Chereads / Aku jadi Antagonis?! / Chapter 12 - XI

Chapter 12 - XI

"Begitu rupanya…"

Publik hanya tahu usia Violetta, nyaris tak ada yang benar-benar tahu bagaimana wujud Violetta. Wujud yang 'digunakan' Violetta di publik, hanyalah hasil ilusi dari alat sihir (magic device) langka, [Pembuat Memori (Memori Maker)]. Itu dilakukan untuk menghalau orang-orang yang mungkin berniat buruk pada keturunan keluarga Juan itu. Dan barang langka yang sama dengan harga 1 hektar lahan untuk bertani itu tentunya bukan masalah bagi keluarga Juan.

"Kakak?"

Sadar bahwa belum memperkenalkan diri, Hansel tersenyum kaku sambil sedikit menunduk. "Aku Nihansel dari keluarga Kio."

Melihat kerlipan mata Violetta, Hansel tersenyum lebar, seolah ia tak pernah memikirkan fakta bahwa Letta di hadapannya adalah orang yang sama dengan Violetta kejam dalam rumor yang beredar.

"Adik Pio."

"Haha… iya, Pendeta Agung Pioneer Ali adalah kakakku. Mark, perkenalkan dirimu juga. Sini." Hansel menarik Mark yang masih lekat dengan bukunya.

"Markus dari keluarga Sion."

"Salam kenal." Violetta tersenyum sambil mengulurkan tangan kanannya.

Mark melihat tangan kecil yang tertutup sarung tangan putih itu, kemudian menjabatnya. "Iya, salam kenal… Letta."

"Aku kembali."

"Oh, Letta, kamu di sini."

"Aku sudah menanyakan pihak akademi. Sepertinya, ujian masuk baru bisa diambil tahun depan. Terjadi semacam kendala pada mesin penilaian dan banker penyimpanan soal, jadi penerimaan murid baru ditiadakan semester ini." Archilles, lelaki berambut hitam dan bermata emas, melangkah masuk ke dalam kamar dengan santai (casually).

"Oh, halo, Kak Hansel, Kak Markus."

"Uwaa~ kau sudah bertambah tinggi, Archi." Hansel berujar sambil mengacak rambut Archilles dengan senyum lebar. Hansel dan Archilles lebih tampak seperti pasangan kakak dan adik daripada Ankaryan-Archilles.

"Lama tak bertemu, Archi." Mark membalas sebelum kembali fokus pada bukunya.

"Archi, teh." Violetta berkata sambil menunjuk cangkir kecil yang sudah dituangkan teh. "Ujian tahun depan, baiklah." Violetta mengangguk paham, kemudian menuangkan teh ke dalam cangkir lainnya.

"Oh? Di mana Rose? Aku ingat Rose datang bersama kita tadi." Archilles melangkah mendekat, kemudian duduk di kursi kosong di sampai Ankaryan.

"Perpustakaan."

"Ho, belajar herbal lagi. Pekerja yang rajin." Archilles mengangguk-angguk, kemudian menyesap teh dari cangkirnya.

"Kak Markus, ini. Kak Hansel, ini." Violetta berjalan, mengantarkan cangkir teh itu pada Mark dan Hansel.

Tubuhnya yang kecil membuat Hansel mengira bahwa Violetta masih berusia 6 atau 7 tahun dan berusaha untuk melakukan yang terbaik dalam mengantarkan cangkir teh itu. Jiwanya bergetar oleh kelucuan berlebih (overload cuteness) itu.

"Jadi, apakah ini wujud ilusi juga?"

"Ini wujud asli."

Hansel yang tadinya tampak siap tenggelam dalam bola bulu (Violetta) yang sedang berjalan menuju tempat Markus berada sambil membawa cangkir teh, terhenti.

"Hah?"

"Kamu bercanda. Letta, berapa usiamu?"

"Sembilan."

"… katakan, mengapa tubuhnya terlihat seperti berusia 6 tahun? Kalian membuat dia kelaparan atau apa (do you guys starve her or something)?" Hansel berbisik pada Archilles dengan panik.

"Aku dengar itu efek samping dari potensi sihirnya yang disegel. Pertumbuhan fisiknya menjadi lebih lambat, tapi perkembangan lainnya tetap pada usia yang sebenarnya, atau mungkin juga tidak…?"

"Oi, yang mana yang benar?!" Hansel mengguncang tubuh Archilles dengan ekspresi apa-kau-bercanda.

Archilles yang tampak datar saja, membalas, "Kak Hansel juga pasti pernah mendengar pertumbuhan fisik yang terhambat karena potensi sihir yang terlalu tinggi atau kelainan sihir tertentu, bukan?"

"Hmm…" (;;°_°)

"Begitu (I see)…"

Melihat tingkah Violetta yang mirip anak kecil pada umumnya, sepertinya perkembangan mentalnya juga terhambat. Siapa lah yang menyebarkan rumor jahat itu. Anak tak berdosa (innocent child) bagaikan malaikat seperti ini malah dikatai kejam dan sangat 'iblis (evil)'.

"Omong-omong, kami akan menginap dua hari di sini. Ada hal yang perlu kucari dan Letta bilang juga ia butuh sesuatu di akademi ini."

"Aku akan minta pengurus asrama menyiapkan kamar." Ankaryan berdiri sambil membawa Violetta.

"Letta, apa yang kamu cari?" Ankaryan bertanya setelah ia keluar dari ruangan, berjalan pelan menuruni tangga.

"Entahlah."

"Ada nama yang muncul di mimpi. Hmm… apa, ya…? Morgan atau sesuatu (something), tidak ingat. Namun yang pasti, siapapun dan apapun 'Morgan atau sesuatu' itu perlu ditemukan." Violetta menjelaskan dengan matanya yang menyipit seolah berusaha menggali ingatannya.

"Begitu (I see)…"

"Kamu tunggu di sini, ya, Letta." Ankaryan mendudukkan Violetta pada salah satu kursi tunggu di depan ruang kepengurusan asrama.

Sembari menunggu, Violetta melihat ke kiri dan ke kanan, mau tahu saja apa yang ada di sekitarnya. Sesekali Violetta mengeluarkan suara 'hmmm' seolah sedang berpikir. Sesekali pula Violetta mengetukkan jarinya pada kursi di sampingnya. Ada suatu hal yang tak bisa ia lupakan meski ia ingin, ia tahu itu akan merepotkan, tapi jiwanya seolah berkata bahwa sesuatu akan terjadi bila ia mengabaikannya.

Swuush…

Terdapat semacam 'hawa' berwarna merah gelap muncul dari pintu masuk gedung menuju entah ke mana. 'Hawa' itu dikelilingi oleh beberapa makhluk kecil bersayap layaknya burung dengan mata besar yang berkilau layaknya permata. Telinga mereka tampak tajam dan sesekali bergerak naik-turun seiring makhluk kecil itu menari mengikuti arus 'hawa' itu.

Violetta ingin tahu apa yang berada di ujung 'hawa' yang jarang atau mungkin tak pernah dilihatnya itu. Ankaryan yang masih berada dalam ruangan, yang entah kapan akan keluar, membuat Violetta berpikir bahwa tak apa bila ia pergi sebentar.

Mengikuti arus merah yang terkadang bercampur dengan arus warna lainnya entah mengapa cukup mudah dilakukan. Violetta disambut oleh pemandangan penuh tumbuhan yang terlihat terawat setelah membuka pintu menuju sebuah gedung kaca yang sepertinya merupakan rumah kaca untuk semacam penelitian herbal. Di ujung arus, Violetta bisa melihat ada seorang anak lelaki, mungkin setinggi dan seusia Archilles, yang sedang mengayunkan lengan kanannya ke atas, kemudian ke bawah, dan terus berulang.

Rambutnya segelap kayu eboni, bersanding dengan kulitnya yang tampak sedikit gelap, mungkin karena terkena paparan cahaya matahari. Anak itu sedikit berganti posisi, dan Violetta bisa melihat jelas sepasang mata yang bagaikan tetesan darah. Tampaknya, anak itu belum menyadari keberadaan Violetta.

Violetta merasakan dorongan untuk mendekati anak itu. Ada satu kata dalam pikirannya.

"… Morga—"

"Letta!"

"Letta ke mana saja? Kakak sudah meminta Letta untuk menunggu, tidak dengar, hm?" Ankaryan berucap sambil mencubit pipi kanan Violetta.

"… guu… maaf…"

"Hah… kamu pasti lelah." Ankaryan menggendong Violetta dan terus menepuk pelan punggung Violetta seolah ingin menidurkan gadis itu. "Kakak sudah meminta izin pada pihak akademi, kamu akan sekamar dengan Archi. Mari kembali dan beristirahat."

Violetta mengangguk.

.

.

.

Shrugg.

Tap. Tap. Tap.

Krieett…

Malam itu, lorong gelap yang seolah tak berujung itu. Suara hantaman dari jendela yang ditatapi oleh mata merah menyala itu. Segalanya perlahan mendekat.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Aneh. Mata merah yang menatapnya kosong itu seperti bersatu dengan gelapnya lorong yang sesekali disinari kilatan cahaya. Mata kosong yang entah mengapa tampak seperti mata hewan buas yang menunggu mangsanya lengah.

"Kau pasti tersesat."

Suaranya nyaris tak bernada. Suara yang nyaris berbisik itu terdengar sangat jelas, namun tak kunjung dibalas. Mata dan ujung bibirnya membentuk sebuah garis lurus ketika ia menyilangkan lengan di depan dadanya, diam sambil mengawasi makhluk mungil yang perlahan bergerak mendekatinya.

Gadis berambut putih dan berkulit pucat di hadapannya seolah bukan hanya menutup mata, melainkan juga menutup telinganya. Gadis yang masih mengenakan gaun tidur tanpa hiasan sama sekali itu tak kunjung berhenti melangkah. Langkahnya kecil, perlahan, dan seolah tak pasti.

Tap. Tap. Tap.

Tak. Tak. Tak.

Ia mengikuti gadis itu. Perlahan menuruni tangga, kemudian sampai ke hadapan pintu besar yang berfungsi sebagai pintu depan asrama. Gadis itu berhenti di depan pintu yang tertutup itu, kemudian menggerakkan bibirnya, meski tak ada yang terucap. Gadis itu berputar dan kembali menaiki tangga, lalu menyusuri lorong yang seharusnya membuat semua anak gemetar ketakutan, nyaris tanpa suara.

Mata merah itu mengawasinya bahkan gerakan terkecil yang dibuat gadis yang tampaknya tak sadarkan diri itu. Bahkan sampai gadis itu masuk kembali ke kamar yang digunakannya untuk bermalam, kemudian menutup pintu, kedua mata merah itu masih bersinar di tengah lorong. Langkah dari kaki yang hanya beralaskan sebuah 'hawa' berwarna merah samar itu dimulai setelah kilatan cahaya menyambar. Bayangannya yang panjang dan gelap, membentuk sosok yang jelas bukan manusia.

"…"

Bisikan.

"[Sang Akhir (The End)] telah tiba."

"…"

"… ssa… h…"

"… asshwa… sahh…"

Bisikan-bisikan itu seolah bersorak. Bisikan yang bising namun tak disadari orang lain itu terus berlanjut. Seolah merumorkan akhir cerita penuh kekacauan yang seru bagi mereka. Bayangan itu mulai membesar namun ketika kilat menyambar, mereka lenyap.

.

.

.

"Ughh!"

"Cepat! Panggilkan dokter! Nona, bertahanlah!"

"Hah… hah…" Air mata menetes, tidak, apakah itu darah?

"… I-ibu… ibu… tolong Re… ne… hukh…!"

"Nona!"