"Nona akan mengunjungi gereja setelah kembali dari akademi?"
"Uhmm." Violetta menjawab dengan malas, membiarkan rambutnya disisir oleh Rose, sedangkan dirinya sendiri masih memeluk bantal dalam keadaan setengah sadar.
"Hoamm… aku merasa seperti berjalan tanpa arah dalam waktu yang sangat lama, kemudian berhenti ketika aku mendapati pintunya tertutup. Aneh sekali mimpi itu… hoamm…"
Rose mengurus Violetta, bahkan Violetta tak perlu menggerakkan satu jari pun dan ia sudah siap di depan pintu dengan pakaian lengkap, siap untuk berangkat. Matanya masih setengah tertutup, seolah tidurnya semalam tak cukup untuk membuatnya tersegarkan kembali. Tapi, ia tak perlu cemas akan terjatuh ketika berjalan karena toh ia akan digendong oleh salah satu dari para manusia yang sudah menunggunya dengan mata berbinar di depan kamarnya.
Archilles, Ankaryan, dan Hansel, berurutan dari kiri ke kanan, berdiri dengan sedikit membungkuk ketika Violetta keluar dari kamar yang ditinggalinya selama 2 malam itu. Hanya Mark yang berdiri tegak di belakang trio tampan itu tanpa menghadap Violetta.
"Kak Markus."
"?"
Mark menoleh ketika namanya dipanggil oleh suara manis yang baru mulai ia dengar 2 hari yang lalu.
Mark menunduk, kemudian mengangkat Violetta ketika ia melihat gadis itu mengulurkan kedua lengannya ke udara seolah meminta digendong.
"Letta sudah akan pulang, ya."
"Uhm! Tenang, Letta akan segera masuk ke akademi!"
Violetta melemparkan senyuman sambil mengacungkan jempol kanannya seolah yakin ia 'pasti' akan lulus ujian masuk akademi yang dikatakan luar binasa sulit semakin bertambahnya tahun itu.
Meski tak ada yang meragukan atau menganggap perkataan Violetta konyol, pada kenyataannya, apalah yang bisa 'anak kecil' lakukan?
Mereka berlima, Markus dan Violetta, Hansel, Ankaryan dan Archilles, serta Rose berjalan berurutan dari depan ke belakang seperti barisan angsa. Pemandangan yang sedikit lucu, namun juga normal. Terkait status mereka dan 'skala prioritas' yang ada, Violetta lebih diutamakan dan karena Markus yang menggendongnya, maka Markus berjalan di depan. Hansel merupakan anak seorang duke, ditambah dengan statusnya sebagai adik dari Pendeta Agung, membuatnya layak mendapat posisi selanjutnya. Sisanya, hmm… anak-anak angkat (?) dan pelayan (??). Entahlah, urutan berjalan mereka tersusun seperti itu dengan begitu alamiah.
Mereka sudah akan tiba di depan gerbang setelah melewati lapangan pelatihan (training field), namun sebuah suara dengan kata-kata mengganggu yang menyertai membuat mereka terhenti.
"Ho? Seorang pecundang telah tiba."
Seorang anak lelaki berambut hitam dan bermata emas berada di tepi lapangan sambil berkacak pinggang dengan wajah meledek. Anak lelaki itu tampaknya sebaya dengan Archilles atau mungkin lebih muda. Di belakangnya, ada beberapa anak lelaki dengan rambut beragam warna yang juga bertampang meledek.
Hm, ada apa dengan dunia? Entah dunia apapun dan di manapun, pasti ada saja orang-orang sok seperti itu. Abaikan saja lah, ya?
Violetta menarik kerah kemeja Markus sambil menunjuk gerbang seolah mengirim sinyal bahwa mereka tak perlu membuang waktu untuk meladeni para makhluk kurang kerjaan itu.
"Hoho~ sudah kukatakan bukan~? Dia itu cuma pecundang~ lihat, bahkan dia tak bisa menggunakan kakinya sendiri untuk berjalan." Anak lelaki berambut hitam itu tergelak sebelum mengulurkan tangan ke arah Markus yang belum juga bergerak dari tempatnya. "Bagaimana bila kita berduel?"
Ho… masalah. Bila tidak diladeni, masalahnya takkan selesai sampai di sini saja.
Violetta menatap langit sebelum menutup mata sambil menarik napas dalam. Ah, penderitaan akan dimulai. Mengapa masalah selalu datang meski kita tak mencari mereka? Menyebalkan.
Violetta menepuk pelan tangan Markus, mengisyaratkannya untuk menurunkan Violetta.
"Letta…" Markus terlihat ragu, sama seperti yang lainnya. Kecuali Rose yang tetap menunduk tanpa reaksi seolah ia tahu rencana Violetta.
"Tenang, tenang, manusia hanyalah gumpalan besar debu dan pasir."
Violetta berjalan pelan menuju tepian lapangan, kemudian berjongkok, melihat ke bawah dan bertemu dengan mata emas yang tampak manis layaknya madu namun sayangnya dimiliki oleh anak yang sombongnya mendewa.
"Hei, tidak baik bila orang kuat mengganggu, apalagi menyakiti yang lemah. Bukankah gereja dan akademi juga sudah mengajarkan hal itu?"
Violetta mengangkat sebelah alis, seolah meragukan bila anak di depannya ini merupakan satu dari ribuan murid akademi yang dipandang tinggi bahkan oleh orang-orang di seberang benua.
Anak lelaki itu mendelik, "K-kurang ajar! Kau… beraninya kau… kalau kau berani, turun sekarang!"
"Hoo…"
Violetta berpangku tangan, "Tapi, Kakak, Letta tidak bisa turun dari tempat yang tinggi ini."
Anak lelaki itu mengernyit sebelum seolah menyadari sesuatu, anak itu menggendong Violetta turun dengan baik. Oh, anak yang baik. Violetta pikir anak itu akan menariknya turun dengan paksa. Omong-omong, setiap perilaku baik perlu dihadiahi~
Violetta yang sudah berpijak pada tanah yang tampaknya dipadatkan menggunakan sihir tanah, tersenyum pada anak yang tadinya terus-terusan bersikap kasar.
"A-apa yang kau… jangan tersenyum!"
Telinga anak itu memerah, meski teriakan ancaman keluar dari mulutnya. Anak-anak lelaki lain, yang tampaknya berperan lebih seperti pengikut daripada teman anak berambut hitam di hadapan Violetta, mendekati mereka dengan tampang yang tak bisa dikatakan baik. Violetta mengira bahwa mungkin anak yang agak 'tsundere' di depannya ini bukanlah pencetus ide pembulian di sini.
"Hah! Hanya anak perempuan yang tak punya kemampuan sihir. Meski kau anak duke sekalipun, kau takkan berguna bila tak bisa menggunakan sihir."
"Puhaha! Benar, itu benar. Palingan juga selama dia cantik, dia bisa digunakan untuk pernikahan politik."
"Wah~ kalian terdengar jahat, tapi benar kata kalian. Anak cantik yang tak bisa apa-apa hanya bisa dan perlu duduk manis seperti boneka dalam pernikahan hahahaha!"
Ya, ya, teruslah berpikir seperti itu. Ketika kalian kena batunya, baru tahu rasa.
Violetta seolah tak menggubris perkataan mereka dan membalikkan pandangan pada si mata emas.
"Lalu, kamu mau apa?"
Anak itu menyeringai, "Berduel sihir denganku, pecundang!" sahutnya sambil mengacungkan jari telunjuk pada Violetta.
"Aha, baiklah. Pertama, saya Violetta, bukankah sebaiknya, kamu memperkenalkan diri terlebih dahulu?"
"A-ah, aku Morgana—maksudku, aku Morgan."
"Baiklah, karena kau juga sudah berkata-kata informal padaku dari awal, izinkan aku untuk melakukan demikian." Violetta melebarkan senyumannya. "Kita akan lihat, siapa yang akan menang, antara aku yang pecundang dalam sihir, dan kau yang 'dikatakan' jenius dalam sihir."
Orang buta sekalipun tahu bahwa Violetta akan kalah. Tapi, mereka berada di akademi, anak itu pasti akan dihukum karena pelanggaran tata tertib. Bagaimana bila guru atau pihak keamanan tak datang tepat waktu?
Hmmm…
[Blaze]
Mantra dirapalkan dan sebuah benang merah yang perlahan bertambah banyak mengelilingi Morgan dengan bola api berukuran cukup besar muncul di kedua tangannya.
Violetta mengerjapkan matanya, "Em, Morgan. Sebelum kau melesatkan itu, bukankah kau tahu kita sedang berada di lapangan dengan tepian dipenuhi pepohonan rimbun?"
Morgan memanyunkan bibirnya selayaknya bebek, "Ah, tak peduli! Toh ada ahli elemen tumbuhan (botanical element expert) yang akan memperbaiki!" Morgan menyahut sambil melemparkan bola-bola api menuju Violetta.
[Water Wall]
Mantra dirapalkan dan kalung dalam jubah Violetta berpendar, membentuk lapisan kubah berwarna kebiruan. Seketika itu juga, bola-bola api yang menyentuh kubah itu menguap ke langit.
"H-hah? Dia bisa sihir?"
Morgan yang tak mendengar perkataan para 'pengikut'-nya, tak sadar bahwa ia sedang melawan orang yang 'bisa' menggunakan sihir. Dengan begitu, ia tetap melanjutkan serangannya seolah tertantang. Para penonton yang terdiri atas rombongan Violetta dan Morgan hanya bisa berdiri di balik lapisan pelindung yang dibuat Ankaryan di sekeliling lapangan. Tentunya Ankaryan sudah membuat para manusia yang menghina adiknya itu berdiri kaku dengan sihirnya.
"Kuggh… kau… kau boleh juga. Kita lihat apa kau bisa menahan serangan ini."
Morgan meletakkan kedua tangan di depan dada.
[Prince of Hell]
Sebuah lingkaran besar berwarna merah gelap dengan motif-motif aneh serta tulisan dari bahasa yang sangat asing muncul di antara Violetta dan Morgan. Apapun guna mantra itu, dari besarnya lingkaran sihir di hadapannya saja, Violetta sudah yakin itu sihir kelas atas. Hal yang bisa ia lakukan ialah menggunakan sihir kelas atas juga untuk menangkis, tapi sihir kelas atas apa yang bisa menangkis sihir jenis ini? Dan apakah 'energi' kalungnya cukup?
Violetta tak tahu jenis sihir apa [Prince of Hell] itu, jadi ia tak bisa sembarangan menyianyiakan maana untuk menangkis serangannya. Mungkin perlu ia tunggu sampai dampak sihir itu keluar, baru menggunakan sihir waktu untuk memperlambat atau menghentikan atau memutarbalikkan waktu demi bisa menangkisnya. Itu pun kalau sempat dan kalaupun ia bisa keluar hidup-hidup.
Dari nama mantranya saja sudah terdengar menyeramkan, bukankah dampaknya juga akan sebanding dengan namanya?
Selagi pikirannya dipenuhi pertimbangan, Morgan sudah melesatkan apapun guna mantra [Prince of Hell] itu. Sebuah kepala singa jantan berkulit dan berambut gelap perlahan keluar dari lingkaran itu. Terlihat keren bila hanya menjadi pihak yang menonton, berbeda bila menjadi pihak lawan. Violetta hanya menatap dengan wajah datar yang ditambahkan helaan napas well-this-is-the-end di akhir. Untungnya atau anehnya, sebuah teriakan peringatan membuat lingkaran sihir beserta kepala singa jantan itu lenyap seketika.
"Morganasia!" Morgan berteriak sambil mendelik.
"Morgan? Diamlah dulu, Morgana belum selesai!" Morgan berkata sambil berdecak kesal.
Anak itu… mengapa tiba-tiba malah mengobrol tanpa lawan bicara? Violetta yakin bahwa bukan dirinya yang menjadi lawan bicara anak itu. Morgan seolah sedang berbicara pada… dirinya sendiri?
"Morganasia! Kembali sebelum kuseret kau ke [Abyss]!" Morgan menyahut lagi sambil mengencangkan rahangnya seolah bersiap meninju dan melakukan penyeretan seseorang seperti yang ia katakan tadi.
"Hmph! Tak seru! Morgan jahat! Morgana benci! Cih!" Morgan berucap sambil menghentakkan kaki sebelum terhuyung jatuh ke tanah dengan pose berlutut.
"K-kau tak apa?" Violetta berjalan mendekat, memeriksa apakah Morgan baik-baik saja, baik tubuh maupun mentalnya.
Morgan yang tadinya menutup mata, perlahan membuka matanya dan menatap Violetta. Mata merahnya membuat Violetta melebarkan mata. Bukankah tadi warnanya keemasan? Tunggu, rasanya tak asing??
Sebuah senyuman meledek tergurat, "Kenapa tiba-tiba cemas? Kau suka padaku?"
"…"
Lupakan, sebodo amat lah dengan anak ini. Tampaknya, keadaan mentalnya sudah rusak.
"Sudah selesai urusan di sini."
Violetta melangkah mendekati tepian lapangan, kemudian mengetuk lapisan pelindung Ankaryan seolah itu adalah sebuah pintu. Lapisan tersebut perlahan lenyap, luruh dimulai dari puncak lapisan kubah. Beberapa orang yang mungkin merupakan pendidik di akademi berlari ke tengah lapangan, menuju Morgan. Mereka tampak panik, bahkan sepertinya mereka tak menyadari keberadaan Violetta.
Violetta menggeleng sebelum menghela napas, kemudian berjalan mendekati Ankaryan yang bersimpuh dengan lutut kiri menyentuh tanah ketika melihat Violetta mendekatinya.
"Pulang… ngantuk (sleepy)…" Violetta berkata berkata ketika ia sudah berada dalam gendongan Ankaryan.
Mata Ankaryan sedikit terkatup, membentuk lengkungan layaknya mata rubah yang manis, ketika gadis kecil itu melingkarkan tangan ke leher Ankaryan. Violetta merasa seperti 10 tahun hidupnya habis karena meladeni anak aneh tadi. Kini, yang perlu ia lakukan hanyalah menikmati istirahatnya di atas ranjang lembut yang dilengkapi salah satu alat dari [Magic Tech] terbaru… Zzzz
Rencana kunjungan ke gereja sudah menguap entah ke mana. Ah, lain kali juga tak mengapa. Bukan hal genting.
Ankaryan melirik ke arah tengah lapangan sekilas sebelum berbalik dan berjalan pergi. "Mhm… tidurlah."
Violetta mengangguk dan membiarkan dirinya benar-benar tenggelam ke dalam kegelapan, tidur. Ia tak tahu ada rencana aneh—atau bisa dibilang, cukup 'gila'—yang muncul di benak mereka; Mark, Hansel, Archilles, Ankaryan, dan mungkin juga Rose. Mungkin rencana mereka beragam, tapi intinya satu, yaitu 'anak itu' perlu diberi pelajaran.
Dan itulah, mungkin, awal dari mengapa Morgan selalu cekcok dengan kelima orang terkait. Yah, itu masih cerita yang jauh di depan.