Violetta (;^_^) || (^_^) Riana
Seseorang, tolong (someone, help)!
Baru kali ini Violetta merasa bahwa senyuman merupakan hal yang menyeramkan. Baru kali ini sebuah senyuman mampu membuatnya ingin segera kabur dari kenyataan.
"Saya sangat senang Anda menerima undangan saya, Lady Violetta."
"Tidak, ini merupakan kehormatan bagi saya."
Tunggu, bukankah seharusnya Violetta dipanggil sebagai Lady Juan?
Bagi sesama bangsawan memanggil nama secara langsung, meski masih dengan embel-embel lady atau lord, merupakan tanda bahwa mereka memiliki hubungan yang dekat atau ingin mengakrabkan diri dengan pihak lain tersebut.
Kita lupakan itu dulu. Jangan terlalu cepat berpikiran yang tidak-tidak. Ingat, apapun yang berlebihan biasanya takkan berakhir dengan baik.
Yang penting sekarang... Cepat! Langsung ke intinya (to the point)!
"Kalau begitu, saya akan langsung ke intinya saja."
Bagus!
"Pengurusan kesehatan di lokasi penambangan selatan itu… apakah itu merupakan gagasan (idea) Anda?"
Hm? Penambangan selatan? Tambang Dolken (Dolken Mine), maksudnya?
Segera setelah Johannes dijadikan pengawalnya, Violetta lepas landas menuju sebuah tambang di tepi kerajaan bagian selatan yang nyaris menjadi satu dengan garis perbatasan. Tambang tertinggal yang bahkan tak lagi bisa disebut tempat penambangan.
Lokasi penambangan yang curam, kotor, dan diselubungi Kabut Merah (Red Mist), kabut pengundang monster, pun tak dapat menghalangi Violetta. Mengapa? Karena ini adalah jalan agar Violetta bisa hidup!
Tambang Dolken, menjadi inspirasi bagi yang melirik dan 'berani' memasukinya sen-di-ri.
Dahulu, kesulitan apapun yang diderita pasti akan terbayarkan oleh apa yang terdapat di dalam tambang ini. Pecinta permata, pecinta hewan langka, pecinta barang antik ataupun kuat, semua bisa mendapatkan keinginan mereka di sana. Bahkan orang yang sakit keras dapat sembuh dan mendapatkan keabadian.
Camkan, ini hanyalah rumor yang terdengar seperti legenda. Violetta juga tak yakin apakah tambang ini selegendaris rumor yang ada atau hanya khayalan yang tercipta oleh delusi para rakyat jelata (commoner).
Lalu, mengapa tambang itu menjadi tertinggal?
Kalau sudah kosong, siapa lagi yang butuh? Sudah tiada guna, siapa lagi yang mau mencari?
Banyak orang serakah, khususnya 'pihak kerajaan' yang menambang dan membawa sebagian besar harta dalam tambang itu. Mereka mengklaim bahwa harta di sana merupakan harta nasional yang harus dijaga oleh pihak kerajaan. Monopoli yang kentara! Itu mereka lakukan hanya untuk keuntungan diri mereka sendiri, mereka tak peduli pada kesejahteraan rakyat.
Munafik.
Dipikirnya mengapa Kabut Merah semakin tebal menyelubungi Tambang Dolken. Ya karena semua harta itu! Harta atau apapun yang berada di dalam penambangan itu disisipi semacam lingkaran sihir pemurni yang dapat memurnikan (purify) hal-hal yang terkontaminasi (corrupted). Keberadaan pemurni membuat Tambang Dolken sebagai lokasi paling aman di seluruh benua, itu dulu.
Mereka sengaja membiarkan monster datang agar rakyat tak punya pilihan selain membayar pajak lebih untuk keamanan. Lalu, uang dari pajak itu mereka gunakan untuk kemewahan alih-alih menyewa tentara atau pengawal tambahan. Serakah!
Aish, memikirkannya saja menyedihkan. Miris melihat KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dan kemunafikan meraja bahkan di dunia fiksi ini.
"Saya hanya melakukan apa yang sepatutnya bangsawan lakukan."
Meski sudah tertinggal, pihak kerajaan mempekerjakan beberapa orang untuk mencari dan menambang harta atau apapun yang berharga yang mungkin tersisa di dalam Penambangan Dolken. Sayangnya, 'beberapa orang' itu tak diupah sebanyak risiko yang mereka terima. Kesehatan mereka diacuhkan, jadwal kerja yang ketat, lingkungan dan asupan yang tak memadai, dikiranya robot apa?
"Nyonya, kita ada—"
Seorang lelaki dengan pakaian berkuda berwarna coklat tua datang menyela. Dan oops, lelaki itu langsung menutup mulutnya, menyadari bahwa ia menyela percakapan antara Violetta dan Riana.
'Nice save!'
Riana tersenyum ke arah lelaki yang baru datang itu, kemudian kemballi memandang Violetta. "Maaf, Lady Violetta, sepertinya, saya memiliki urusan mendadak. Bolehkah kita melanjutkan pembicaraan ini di lain waktu?"
Yeay! Waktunya pulang-
"Saya telah meminta pelayan untuk menyiapkan ruangan untuk Anda menginap."
"Kita dapat melanjutkan pembicaraan ini di lain waktu, Countess. Mari membuat janji pertemuan di lain waktu, bagaimana?" Violetta berkata sambil tersenyum, ia menambahkan, "Saya memiliki janji dengan ayah saya, jadi... saya takut saya harus menolak."
"Ah, seperti itu... bila begitu, biarkan saya antarkan Anda sampai ke gerbang." Wajah Riana masih tampak tenang, tak ada perubahan ekspresi sama sekali meski nada suaranya terdengar agak kecewa.
Maaf, tapi Violetta tak berminat untuk bermain dengan kematian.
"Terima kasih, Countess."
Meski Violetta akan sangat menikmati nyamannya ranjang daripada bangku kereta kuda, nyawanya hanya satu. Violetta perlu bersikap waspada, bahkan semakin waspada ketika Riana tahu bahwa Violetta mengunjungi Tambang Dolken. Tak ada tempat yang aman, semua dinding dan celah punya mata dan telinga. Menyeramkan.
Klatak... Klatak... Klatak...
Kereta kuda kembali ke jalan utama.
"Pergi ke kantor Ayah."
Johannes yang duduk di samping kusir, mendengar hal itu. "Maaf, Nona, bukankah Nona berencana untuk pergi menuju Tambang Kleton setelah mengunjungi kediaman Ralph?"
Violetta memang berencana seperti itu, tapi mengingat banyak mata dan telinga di sekitarnya, ia tentu tak bisa tak pergi ke ayahnya. Dinding punya telinga, bung, siapa yang tahu kapan rumor mulai tersebar dan menghancurkanmu. Yah, ke Tambang Kleton bisa nanti saja, setelah bertemu ayahnya. Toh tak ada yang salah dengan menemui ayah sendiri.
.
.
.
"Duke Juan, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda."
"Ya? Siapa?"
Duke Juan tak ingat memiliki janji apa-apa hari ini.
Semua pihak yang ingin bertemu dengannya harus mendaftar atau membuat janji terlebih dahulu karena kantor menteri keuangan dan sekretariat berada di gedung yang selalu sibuk. Hal ini dilakukan agar yang berkepentingan tak perlu menunggu lama tanpa harapan. Janji temu pun perlu dibuat seminggu lebih awal agar terbuat waktu luang.
Duke Juan melirik tumpukan kertas yang perlu ia periksa, kemudian menghela napas. "Tunjukkan jalannya, Frans."
"Baik, Duke."
Duke Juan bukannya tak sibuk, sesungguhnya, ia ingin segera kabur dari kantornya yang sesak dengan berkas dan kesibukan. Namun, hati nuraninya menolak, ia merasa punya kewajiban untuk membuat hidup nyaman dengan pelayanan penuh bagi para rakyat ataupun yang memiliki permasalahan. Seorang Juan selalu membantu selama masih mampu.
'Lari dari kenyataan bukan pilihan, hadapi terus semampumu. Bila belum berhasil, tak apa, beristirahatlah, dan coba lagi nanti.'
Tak salah keluarga Juan dijuluki 'Tuan dari Segalanya' (Lord of All), mereka bisa mahir dalam segala hal dan itu semua pasti mereka kembalikan lagi pada rakyat di wilayah mereka. Tak salah pula sebagian besar rakyat lebih memilih Duke Juan daripada bangsawan lainnya bila ingin mengaduh. Bangsawan lain tak mungkin akan mendengar, bahkan mengizinkan mereka melangkah masuk ke kediaman mereka pun tidak mungkin.
"Mereka ada di ruangan ini, Duke."
"Terima kasih, Frans, kamu bisa kembali bekerja."
"Baik, saya pamit undur diri."
Duke Juan menarik napas dalam, kemudian membuka pintu. Di pikirannya, ia akan berhadapan dengan rakyat jelata (commoner) yang teraniaya atau ingin memprotes kebijakan pajak. Hah… melelahkan.
Pajak yang sudah rendah itu, bahkan tiga kali lipat lebih rendah dari persentase pajak kerajaan sebelah, masih saja diprotes. Sebenarnya, kalau saja uang subsidi untuk para petani mereka gunakan untuk membeli benih, pupuk, dan kebutuhan tani lainnya, masih banyak tersisa. Alkohol, judi, ah… apalah jadinya negara ini…
"Selamat pagi, tuan-tuan, apakah tujuan—" Duke Juan terdiam, membulatkan matanya, melihat orang yang ada di hadapannya.
Terdapat seorang wanita berambut merah menyala yang memangku seorang gadis berambut putih salju.
"LETTTAAAAAA!!!" Duke Juan berlari dengan semangat yang entah datang dari mana ke arah dua orang yang duduk di sofa. Ini putrinya! Violetta! Malaikat kecil manisnya!
Stomp.
Wanita berambut merah itu dengan gagahnya menendang Duke Juan dengan sepatu bertumit tingginya yang berwarna merah menyala, sama seperti warna gaun pas badannya, pewarna bibirnya, bahkan matanya. Semua darinya berwarna merah layaknya warna anggur kesukaan para bangsawan. Namun, atas reputasinya, warna merah itu lebih cocok disebut warna… darah.
"Juan, diam. Aku sedang berbicara dengan Vio. Iya, jadi bagaimana, Vio? Kamu mau, kan?"
Kejam! Kejam! Violetta itu putrinya! Mengapa ia harus dipisahkan dari putrinya? Tidak pekerjaan tidak juga orang lain, semuanya jahat, semuanya berusaha memisahkannya dengan putri kecilnya yang manis! AAAAAGGGGH!!
Duke Juan menatap penuh benci wanita berambut merah yang tampak akrab dengan gadis kecil yang dipangkunya. Marianne, wanita yang dicap 'wanita jahat' (villainess) di pergaulan kelas atas, putri tunggal dari Duke Hermes. Egois, kasar, pecinta perang (suka ngajak gelud, intinya), sebenarnya, hanyalah seorang pecinta apapun yang imut (cute). Reputasi yang sungguh bertolak belakang dengan realita.
"Baiklah, kita akan bicarakan ini di lain waktu, ya~"
"Hehe… Kakak Mari (Mari-nee), Vio akan menantikannya!"
'Kyaaaa lucunya!'
"Ehem, Damian, mari pergi." Marianne memutuskan untuk pergi sebelum tangan dan kakinya memilih untuk bertahan di ruangan ini dan mencubit pipi putih itu.
"Baik, Nona." Seorang pria berambut kehijauan mengikuti Marianne, kemudian membungkuk pada Violetta dan Duke Juan sebagai tanda pamit.
Marianne keluar dari ruangan tanpa menoleh pada Duke Juan, seolah pria itu tak pernah ada di ruangan itu. Ah, peduli apa, Duke Juan tak peduli bagaimana wanita itu memperlakukannya, yang penting…
"LETTTAAAAAA!! Kamu merindukan Ayah, hm? Hm? Ayah minta maaf karena pekerjaan menumpuk selama Ayah absen." Duke Juan memeluk Violetta dengan erat, seolah gadis itu bisa lenyap bila ia tak melakukannya.
Violetta yang tersenyum, mendengar perkataan Duke Juan, kemudian tertekuk murung. "Ah… karena aku sakit, Ayah jadi…"
"Ti-tidak, bukan begitu, sayang…" Duke Juan dengan panik berusaha menyanggah. Ah, ya ampun, ia salah kata.
"Karena aku… Bila begitu…" Violetta mendongak, menatap Duke Juan yang memangkunya. "Ayah boleh meminta satu hal dari Vio. Bagaimana?" Violetta berkata sambil mengangkat jari telunjuk kanannya dengan mata yang membulat serius.
"…"
'Aaaaa… manisnya…' (^་།^)
"E-eh? A-Ayah? Ayah, kenapa hidung Ayah—kyaaaa! Seseorang, tolong! Ayah pingsan!"