Violetta berjalan menyusuri lorong yang terbuat dari marmer menuju taman bunga yang ada di ingatannya. Gaunnya persis sama seperti yang ia lihat di ilustrasi yang terdapat dalam novel. Berwarna putih susu dengan aksen renda dari ujung lengan atas sampai pinggang, terdapat motif bunga-bunga kecil di bagian bawah gaun yang dibuat dengan benang emas.
Violetta duduk di atas rerumputan yang dipotong rendah ketika sampai di taman itu. Untungnya, ia tak membawa satupun pelayannya karena bila ia membawa satu saja dengannya, maka mereka pasti akan mengatakan bahwa duduk langsung di tanah tanpa alas adalah sesuatu yang tak pantas.
'Oh, kumohon, putri bangsawan sekalipun butuh kebebasan.'
Tak boleh tertawa keras, tak boleh tersenyum terlalu lebar, langkah kaki harus teratur dan tak boleh menghasilkan bunyi decitan. Belum lagi saat makan, tak boleh makan sambil membungkuk, tak boleh meletakkan tangan ke atas meja, tak boleh menyentuh wajah atau pakaian ketika makan… apalah semua itu. Ini dan itu tak boleh, apanya yang enak jadi bangsawan?!
Tangan Violetta meraih bunga mawar dari semak yang dipotong rapi. Ia tak mencabutnya, hanya menyentuh kelopaknya yang semerah darah dengan hati-hati seolah bunga itu adalah sesuatu yang sangat rapuh bagai kaca tipis. Ia berusaha menggali apa saja yang tersisa di ingatan 'Violetta' yang asli.
Yang ia tahu, setelah seminggu ia terbangun dari tidurnya yang selama 'dua minggu', apa ada yang percaya?
Ia adalah Violetta Ivania Ebeliz Juan. Putri tunggal kesayangan Duke Juan dan Duchess Evelyna. Usianya baru akan menginjak sembilan tahun tiga bulan lagi dan Violetta 'dikatakan' jatuh ke kolam di pesta teh yang diselenggarakan oleh putri dari keluarga Marquez Oberon.
Yah, siapapun tahu pasti bahwa ia yang dijuluki 'Putri Sempurna' tak mungkin jatuh tanpa sebab. Itu sudah pasti permainan kotor dari para gadis, bahkan orang bodoh pun tahu itu penyebabnya. Tapi, ia tak bisa sembarangan menuduh para gadis bangsawan tertentu sebagai pelakunya. Menurut logika sederhana saja, mereka melakukannya karena mereka tahu ada dukungan dari Sang Marquez, atau orang 'kuat', di belakang mereka.
Memikirkannya saja membuat Violetta ingin mendecih, tapi itu takkan ia lakukan mengingat ia terikat oleh kata-kata Madam Fiona, guru yang mengajarkannya tata krama pergaulan atas.
"Tunjukkan saja senyum, seorang bangsawan yang sempurna dapat menyembunyikan emosi mereka dengan 'sangat' sempurna." Begitu kata beliau dengan senyuman yang mengintimidasi seolah berkata ini-keharusan-jadi-lakukan-dengan-benar.
Dari ingatan yang diperolehnya, Violetta merupakan gadis yang berbakat. Pandai bermain musik, menari, menyanyi, melukis, bahkan mampu menguasai lebih dari empat bahasa, termasuk Bahasa Kekaisaran yang hanya dipelajari oleh para pria. Tak salah bila Violetta merupakan gadis yang digadang-gadangkan sebagai calon tunangan Putra Mahkota yang paling sempurna.
Sebagaimanapun baiknya dirimu, pasti ada saja yang membencimu, entah dari mana teori ini, tapi memang benar adanya. Contohnya, para gadis bangsawan yang 'cantik' namun bahkan tak lebih dari 'boneka' untuk keperluan politik orangtua mereka, malah iri dan menggunakan segala macam cara agar Violetta tak terpilih menjadi tunangan Putra Mahkota.
Yah, meski Clea yang sekarang adalah Violetta jelas tak tertarik sama sekali pada Putra Mahkota. Clea teringat bahwa, entah bagaimana atau apapun yang telah terjadi, ia terbangun ke dalam novel yang pernah ia baca. Jelas Clea tahu bila ia, sebagai Violetta, menjadi tunangan dari Putra Mahkota, maka pada akhirnya, Violetta akan dengan tanpa belas kasihan sedikitpun, dilenyapkan dari pergaulan secara 'permanen'.
Karena Violetta adalah si Ratu Antagonis! Uhuu… Clea menangisi nasibnya sebagai Violetta. Bila mau mereinkarnasikan, reinkarnasikanlah dirinya sebagai tokoh utama wanita yang dipenuhi cinta atau setidaknya, jadikan ia tokoh pendukung yang takkan melewati kematian atau hal sadis dan menyiksa.
Hahaha… menyedihkan. Clea jelas tak sebodoh itu untuk memilih 'bom hidup' yang tak jelas kapan bisa meledak dan melukai dirinya. Ini maksudnya, jelas Clea akan meng-'eliminasi' Putra Mahkota dari daftar pria ideal.
Kembali ke kisah, ada empat pria atau pemeran utama pria dalam kisah ini.
Pertama, Sang Putra Mahkota, Juanes Frederick Obeliz van Jio. Pemeran utama pria (ML) bermuka dua dan menyebalkan. Meski begitu, di beberapa novel buatan fans, Putra Mahkota memiliki sifat manis dan romantis di balik sifatnya yang terkesan kekanakan. Bodoh amat dengan orang satu ini, ia hanya karakter paling bodoh yang pernah ada karena membuang Vio yang baik dan mencintainya sepenuh hati!
Yang kedua, putra dari Duke Gordon, Gregory Metolius Jim Gordon. Lelaki paling pendiam dan dingin yang hanya mengeluarkan lima kalimat sepanjang novel jilid pertama. Kabarnya, tokoh ini yang akan menjadi pemeran utama di novel jilid ketiga. Bahkan sudah diterbitkan bab awal jilid ketiga tersebut di blog penulisnya. Di sana, dikatakan bahwa Gregory ternyata memiliki sifat yang berbeda sembilan puluh sembilan persen dari sifatnya yang biasa.
Sayangnya, Clea tak hidup cukup lama untuk dapat membaca karya itu (TvT). Diam-diam Clea menyesal dalam hatinya. Tapi, apa boleh buat, ia toh tak bisa memilih kapan kematian akan menjemput.
Yang keti—
"Nona!" Seorang pelayan berlari ke arahnya dengan wajah panik.
"Tenang lah, Ellen. Pelan-pelan saja, ada apa?" ujar Violetta sambil sedikit menengadahkan kepalanya.
"Nona, Putra Mahkota telah datang!"
"Hm? Lalu?" Violetta dengam santainya berlagak seolah itu bukan urusannya.
"Nona! Putra Mahkota datang!"
"Iya, Ellen, aku dengar. Lalu, kenapa dengan kedatangannya?"
"Nona harus bersiap-siap!"
"Hah? Untuk ap—" Belum juga Violetta selesai berbicara, ia sudah 'digotong' dengan paksa melewati koridor, melewati ruang tengah, sampai ke kamarnya.
'Hm?'
Senyum Violetta kian melebar kala ia dibuat jadi boneka. Dikenakan pakaian indah, namun rumit dan terlewat mewah. Dipakaikan riasan tebal yang jelas tak diperlukan anak muda. Tunggu, berhenti!
"Hentikan!" Violetta masih sambil tersenyum menyahut, "Biar aku yang pilih apa yang ingin kukenakan, tidak perlu riasan."
"Tetapi, Nona…" Para pelayan tampak ragu, tangan mereka masih saja memegang perhiasan, helaian kain mewah, dan sebangsanya. Apalagi si Ellen yang sedaritadi niat sekali menepuk wajah Violetta dengan tepung itu.
"Aku yang pilih. Kalian hanya perlu membantuku berpakaian. Tidak ada riasan, kulitku bisa rusak bila terus dipakaikan riasan tebal." Violetta berujar sambil mengumbar senyum yang mengisyaratkan perkataanku-adalah-hukum-di-rumah-ini.
Para pelayan hanya bisa diam, tak ada yang berani bergerak seolah ada yang menahan kaki dan tangan mereka.
"Nah, sekarang…" Violetta berjalan menuju lemari pakaian yang demi apa… membuatnya berdecak kesal dalam sekejap.
'Kau itu bodoh atau sok dewasa, sih!'
Nyaris tak ada satupun gaun yang tampak cocok untuk gadis berusia sembilan tahun!
Senyuman Violetta semakin lebar dengan matanya yang semakin menyipit. "Apa kalian menyimpan gaun musim panasku tahun lalu?"
Violetta berbalik menghadap para pelayan. Ia ingat, pakaian takkan dibuang, meski sudah terlewat tren. Pakaiannya akan disimpan atau diberikan kepada anak perempuan para pelayan.
"I-itu, Nona…" Ada satu pelayan yang tampak gugup.
Bila ingatannya tak salah, pelayan itu bernama Yena.
"Kamu… Yena, bukan?" Violetta berjalan dan kembali duduk di depan meja rias.
"Y-ya, Nona." Pelayan itu menjawab dengan tergagap.
"Tidak perlu takut, aku hanya perlu Yena untuk membawa putri manismu."
Violetta ingat, banyak pakaiannya yang dikenakan oleh anak perempuan Yena. Yah, meski anak perempuan itu jelas tak punya hubungan yang baik dengan Violetta. 'Harga diri' Violetta terlampau tinggi untuk mengizinkan dirinya dibandingkan dengan anak dari seorang pelayan.
"Nona, s-saya mohon, jangan bawa putri saya. S-saya yang bersalah, bila Nona ingin menghukum, hukumlah saya…" Yena berlutut dan memohon dengan suara yang bergetar.
Hah… ayolah, Violetta hanya meminta untuk dibawakan anak dari Yena. Mengapa sampai berlebihan seperti ini?
'Aku bisa gila lama-lama jadi Violetta!'