Chereads / Ujian Cinta Aziz dan Khumaira! / Chapter 9 - 8. Sakit!

Chapter 9 - 8. Sakit!

Khumaira pulang ke rumah ke dua orang tuanya sembari menggendong Ridwan. Matanya menyorot sendu bahkan air mata terus luruh tanpa mau di cegah.

"Nduk, ada apa?"

Maryam sangat panik melihat Khumaira pulang dengan keadaan kacau. Sebenarnya ada apa, kenapa Putrinya begitu terpuruk?

"Ibu," tangis Khumaira sembari merengkuh Ibunya erat karena tidak sanggup mengingat Aziz.

Ridwan berdiri agak jauh, mata besarnya berkaca menatap Khumaira. Dia bingung tiba-tiba berada di angkot dengan Ibunya menangis dalam diam.

"Umi," lirih Ridwan.

"Dedek," panggil Laila sembari mengusap rambut tebal keponakan.

Ridwan menangis dan meminta gendong. Tentu Laila langsung menggendong tubuh mungil keponakan.

Laila berusaha keras menggendong Ridwan. Walau mungil tetapi Ridwan begitu berat. Pipi Ridwan bulat, bibir mirip Azzam, mata besar dengan manik Hazel. Hidung mancung dan jangan lupa lesung pipi yang manis. Keponakan tampannya duplikat Ayah dan Ibunya.

Khumaira sadar saat mendengar tangisan Ridwan. Hatinya sangat sakit melihat Putranya menangis. Melepas pelukan Ibunya lalu melangkah ke arah Laila dan Ridwan.

"Nduk, biar Mbak gendong, Tole."

Khumaira mengulurkan tangan dan benar Ridwan langsung minta gendong. Dia gendong Putranya dan berniat mau memandikan si kecil.

Ridwan mengalungkan tangan di leher jenjang Ibunya. Dengan menyandarkan kepalanya di bahu sang Ibu.

Saat tubuhnya berada di bak mandi, Ridwan asyik bermain bebek karet. Wajah tampannya mendongak menatap Khumaira tengah asyik mengusap rambutnya.

"Umi, kenapa menangis? Apa Umi merindukan, Abi? Dedek juga sangat merindukan Abi. Umi, Paman Aziz baik banget loh saat mengajari Ridwan mengaji."

Celoteh Ridwan dengan nakal memercikkan air ke wajah Ibunya. Dia tertawa saat Khumaira mencubit gemas pipinya.

"Tole, ini cerdas sekali. Umi sangat merindukan Abi dan kita merindukan Abi. Sudah ayo mentas lalu bermain bersama Mbah Ukhti dan Mbah Kakung."

Ridwan menggeleng karena belum puas bermain. Mulut mungil itu terus berceloteh mengajak bicara para bebek.

Khumaira tersenyum melihat Ridwan sangat manis. Beban hati sedikit terangkat melihat Ridwan ceria.

"Tole, ayo mentas."

"Nanti, Umi."

"Baiklah 5 menit lagi. Tole, kita akan tinggal di rumah Mbah Ukhti dan Mbah Kakung."

Ridwan menatap Khumaira lamat-lamat. Maksudnya apa?

"Umi, maksudnya bagaimana?"

"Kita akan menetap di sini. Pulang ke rumah ambil baju saja."

"Kenapa, Umi?"

"Karena Umi dan Dedek akan tinggal di sini dengan damai. Sekarang ayo Dedek mentas soalnya dingin."

"Umi, lalu bagaimana dengan mengaji Dedek? Paman bagaimana? Siapa yang mengajari Dedek selain Umi dan Paman?"

Deg

"Ya Allah, ternyata dia sudah sangat berharga untuk Tole Ridwan. Kenapa kamu begitu di sayangi Putraku. Tidak aku tidak akan membiarkan Dedek tergantung pada pria itu," monolog Khumaira dalam hati.

"Tenang Umi dan Mbah yang akan mengajari Tole mengaji. Paman pekerjaan banyak, jadi untuk sekarang tidak boleh mengganggu. Nanti Umi, Mbah dan Pak Ustaz yang mengajari Dedek mengaji."

Khumaira berusaha membujuk Ridwan. Tetapi lihat Putranya malah menangis histeris dengan air memuncrat ke mana-mana.

Ridwan menangis histeris karena kesal Ibunya bilang Pamannya tidak bisa di ganggu. Ia ingin terus belajar bersama Aziz.

Khumaira menggendong Ridwan tetapi Putranya meronta menyebabkan terpeleset dengan posisi terlentang dengan kepala terbentur pinggiran jeding.

"Akh," ringis Khumaira merasa sakit pada tubuh dan Kepalnya. Pandangan mengabur tetapi cukup bersyukur Ridwan aman di dekapannya.

"Jangan menangis, Nak. Umi baik-baik saja," lirih Khumaira sebelum kesadaran merenggut segalanya.

Ridwan diam tatkala Ibunya tidak bergerak. Dia menangis lagi bahkan tambah keras sembari berteriak histeris meminta bantuan.

Laila kebetulan lewat di depan kamar Khumaira, sontak masuk kamar dan melihat kakaknya terbaring di lantai kamar mandi. Sementara Ridwan menangis histeris sembari menepuk pipi Khumaira.

"Astagfirullahaladzim, Dedek Ridwan, kenapa Ibumu pingsan?"

Laila merutuki diri pasalnya bertanya menggunakan nada keras. Menahan napas saat Ridwan semakin histeris.

Di rumah cuma ada Laila, Khumaira dan Ridwan, sementara Sholikhin ke kebun lalu Maryam membeli sesuatu di warung.

Laila berusaha memapah Khumaira yang tidak sadarkan diri. Setelah berusaha keras dia berhasil membaringkan Kakaknya. Mengambil handuk untuk mengelap tubuh mungil Ridwan yang basah.

"Bibi, Umi huhuhu."

Ridwan menangis melihat Khumaira tidak kunjung sadar. Setelah berpakaian ia menggapai Ibunya.

"Umi, maafkan Dedek. Hiks, Dedek janji tidak akan nakal. Hiks, Umi bangun."

Ridwan berusaha membangunkan Khumaira. Begitu pun dengan Laila, kalau begini Mbaknya harus di larikan ke rumah sakit. Minyak kayu putih saja tidak mampu membangunkan Khumaira.

"Mbak, tolong buka matamu. Jangan buat kami panik."

Laila menangis histeris bersama Ridwan. Dua bocah tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi genting.

"Dedek, Bibi panggil Mbah Kakung dulu. Dedek di rumah ya."

Ridwan mengaguk lemah menyetujui perkataan Laila. Dia tidak kuasa menahan tangis melihat Khumaira terus menutup mata.

Laila keluar rumah dan sangat senang melihat Aziz. Air mata masih mengenang membuat Aziz bingung.

Kenapa Aziz bisa ada di sini? Karena sejak Khumaira pergi dari rumahnya dengan keadaan menangis pilu membuat dia bertekad menyusul guna meminta maaf.

"Dik, ada apa menangis?"

"Mbak Khumaira pingsan, Mas. Tolong bawa ke rumah sakit. Tadi Laila berusaha membangunkan tetapi tidak kunjung bangun."

Aziz membisu mendengar jawaban Laila. Apa dampak ucapannya berakibat fatal pada Khumaira? Rasa bersalah dan menyesal menyeruak begitu saja.

Laila meminta Aziz ikut masuk ke rumah dan menolong Khumaira. Di kamar terlihat Ridwan dengan tangan kecil menepuk pipi Ibunya lembut.

"Umi, bangun ... Dedek janji tidak akan nakal lagi. Umi, hiks bangun."

Aziz terpaku melihat Khumaira terbaring lemah dengan Ridwan berusaha membangunkan Ibunya. Dengan cepat dia mendekat ke arah mereka.

"Tole," panggil Aziz.

Ridwan langsung menengok ke arah Aziz. Dia langsung memeluk Pamannya dan mengatakan semua.

Aziz dan Laila terpaku mendengar perkataan Ridwan. Laila bingung sementara Aziz merasa hancur.

"Dik tolong bawa Tole Ridwan ke mobil. Biar Mbak Khumaira aku yang bawa."

"Baik, Mas."

Aziz terpaku melihat jilbab biru muda Khumaira berdarah tepat di kepala. Tanpa babibu lagi menggendong Kakak ipar dan lagi-lagi terpaku melihat darah di seprai.

"Astaghfirullah, Mbak Khumaira."

Rasa sakit serta kepanikan melanda Aziz. Dia merasa berdosa telah membuat Khumaira begini. Kenapa hajatnya malah menjadi mala petaka? Apa yang harus Aziz lakukan jika begini?

****

Pendarahan ringan terjadi pada Khumaira akibat terjatuh dengan posisi fatal. Kepala berdarah akibat benturan cukup serius.

Aziz terus mengusap rambut Ridwan dan berusaha menenangkan keponakan. Dia merasa bersalah akibat ulahnya Khumaira berakhir begini.

"Paman, Umi tidak akan meninggalkan Dedek, kan? Umi tidak akan pergi kayak Abi, kan? Paman, Dedek janji akan menurut dan tidak nakal lagi. Umi sakit gara-gara Dedek, maafkan Dedek."

Aziz merengkuh Ridwan erat sembari menciumi ubun-ubun keponakannya. Hatinya ngilu akan situasi ini, sekarang bagaimana?

Sholikhin dan Maryam datang menghampiri Aziz, Laila dan Ridwan. Mereka sok mendengar kabar Khumaira di rawat. Sebenarnya ada apa?

"Nduk, bagaimana bisa begini?" tanya Sholikhin panik.

"Mbak Khumaira berusaha menenangkan Tole Ridwan akibat kesal. Lalu, tanpa sengaja Mbak terpeleset di kamar mandi. Dan saat Laila melihat Mbak sudah tidak sadarkan diri."

Laila tidak enak hati melihat Ridwan semakin tergugu. Lalu melihat Sholikhin dan Maryam terpaku mendengar jawabannya.

"Buk, Pak tolong jangan panik. Dokter pasti menangani Mbak Khumaira dengan baik. Tole Ridwan tidak sengaja dan kecelakaan ini murni kesalahan Aziz."

Sholikhin meminta Ridwan dan membawa duduk di samping Istrinya. Di usap rambut lepek Ridwan sesekali di cium.

"Sudah jangan menangis, Le. Umi, baik-baik saja."

Hibur Sholikhin dan Maryam pada cucu keduanya. Entah apa masalahnya, tetapi ini takdir.

"Mbah Ukhti, Mbah Kakung, Dedek janji tidak akan nakal lagi. Umi tadi jatuh gara-gara Dedek ngga mau di gendong Umi. Dedek kesal karena kata Umi, Paman sibuk kerja dan tidak boleh di ganggu. Dedek ingin belajar bersama Paman. Maafkan, Dedek hik ... Dedek tidak akan nakal lagi."

Sholikhin dan Maryam merasa pusing mendengar perkataan Ridwan. Mungkin saja ini salah mereka yang kurang menjaga anak dan cucu. Semoga saja tidak ada hal fatal pada Khumaira.

Aziz tambah pusing akan rasa bersalah. Kenapa cobaan begitu berat? Bisakah dia menepati amanat dan menerima konsekuensi? Melihat Khumaira dan Ridwan begitu rasanya tidak sanggup. Apa lagi akibat keinginan itu Khumaira celaka lalu Ridwan menangis menyalahkan diri sendiri.

"Aku tidak boleh mundur, amanah harus di tepati. Aku harus bisa menjaga Mbak Khumaira dan Tole Ridwan apa pun caranya. Dengan pernikahan aku bisa leluasa menjaga kalian. Mbak Khumaira, maafkan aku tidak bisa menjaga dirimu. Mbak maaf Aziz tetap akan menikahi Mbak apa pun konsekuensi. Mas Azzam, lagi-lagi aku tidak bisa menjaga Mbak Khumaira dengan baik. Karenaku Mbak Khumaira terluka dan Tole Ridwan menangis. Maafkan, Aziz," monolog Aziz dalam hati.