Sebulan berlalu dari malam kedatangan tiba-tiba Archilles ke kamar Violetta. Entah mengapa, anak lelaki satu itu mulai sering menghabiskan waktu bersama Violetta. Entah itu untuk makan siang atau sekadar bersantai sambil minum teh dan memandangi langit tanpa berbicara satu patah kata pun.
Sekarang, bertambah lagi orang yang tak terduga.
"Apa yang sedang kalian berdua lakukan?"
Ankaryan, lelaki yang sudah akan memasuki usia dewasanya 2 tahun lagi, menurut hukum yang berlaku. Lelaki berambut emas dan bermata biru kelam layaknya langit malam yang menjadi idola banyak gadis di akademi, bahkan para guru wanita pun turut terpana. Salah satu 'bucin' FL yang menyebabkan Rose kehilangan nyawanya.
Sepertinya, Dewa Takdir (God of Fate) sedang ingin bermain. Tak cukup Archilles yang biasanya mengubur diri dalam buku yang menjadi sering mencari Violetta. Bahkan kakak yang jarang muncul di kediaman dan hanya mampir sebentar untuk memberi laporan kepada Duke Juan, kemudian kembali ke akademi, kini mendekati Violetta.
"Kak (Elder Brother) Ryan."
"Kak Ryan, selamat pagi. Kami hanya sedang memandangi langit sambil menikmati teh. Mau ikut (wanna join)?" Archilles tersenyum manis sambil menunjukkan cangkir teh dalam genggamannya.
Ankaryan pasti akan menolak. Ia 'sibuk', mungkin.
Katanya, kehidupan di akademi akan terasa sangat padat. Apalagi bila muridnya merupakan seorang pewaris (heir/heiress) dari keluarga bangsawan, serta memiliki jabatan khusus di akademi, seperti ketua himpunan murid, ketua diplomasi dan pertukaran murid (student exchange), dan lainnya. Ankaryan yang akan lulus menjelang upacara pelantikan ksatrianya (yang hanya bisa dilakukan bila berusia dewasa), menjabat sebagai ketua himpunan murid (student council president), dan merupakan pewaris keluarga Juan. Belum lagi, Ankaryan terpilih menjadi salah satu kandidat ksatria kerajaan (royal knight), ksatria elit (elit knight) yang melindungi keluarga kerajaan, dan penasihat Putra Mahkota (the crown advisor).
Meski akan ditolak, tak ada salahnya menawarkan.
"Mari, Kak (elder brother). Duduk di sini." Violetta menepuk kursi kosong di sampingnya. "Aku akan minta Marie menyeduhkan teh merah kesukaan Kakak."
Teh merah (crimson tea), namanya sudah begitu, seolah memang hanya ada satu jenis teh merah di dunia. Di dalam novel, Ankaryan selalu meminum teh setiap ia bekerja ataupun bersantai (yang nyaris tak ada dalam kamusnya karena kesibukan yang ada). Teh yang selalu disebut adalah teh merah (crimson tea) yang hanya bisa dibeli dari Toko Flourens, toko penyedia bahan pembuat kudapan manis dan berbagai jenis bahan pembuat minuman yang eksotik (berasal dari luar benua dan jarang terlihat di sekitar, maka disebut 'asing' atau 'tak biasa') berkualitas tinggi, yang pastinya, mahal.
Duke Juan selalu membeli teh itu karena mendiang ibunya menyukainya, dan sekeluarga Juan akan meminum teh yang sama bila ibunya berkata 'suka'. Setelah beliau tiada, hanya Ankaryan dan Violetta yang masih meminum teh itu dalam keluarga besar Juan. Pemilik Toko Flourens merupakan sahabat dan orang yang pernah dibantu Duke Juan. Dulu, Duke Juan muda (the young Duke Juan) yang sering menyamar menjadi rakyat jelata (commoner), beberapa kali bertemu dengan anak-anak dari daerah kumuh (the slums), sekadar bercerita dan saling 'berdiskusi' sambil memakan roti yang ia bawa untuk mereka. Salah satu anak yang mendengar ceritanya dengan serius, Francez, itulah yang menjadi pemilik Toko Flourens.
Pria baik hati yang cerdas, namun lahir di tempat dan kedudukan yang salah. Yah, kita tak bisa memilih di mana kita akan lahir, dan siapa orang tua kita. Dan begitulah, Francez tak pernah mengungkapkan sedikit pun kebencian pada orang tua yang sudah membuangnya (abandoned him) di gang menuju daerah kumuh (the slums). Francez menjadi sahabat baik Duke Juan yang dulu ia kira bernasib sama dengan dirinya, bersama-sama menaiki hirarki dan saling membantu. Maka, meski Duke Juan sudah membuka identitasnya sebagai seorang pewaris, tidak, seorang duke, Francez tetap bersikap seolah Duke Juan bukanlah seorang duke. Hanya seorang sahabat, yang dulu membantunya dengan gigih dalam membangun bisnis, yang datang berkunjung.
"Baiklah."
"?"
"Kenapa? Bukankah kamu yang mempersilakanku duduk di sini (wasn't it you who let me sit here), Letta?"
"O-oh, tidak, aku—Letta kira Kakak sibuk, jadi tidak bisa berlama-lama di sini. Marie, buatkan teh merah dan bawakan kudapan lagi."
"Baik, Nona."
Plop.
Violetta merasakan sesuatu di atas kepalanya, sebuah tangan yang lebar dan hangat. Tangan itu milik Ankaryan, yang mengusap kepalanya sambil tersenyum kecil.
"Adik kecilku (my little sister) sudah bertumbuh besar (grown up). Sepertinya kakak ini (this elder brother) melewatkan banyak hal."
"Benar! Kak Ryan melewatkan sa~ngat banyak hal! Kakak tahu tidak bla bla…"
Violetta diam, sedikit mengerut (slightly frowned). Ia memandangi 2 lelaki yang biasanya tak pernah ada di dekat Violetta (asli), kini sedang beradu mulut dengan seringai nakal pada masing-masing wajah menarik mereka (their attractive face). Kedua tangan Violetta memegang cangkir teh dengan senyum kecil yang perlahan mengembang di wajahnya yang sedikit tersembunyi oleh cangkir itu. Yah, sepertinya, sedikit keributan terasa lebih baik.
Baik Clea maupun Violetta, sesungguhnya, tak begitu menyukai kebisingan. Bahkan suara kecil seperti suara halaman buku yang dibalikkan atau suara goresan pena bisa begitu mengganggu mereka. Sebuah hal yang menjadi alasan kamar Violetta dilengkapi alat sihir yang mampu menyamarkan dan menghalangi suara dari luar ruangan.
Mungkin ini yang diinginkan Violetta yang memiliki bayang-bayang kesepian (the shadows of loneliness). Bayang-bayang yang semakin lama semakin pekat dan menelannya, menyisakan Violetta yang bahkan tak bisa lagi menangis. Seolah air matanya telah kering oleh kesendirian dan penolakan yang diterimanya.
Mungkin Violetta (asli) takkan sampai menjadi sosok dingin yang dibenci banyak orang bila ia memiliki sedikit saja momen seperti saat ini. Violetta dalam kisah asli, menutup diri, sok bertingkah dewasa dan kuat. Semuanya dianggap baik-baik saja, meski sebenarnya tidak sama sekali, yang pada akhirnya menghancurkannya.
"Letta!" Violetta hanya bisa tertawa kecil melihat Archilles yang cemberut sambil menggembungkan pipinya karena kalah 'adu mulut' dengan Ankaryan yang tampak tersenyum penuh kemenangan sambil melipat lengan di depan dada.
.
.
.
Nyaris 2 minggu berlalu sejak ia kembali ke akademi. Rasanya membosankan, seperti biasa. Ia merasa ingin cepat pulang ke kediamannya, namun regulasi akademi membuatnya terkekang. Yang benar saja, hanya boleh pulang setiap 1 semester (= 12 bulan di sini), gila apa. Tapi, setidaknya, ia menemukan hal baru saat terakhir ia pulang (the last time he came home), yang membuat penantian selama satu tahun itu seolah bukan apa-apa.
Violetta yang biasanya hanya diam ataupun menyapa Ankaryan singkat, mulai berbicara lebih banyak. Entah itu mengajak Ankaryan makan siang, atau bertanya mengenai isi buku, atau menikmati teh sambil bercerita bersama Archilles. Kutu buku satu itu juga mulai sering keluar, seolah perpustakaan bukan lagi tempat yang menyenangkan.
Ankaryan beberapa kali kembali ke kediaman Juan diam-diam, tentunya pihak akademi tak tahu. Hah! Uang memang sangat berguna dalam membeli orang (money indeed useful in buying people). Dimaksudkan bahwa pihak penjaga keamanan takkan melaporkan Ankaryan meski tahu bahwa Ankaryan keluar dari wilayah akademi dan melanggar aturan 'liburan' di akademi. Dengan mengendap-endap memasuki kediaman utama Juan, sudah seperti pembunuh bayaran (assassin) saja. Ankaryan lakukan itu untuk memeriksa Violetta setiap ada berita tertentu mengenai anak itu. Violetta bukan adik kandungnya, namun ada perasaan kuat dalam jiwanya yang ingin melindungi gadis kecil itu. Satu kali Ankaryan hampir ketahuan Rose yang entah bagaimana berinsting tajam dan sok ikut campur.
"… yan… Ryan! Oi~ Ankaryan Julius Kayle Juan~ kau di sana~?"
"Diam."
"Hiyaaa~ seram~ aku takut~ karena aku takut, aku jadi tak bisa menggerakkan lidahku untuk memberitahukan adanya kedatangan gadis kecil yang sedari tadi menyebut Kak Ryan—"
Brak. Strap. Strap.
"Baru juga dibilang. Ah, bila diingat-ingat, ia gadis yang manis~ aku jadi ingin memilikinya~"
"Urungkan niatmu, Hansel."
"Aw~ tidak seru, Mark." Lelaki berambut keabu-abuan yang dipanggil Hansel itu mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi yang seolah mengatakan 'membosankan'.
"Silakan mengunjungi tempat selain bangunan berlabel 'akademi' bila menginginkan hal yang seru." Lelaki berambut hitam yang dipanggil Mark membalas tanpa mengangkat kepalanya dari buku yang dibacanya. Sesekali bergerak hanya untuk memperbaiki posisi kacamata bulat yang ia gunakan ketika membaca.
"Aish, mengapa aku harus sekamar dengan dua bedebah yang hanya tahu belajar seperti kalian? Bubuu… tidak menyenangkan!"
"Oh? Letta pikir Kakak berada di kamar satuan (kamar untuk 1 orang)." Sebuah suara datang dari pintu kamar yang terbuka lebar.
Seorang gadis kecil, yang tampak seperti berusia sekitar 6-7 tahun, yang memiliki rambut putih layaknya salju dan mata layaknya berlian kenari (berlian berwarna kekuningan), berdiri sambil membawa sebuah keranjang yang berhiaskan pita kuning. Gadis itu mengenakan gaun putih polos berlengan panjang dengan aksen renda pada bagian dada dan bagian bawah gaun. Terdapat syal bulu putih yang melingkari leher gadis itu dan topi rajut berwarna senada yang menutupi kepalanya. Seolah gadis itu sedang berpergian di musim dingin, meski pada faktanya, ini sudah hampir musim panas.
Gadis itu tampak ragu, antara ingin masuk atau tidak ke dalam kamar yang kini berisikan Hansel dan Mark.
"Oh, kupikir kalian sudah pergi." Ankaryan melangkah masuk, membawa gadis yang sedang menggenggam tangannya itu.
"Dasar pelit. Aku hanya ingin melihat adik perempuan yang sering kau sombongkan (the little girl you've often bragged about)."
Berbeda dengan Hansel yang menggerutu, Mark menutup bukunya, kemudian melangkah pergi. "Aku akan pergi kalau kau merasa terganggu."
"A-ah, Kakak, tinggallah (please stay). Mari menikmati teh dan kudapan yang Letta bawa bersama." Gadis yang terus menerus menyebut dirinya Letta, mengangkat keranjang yang sedari tadi ia pegang (hold).
"Uwaa~ adikmu lebih dermawan (generous) daripada dirimu, Ryan~" Hansel menunduk sambil tersenyum pada gadis kecil yang sedari tadi mengumbar senyum manisnya.
"Terima kasih kalau begitu." Mark kembali duduk di atas ranjangnya tanpa basa-basi.
"… anak-anak ini (these brats)…" (#¬_¬) Ankaryan menggendong gadis kecil bergelar 'adik perempuannya (his little sister)' itu, "Bukankah lebih nyaman bersama Kak Ryan saja, Letta? Tak perlu menghiraukan orang-orang tak bermakna itu (those worthless guys)."
"Ini kamar mereka juga. Mereka teman Kak Ryan, bukan? Tidak ada salahnya menikmati teh bersama teman."
'Malaikat.'
Seolah ada sepasang sayap putih di punggung gadis kecil yang dipangku Ankaryan yang bagaikan iblis bertanduk tajam dan bersayap hitam. Tatapan hangat yang jarang dilihat oleh Hansel dan Mark, dan itu hanya ada saat berhadapan dengan 'Letta' ini. Sedangkan pada mereka, Ankaryan melayangkan tatapan yang sangat tajam dan dingin seolah mengatakan kalian-itu-pengganggu.
"Kau belum memperkenalkan adikmu pada kami, Ryan."
Ankaryan tampak enggan, merasa risih, karena toh kedua temannya itu sudah tahu siapa adiknya.
"Oh, salam kenal. Aku Violetta, dari keluarga Juan." Gadis kecil itu melambaikan tangannya sambil tersenyum. Matanya turut melengkung dan terdapat rona merah pudar pada kedua pipinya. Seolah musim semi yang baru akan berlalu itu kembali datang.
Tapi, tunggu, Violetta?!