuh yang indah. Ia disukai semua orang, tak ada seorang pun yang membencinya… em, yah, mungkin ada beberapa yang membencinya.
Ia baik hati, maksudnya, sungguh definisi dari kata 'malaikat'. Selalu tersenyum dan menyapa setiap orang dengan ramah, ringan tangan, dan meski sangat cerdas dan berprestasi, ia tak sekalipun menyombongkannya. Ia bahkan membantu guru untuk menjelaskan kala guru itu sedang tak enak badan.
Wah, sungguh baik!
Tapi, tunggu dulu…
Jangan lihat yang baik-baik saja. Lihatlah bagaimana ia hidup. Bukan di sekolah, tapi ketika ia keluar dari sekolah, dan masuk ke rumah.
"Sudah kukatakan, ini bukan salahku! Mengapa kau selalu menyalahkanku?!"
"Kalau bukan salahmu, salah siapa lagi, hah?! Kau mau aku menyalahkan anjing tetangga?!"
Hal serupa sudah sering menyambutnya setiap kali ia menginjakkan kaki ke dalam rumah. Bukan hanya siang ini, tapi nyaris setiap kali ia kembali ke rumah! Selepas les, selepas bermain di rumah teman, selepas kelas tambahan, selalu saja seperti itu.
"Aku pulang."
Ibu dan ayahnya berhenti bertengkar, kemudian menoleh ke arah suaranya. Ibunya langsung berbalik membelakanginya dan tampak menghapus air mata dari pipinya dengan cepat, kemudian melangkah mendekati putrinya yang baru saja melepaskan sepatu dan menempatkannya ke dalam rak sepatu. Ayahnya tampak berdiri dengan tenang dan menengadahkan kepalanya ke atas, kemudian duduk di sofa dan mengetik di laptop-nya dengan wajah tenang 'biasa'-nya.
"Clea sudah pulang? Bagaimana sekolahnya? Menyenangkan?" tanya ibunya kepadanya sambil menuntunnya ke meja makan. "Clea pasti lapar, Ibu sudah memasakkan makanan kesukaan Clea. Ayo, makanlah."
Clea mengangguk, kemudian tersenyum tipis sambil menyampirkan tasnya pada punggung kursi. Itu yang membuat ibunya menganggap bahwa putrinya itu tak mendengar pertengkaran antara ia dan suaminya.
Ibunya memindahkan panci putih dari atas kompor ke atas meja makan, kemudian mengambil piring dan mangkuk untuk Clea. Clea hanya diam memandang ibunya meletakkan satu per satu 'anggota' makanannya siang ini. Mulai dari nasi, potongan daging ikan, tumis jamur, dan semur daging.
Ia tersenyum dan berkata, "Terimakasih, Ibu. Selamat makan! Ayah, Ibu, mari makan!"
"Ayah dan Ibu akan makan nanti saja, sekarang Clea dulu saja yang makan. Kamu masih harus belajar untuk lomba bulan depan, kan? Makanlah dan istirahat yang cukup, baru bisa fokus untuk belajar." Itu jawaban ayahnya sambil tersenyum tipis, kemudian kembali mengetik di laptop dengan wajah datar.
Ibunya hanya tersenyum, kemudian mengelus rambut putrinya dengan lembut. "Makanlah yang banyak, Clea. Pembinaan lomba pasti melelahkan, ya."
Clea hanya membalas dengan senyuman sambil menyantap makanannya. 'Sebenarnya, mendengar pertengkaran kalian lebih melelahkan daripada mendengar penjelasan panjang-lebar guru pembina.' Batin Clea tanpa mengubah raut wajahnya.
Ia sudah selesai makan. "Terimakasih atas makanannya."
Ibunya tertawa kecil melihat bekas makanan di sudut bibir putrinya, "Ya ampun, sudah sebesar ini kok masih berantakan makannya…" ujarnya sambil mengelap sudut bibir Clea dengan tisu.
"Nah, pergilah ke kamarmu dan beristirahatlah, Clea. Ibu akan panggil bila sudah saatnya makan malam." Clea mengangguk dan mengambil tasnya dari belakang kursi yang tadi ia duduki, kemudian menaiki tangga menuju ke kamarnya.
Hah…
Clea mendudukkan dirinya dengan perlahan ke atas ranjangnya. Ia melihat sekitarnya dengan pandangan datar, kemudian melihat telapak tangannya. "Menang apapun aku, tetap saja tak bisa meredakan pertengkaran mereka." Ia berbaring dan memandang langit-langit kamarnya, melamun.
Andai saja ia tak ada, apakah ayah dan ibunya juga akan tetap bertengkar? Andai saja ia tak pernah ada, apa ayah dan ibunya akan bersama?
Ia menutup matanya, "Hah… aku yang terlalu berpikir rumit atau memang dunia ini yang selalu menuntut penghuninya untuk berpikir rumit."
Tok… tok… tok…
"Cley, ini Kakak. Boleh masuk?"
Itu suara kakaknya, Juna.
"Masuklah, Kak. Pintu tak dikunci."
Pintu kamarnya dibuka dan masuklah seorang lelaki bertubuh tinggi dengan wajah yang tak kalah tampan dengan wajah aktor-aktor ternama. Lelaki itu menutup pintu, kemudian mendekat ke arah Clea. Ia menarik kursi putar dari meja belajar dan duduk di hadapan Clea.
"Mengapa kau tampak tak bersemangat? Aku pikir kau akan sangat senang mendapat kesempatan untuk ikut dalam perlombaan itu. Apa aku salah?"
Sebagai informasi, Juna bukanlah kakak kandungnya. Juna adalah kakak sepupunya, dan bisa dibilang mereka cukup dekat. Meski berada di sekolah yang berbeda, Juna tahu segala informasi mengenai Clea karena banyak temannya yang ada di sekolah tersebut.
Clea menggeleng, "Kak Jun tak salah, Cley memang senang dipercaya untuk perlombaan kelas atas seperti itu. Tapi…" Ia memandang sekilas raut wajah penasaran sepupunya dan langsung mengurungkan perkataannya. "Daripada itu, bagaimana perkembangan Kak Jun dengan Kak Liana?"
Seketika wajah Juna menjadi semerah kepiting rebus. "A-apa maksud Cley? Ka-kami tak ada hubungan semacam itu kok!" sahutnya dengan terbata-bata.
Seketika, timbul niat jahil. Clea pun membalas sambil tersenyum jahil, "Ah, masa'? Kemarin aku lihat Kak Jun antar Kak Liana pulang dengan motor. Dan aku yakin Kak Jun tega—"
Mulut Clea langsung dibekap dengan tangan kanan Juna yang sudah sangat merah, entah malu, entah apa. "C-Cley, ngomong apa sih?! Tak ada kok, tak ada!"
Clea hanya tertawa melihat betapa gugupnya sepupunya itu. Ia berpikir, kapan ia bisa merasakan perasaan berbunga-bunga seperti yang dirasakan Juna saat ini? Tapi, ya sudahlah… untuk apa memikirkan hal tak berguna seperti cinta? Masalah dunia sudah rumit kok mau ditambah rumit lagi dengan masalah cinta yang tak ada habisnya.
Clea mungkin tak tahu, Juna dan orang-orang sekitarnya sangat mencemaskan dirinya.
Baik dan sabar juga ada batasnya! Itu pikir mereka, melihat bagaimana Clea berusaha membuat semua orang senang terkadang memuakkan dan menakutkan di sisi lain. Mereka pikir, kapan mereka bisa melihat perasaan Clea yang sesungguhnya? Yah, mungkin seribu tahun lagi.
Clea tak tahu bahwa keesokan harinya, dalam perjalanannya dari sekolah menuju rumah, ia akan mengalami yang namanya 'kecelakaan'. Bukan kecelakaan singkat yang tak membahayakan nyawa, tapi tabrak lari yang membuat kesadarannya menghilang dengan begitu cepat.
Ia baru saja kembali dari sekolah, ia menyeberangi jalan ketika lampu lalu lintas telah berganti warna menjadi warna merah. Tapi, sebuah mobil putih melaju dan langsung menabraknya, bahkan tak ada usaha untuk mengerem! Ia terhempas sekitar empat meter dengan darah yang langsung merembes dari beberapa bagian tubuhnya yang mengalami luka terbuka.
Ah, padahal ia baru saja ingin membuat ibunya membaca novel keren yang baru saja dibelinya. Temannya meminjamkannya dan Clea sangat suka dengan kisahnya sampai ia menyelesaikannya hari itu juga. Itu sebabnya, Clea menitip temannya untuk membeli cetakan yang masih baru agar ia bisa menghadiahkannya untuk ibunya.
Tapi, semua sia-sia… Clea mungkin akan mati detik itu juga, pemikiran itu membuatnya sedih dan perlahan merasa sangat mengantuk.
Clea tak tahu lagi, itu efek rasa sakitnya yang luar biasa sampai membuatnya mati rasa atau bagaimana, pandangannya mulai menggelap. Banyak orang yang dengan panik menghubungi polisi dan ambulans. Tapi, ia sungguh tak dapat menahan rasa kantuknya, kemudian menutup matanya.
Gelap… em, tak segelap yang kalian bayangkan kok.
Dalam ruang gelap ini, terdapat pendaran cahaya yang menyerupai cahaya kunang-kunang pada malam hari. Clea terbaring di antara kegelapan yang seolah tanpa akhir itu. Matanya terkatup rapat seolah ia benar-benar lelah dan tak ingin bangun dari tidur.
"Letta… bangunlah…"
Suara itu, suara bernada rendah milik pria dewasa. Ia tak mengenal suara itu, tapi mengapa malah suara itu yang seolah menariknya keluar dari kesunyian yang mengelilinginya? Ada percikan rasa sayang dan rindu dalam suara itu, membuatnya merasa ingin menangis detik itu juga.
"A… yah…"
Ia membuka mata. Ia mendapati dirinya berbaring di atas ranjang berkanopi dengan gaun tidur putih beraksen pita berwarna senada di bagian dada. Semuanya terlihat begitu asing di matanya, 'dimana ini?'
Seorang wanita perlahan membuka tirai kanopi. Ia mengenakan pakaian pelayan yang biasa dilihat Clea kala membaca buku fantasi yang mengusung latar waktu dan tempat Eropa di abad pertengahan. Wanita itu tampak cukup cantik, dengan rambutnya yang digulung ke atas dan kulit sawo matangnya yang manis.
"Nona sudah bangun!" sahut wanita yang asing di mata Clea itu dengan wajah girang, kemudian langsung berlari keluar memanggil entah siapa.
Tak berapa lama kemudian, seorang pria dan wanita bangsawan yang tampak seperti pasangan datang sambil menangis serta memandangnya tak percaya. Seorang pria paruh baya turut datang bersama dengan seorang pelayan pria yang membawakan kopernya.
Pria paruh baya itu memeriksanya dan mengatakan bahwa dirinya 'baik-baik saja' serta 'hanya' butuh istirahat.
"Akhirnya, kamu bangun, Letta. Ibu sungguh takut kamu takkan bangun lagi…" Itu ucapan wanita yang melabel dirinya sebagai 'ibu'.
"Benar, kami kira kami akan kehilanganmu, Letta. Ayah sangat cemas kala mendengar kamu terjatuh ke dalam kolam tempo hari." Itu ucapan pria yang melabel dirinya sebagai 'ayah'.
Hahaha… dimana ini sebenarnya?!