Langit merah sudah mulai menyisipkan warna violet. Sinar surya perlahan mulai tenggelam, meninggalkan sahabat sejiwanya yang mulai mengintip dari balik awan. Hanya bisa saling melambai karena tahu mereka takkan bisa muncul bersama.
Perpisahan selalu terasa menyedihkan, kata seseorang.
"Istirahatlah. Bapa akan menantikan kedatangan Ebel di gereja minggu ini."
"Uguu… tidak bisa janji (can't promise)."
Pio tertawa kecil sambil mencubit ringan pipi kiri Violetta, "Ebel mulai memberontak, ya."
"Tidak apa. Aku hanya melakukan ini pada Pio." karena Violetta hanya percaya pada Pio. Lanjut Violetta dalam hati.
Dari semua pendeta yang ada di Gereja Agung, khususnya di kapital, Violetta hanya bisa percaya pada Pio. Violetta, baik yang dulu maupun sekarang, setelah berganti jiwa dengan Clea, tak begitu mengenal Pio luar dan dalam. Namun, hatinya berkata bahwa ia bisa percaya bahwa Pio takkan menyakitinya. Dan memang benar, karena sampai detik paling terakhir, bahkan setelah raga Violetta (asli) sudah tak berwujud lagi, Pio masih setia mengingat dan melindunginya.
Terkadang Clea berpikir bahwa Violetta seharusnya jatuh hati pada Pio yang baik ini, daripada Putra Mahkota yang seolah tak punya akal sehat itu. Mungkin hanya ada 1 hal yang menjadi penghalang, yaitu misteri identitas Pio. Semua orang tahu bahwa Pio merupakan pendeta agung, putra angkat dari Duke Kio, bla bla… namun tak ada yang benar-benar tahu dari mana Pio berasal. Seolah Pio tiba-tiba muncul (exist) di muka bumi.
Violetta memandangi bagian belakang kereta kuda putih yang perlahan lenyap dari pandangan tanpa berbicara apa-apa.
"Nona?"
Yena bersamanya, bertanya, seolah menyadarkan Violetta dari lamunan kosongnya. Ingat bukan, Yena, ibu dari Emilia? Yena kini sudah tak takut lagi pada Violetta, setidaknya, tak separah dulu.
Violetta menghela napas, memandang ke arah bulan yang sudah mulai tampak di ujung langit.
"Antarkan makan malamku ke kamarku," Violetta berputar, melangkah masuk. "dan jangan tanya mengapa."
"… baik, Nona."
Ada hal yang perlu Violetta lakukan. Pertama, gali lebih banyak memori Violetta (asli). Kedua, mengingat dan mencatat tokoh 'yang bisa diselamatkan'. Ketiga, kita akan pikirkan nanti.
.
.
Sret. Sret.
Violetta menuliskan sesuatu di atas kertas, serta beberapa sketsa, entah itu hewan ataupun manusia, atau mungkin keduanya. Tadinya ia ingin menggali ingatan Violetta sebanyak-banyaknya tentang dunia ini, tapi ingatannya sebagai Clea yang menang, menguasai pikirannya.
"…"
Hm… ada beberapa hal yang perlu diatur kembali. Tapi, sepertinya, ini sudah cukup bagus. Apalagi yang perlu di—
"Apa yang Kakak (older sister) lakukan?"
"Membuat buku cerita. Tak ada buku yang cukup sederhana untuk dibaca anak—tunggu." Violetta menoleh mendapati seorang anak lelaki yang usianya mungkin tak jauh dari Violetta, sedang menatap ke arah kertas di bawah tangan Violetta.
"Archilles."
"Aku sudah mengetuk." Archilles duduk di kursi sebelah Violetta dengan santai. "Apa itu sudah selesai?"
Archilles merupakan adik dari Violetta. Lebih tepatnya, Violetta memiliki 2 orang saudara, yang diadopsi dari keluarga cabang (branch family). Bisa dikatakan bahwa Violetta dan kedua saudara angkatnya itu merupakan sepupu jauh. Archilles lebih muda 1 tahun, tidak, lebih tepatnya 3 bulan, dari Violetta. Sedangkan saudara yang satu lagi, Ankaryan, lebih tua 7 tahun dari Violetta.
Di kisah asli, baik Archilles maupun Ankaryan, tak begitu memiliki hubungan yang baik dengan Violetta. Ankaryan yang sibuk dengan urusan akademi dan pelatihan pewaris (heir training), mungkin tak terelakkan untuk tak begitu dekat dengan Violetta. Archilles? Anak itu lebih memilih mengurung diri dalam perpustakaan karena kecintaannya pada buku.
Melihat Archilles yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Violetta, serta tampak tertarik dengan apa yang dibuat oleh Violetta. Teringat bahwa Archilles hanyalah figuran (cameo/extra) yang cukup mudah ditaklukkan. Beri buku atau apapun terkait literasi dan seni yang unik, maka Archilles akan takluk [Archilles achieved!]. Pikiran aneh mengenai Archilles yang tiba-tiba masuk ke ruangan Violetta dihilangkan.
Apa yang salah dengan seorang adik yang mengunjungi kakaknya?
Violetta menggeser salah satu kertas dengan gambar seseorang yang bertanduk, "Kamu ingin membacanya?"
"Dengan senang hati."
Sepertinya, Archilles memang pecinta buku.
Archilles berkali-kali mengerutkan alis dan keningnya, seolah apa yang ia baca sangat sulit dipahami. Matanya terlihat berkilau, namun menjadi suram setelah beberapa saat. Ya, ia seperti anak-anak yang pertama kali mendengar kisah Cinderella dan mengaguminya. Tapi, isi dalam dongeng cukup jarang terjadi di realita, dan banyak dari anak-anak itu telat menyadarinya.
"Mengapa Rome menjadi daemon (iblis)? Joce tidak mati, ia hanya berpura-pura… tunggu, jangan katakan, nanti Joce juga akan menjadi daemon?!"
"Ya."
"Tapi kenapa?! Daemon nantinya akan dibasmi oleh para pahlawan, tidak, para pendeta!"
Violetta mengubah kisah cinta tragis karya seseorang yang terkenal di dunia sastra, yang pastinya, tak ada dalam dunia Violetta. Fakta itu membuat Violetta terkadang termenung, menyadari bahwa mungkin benar ia sudah tak bisa kembali. Kehidupannya di dunia sana sudah selesai.
Violetta menoleh ke arah jendela, memandang langit yang berwarna biru kelam. "Setidaknya, mereka berakhir bersama. Bukankah yang penting adalah mereka tetap bersama. Bahkan bila mereka dilenyapkan, mereka akan lenyap bersama, tak saling meninggalkan satu sama lain."
Kata mereka, "sampai kematian memisahkan kita", tapi itu menyedihkan. Mengapa kematian harus menjadi pemisah segalanya?
Ada bagian dari dirinya, yang ingin tetap menjadi Clea, yang tak terpisahkan dari dunia sana meski kematian sudah mendatanginya. Sebagian lagi, seolah jiwa Violetta masih ada dalam tubuh ini, ingin hidup di dunia ini, tanpa membiarkan Clea terus menerus mengingat ataupun membayangkan hal yang tak mungkin terjadi.
Kembali ke dunia sana? Ini hanya dunia dalam novel? Ini hanya mimpi? Tidak… ini terlalu nyata.
"… yang lain."
"Apa?"
"Aku ingin membaca cerita yang lain. Cerita satu ini bahkan tak cocok untuk remaja sekalipun." Archilles tampak kesal (pissed off). Ia meraih tumpukan kertas lain yang dengan gambar kepala singa serta seorang gadis dengan rambut yang dikepang dan mengenakan syal.
"Apa Kakak sedang ada masalah?" Archilles bertanya di tengah kegiatan membacanya.
"?"
Archilles menunjuk kertas yang dibacanya. "Entah mengapa, aku merasa bahwa Kakak berusaha membuat akhir bahagia dalam situasi yang tak membahagiakan sama sekali."
Archilles berdiri, kemudian mendekatkan diri ke Violetta. Satu tangannya bertumpu pada meja, satu lagi mendekat ke wajah Violetta. Tangan yang tertutup sarung tangan kain putih itu menutup mata Violetta.
"Aku rasa Kakak sedang lelah, maka berpikiran terlalu rumit seperti ini."
"Mhm…"
"Tidurlah."
Violetta perlahan terjatuh, tak sadarkan diri. Archilles mengangkat tubuh Violetta dan memindahkannya dari kursi ke atas tempat tidur dengan mudahnya, seolah tubuh Violetta seringan sehelai bulu burung. Ia kemudian menarik selimut sampai menutupi bagian dada Violetta. Archilles menatap Violetta lama, sebelum akhirnya pergi keluar dari kamar Violetta setelah menutup jendela.
.
.
.
Ada legenda tentang Sang Dewa Cahaya (God of Light). Kisah yang sudah cukup lama dilupakan dan tak dikisahkan lagi kepada para jemaat. Tentang apa yang dicari Sang Daemon.
Dewa Cahaya dipuja banyak orang, tetapi Ia hanya melihat satu gadis, tanpa orang tua dan sanak saudara, yang memujanya dengan tulus. Dewa Cahaya mengangkat gadis itu ke sisinya dan memberinya nama 'Vio'. Namun, manusia yang dilanda banyak bencana dan kesengsaraan membuat Vio merasa tak tega, sehingga Vio kembali turun ke dunia untuk membantu manusia.
Sang Daemon, menginginkan Vio yang suci. Bila Vio bersamanya, tidak, bila dia berhasil 'makan' jantung Vio, gadis suci, yang mencintai semua makhluk hidup tanpa terkecuali, Sang Daemon bisa mengalahkan Dewa Cahaya. Namun, Vio tak pernah menerimanya, apapun yang Daemon berikan ataupun tawarkan. Jalan terakhir, matikan saja, ulang semua.
Ada hal yang langit (surga//heaven) dan dunia bawah (neraka//hell) tahu. Bila manusia yang sudah menjadi bagian dari langit ataupun dunia bawah, mati tak wajar, seperti dibunuh, bunuh diri, atau hal lainnya, ketika mereka berada di 'permukaan', maka jiwa manusia itu akan berputar dalam roda reinkarnasi. Katakan saja itu sebagai hukuman.
Daemon tak pernah berhasil. Tak peduli berapa kali pun roda reinkarnasi berputar, Vio tak pernah menoleh padanya. Perasaan yang berawal dari keinginan untuk mengalahkan Dewa Cahaya dengan menumbalkan gadis 'suci' itu, berubah menjadi keharusan, obsesi, untuk memilikinya. Namun, bagaimana pun, kapan pun, Vio tak pernah bersatu dengan Daemon, meski Vio tak dapat kembali pada Sang Dewa Cahaya.
"Bukankah itu kisah yang menarik?"
Seseorang memandangi rumah-rumah kecil dan pendaran cahaya di bawah sana. Tempatnya berada merupakan tempat yang tinggi dan jauh dari cahaya dan rumah-rumah itu. Anggur dalam gelas tinggi yang sedari tadi ia tatap dengan mata dingin perlahan berbuih, mendidih.
Tak. Prang.
"Bersihkan (clean it)."
Seorang wanita berpakaian gelap segera membersihkan pecahan gelas dan anggur di lantai, kemudian pergi keluar dari ruangan tanpa bersuara.
"Sekarang… bolehkah aku memulai perburuannya (shall I start the hunt)?"