Tepat pukul 4 pagi, Khumaira membuka matanya. Dia menggeliat pelan dan alangkah terkejut di depannya ada Aziz. Tunggu mereka sudah sah jadi wajar tidur berpelukan. Ia teringat kembali perkataan penuh makna Aziz sebelum merengkuh sang Suami. Hatinya menghangat tatkala ingat betapa lapang dada Suaminya ini menyikapi permasalahan.
Khumaira menatap Aziz lamat-lamat. Hidung mancung dengan pahatan sempurna bak perosotan anak kecil. Bibir sensual warna pink alami lalu alis tebal di pahat tajam dan bulu mata lentik. Memang Khumaira akui Aziz sangat tampan.
"Mbak, pagi-pagi tidak baik menatap begitu. Hoam, aku mau jama'ah dulu Mbak ke Masjid,"
Khumaira langsung sadar spontan menyembunyikan wajah di dada bidang Aziz. Baru dia tahu Suaminya memiliki tubuh senyaman ini untuk di peluk. Namun, bagi Khumaira pelukan ternyaman hanya milik Azzam.
"Mbak, sekarang jam 4 lewat seperempat. Bisakah Aziz ke kamar mandi? Perut Aziz sedikit sakit, oh iya maaf tadi malam saat Aziz mau melepas Mbak tahunya Mbak malah merengkuh erat. Sekali lagi maaf kita tidur posisi begini."
Aziz memaparkan semua agar Khumaira tidak salah paham. Dia juga masih betah merengkuh Khumaira dan rasa aneh hinggap. Ia teringat kembali pertama kali memeluk Khumaira saat insiden kecelakaan itu.
Khumaira perlahan melepas pelukan lalu duduk dengan menunduk. Kemudian dia menatap mata Aziz untuk beberapa saat sebelum memutus pandangan. Aziz selalu saja mementingkan kenyamanannya supaya tidak marah.
"Pergilah, nanti Mas mengompol di sini," canda Khumaira tidak mau menyinggung perihal pelukan saat tidur.
"Aziz bukan anak kecil, Mbak."
Aziz langsung beranjak mengambil handuk di koper. Rencana mau menginap 5 hari di rumah mertuanya. Setelah itu akan pulang ke Berbah untuk pulang ke rumah. Dia mengacir ke kamar mandi.
Khumaira tidak pernah tahu kenapa Aziz menjadi takdir kedua? Ia teringat masa lalu ketika Aziz banyak berkorban untuknya. Bahkan Suaminya rela terluka parah hanya untuk menyelamatkan dirinya.
Sekarang takdir memporos Aziz untuk Khumaira. Bisakah Khumaira menjalankan kewajiban sebagai istri?
Aziz merasa tubuhnya meriang, tetapi tidak boleh. Jangan sampai Khumaira dan yang lain tahu. Dia bersandar di dinding untuk menetralkan sakit kepala. Kepalanya terasa pusing dengan keadaan tubuh menggigil lemah. Buru-buru Aziz menetralkan diri agar terlihat baik-baik saja.
7 menit kemudian, Aziz keluar dan melihat Khumaira tengah asyik melamun entah apa. Lucu sekali Khumaira itu ketika sedang begitu.
"Mbak, aku jama'ah dulu. Sebentar lagi Adzan subuh, gih Shalat."
"Mas tidak mau Imami, saya?"
Aziz tersenyum mendengar pertanyaan Khumaira. Dia mendekat dan tanpa segan mencubit gemas pipi gembul Istrinya. Bila boleh jujur Aziz suka melihat pipi Khumaira yang gembul enak di cubit.
Khumaira mengusap pipinya sembari memberengut lucu. Kalau pipinya tambah gembul bagaimana? Kan lucu kalau dia tambah gembul itu pasti menggemaskan. Khumaira jadi teringat Azzam yang sangat menyukai pipi gembulnya.
"Apa sudah siap Aziz Imami, Mbak?"
Khumaira menggeleng cepat karena belum sanggup posisi Imam terlenggut. Biarkan begini jangan ada yang merenggut sebelum dia benar-benar siap.
"Itu dia ... kita akan Shalat sendiri dulu. Jika sudah siap katakan ...Insya Allah, Aziz akan menjadi Imam. Tidak perlu risau memikirkan itu, saya pergi dulu ke Masjid."
"Terima kasih, Mas sudah mengerti saya. Sholat yang khusyuk ya, Mas."
"Sama-sama, Mbak. Pasti."
***❤❤❤
Aziz semakin pusing membuat kepalanya berdenyut nyeri. Dia merengkuh Ridwan yang sejak tadi minta pangku. Ia menutup mata untuk menghalau pusing luar biasa.
"Paman, Dedek mau makan ayam goreng," riang Ridwan.
"Baik, nanti Umi berikan untuk, Dedek," ujar Khumaira dari arah belakang.
"Mas, ayo makan ... Ayo makan semua, aku sudah masak untuk semua!"
Aziz menggendong Ridwan menuju ruang makan di ikuti keluarga Sholikhin. Ini kali pertama ia akan makan sebagai menantu.
Ridwan makan di suapi Khumaira. Sesekali bibir mungil itu berceloteh tentang mobil-mobilan. Jari kecil terus bergerak memperagakan apa pun. Senyum tampan terukir menggambarkan betapa bahagia Ridwan.
Aziz tersenyum tipis mendengar ocehan Ridwan. Tangan besarnya terulur untuk mengusap kepala anaknya. Putranya walau bukan darah dagingnya setidaknya rasa sayang Aziz begitu besar untuk Ridwan.
"Sudah makan dulu baru berbicara. Mau Paman suapi?"
"Mau ....!"
Ridwan makan dengan semangat dan berhenti berbicara. Seolah menurut semua perkataan Aziz yang menurutnya benar. Si kecil terus menerima suapan Pamannya sampai kenyang.
"Alhamdulillahilladzi ath'amanaa wa saqoonaa wa ja'alanaa minal muslimin," doa Ridwan dengan riang.
Para orang tua tersenyum bangga melihat kepintaran Ridwan. Sungguh Khumaira merasa bangga memiliki Putra secerdas Ridwan.
Aziz tersenyum tulus melihat Ridwan langsung merengkuh lehernya. Si kecil seolah mengatakan ingin main.
"Baik, kita akan main setelah Paman bantu Mbah Kakung ke kebun."
"Janji?"
"Insya Allah."
Aziz menurunkan Ridwan dari pangkuannya lalu saat hendak membantu sang Istri. Khumaira malah menyuruh duduk anteng tanpa boleh menyentuh piring kotor.
"Mas, duduk saja. Yakin mau bantu Bapak ke kebun metik cabai?"
Khumaira mencuci piring sembari mengajak mengobrol Aziz. Dia ingin tahu apa bisa Aziz ke kebun? Selama ini Aziz tidak pernah berkebun selama menjadi Adik ipar.
"Mbak, aku ini bisa loh jadi petani. Abah juga punya sawah dan saat ke Pagerharjo, Paman juga punya kebun teh, buah dan aneka sayur lalu cabai. Jangan meremehkan Aziz soal begituan, Mbak."
"Hahaha, baiklah Mas kalau begitu pergilah petik cabai yang banyak. Nanti, aku buatkan makanan kesukaan, Mas."
"Baik, Mbak."
Aziz mengikuti Sholikhin ke kebun. Untuk pertama kali setelah sekian lama tidak ke kebun akhirnya dia kembali untuk berkebun. Dia bersyukur ini masih pagi jadi terik matahari tidak terlalu panas. Namun, semua berubah ketika sinar sang surya semakin terik.
Kepala Aziz semakin berdenyut nyeri dengan tubuh semakin lemah. Bahkan keringat dingin keluar membasahi tubuh. Napasnya semakin berat membuat dia duduk sembari memijat pelipis. Aziz berdoa semoga tidak tumbang di kebun milik mertuanya. Bisa malu tumbang di hari pertama menjadi menantu.
Lain sisi ada Khumaira dan Maryam sedang membuka bingkisan besar berisi mahar yang diinginkan Khumaira. Saat terbuka semua tercengang melihat ukiran kaligrafi begitu indah. Mata Khumaira dan Maryam berkaca-kaca menatap hasil karya tangan Aziz yang memukau.
"Masyaallah, Nduk ini bagus sekali," puji Maryam.
Khumaira menitikkan air mata haru melihat mahar sempurna dari Suaminya. Di usap perlahan setiap ukiran dengan hati penuh luapan Kebahagiaan. Khumaira menangis saat melihat Azzam tersenyum tulus seolah Suaminya bilang semua telah di mulai.
"Mas," lirih Khumaira.
"Nduk, pasti Tole Aziz berusaha keras membuat ini. Bukanya dia seorang CEO? Lalu kapan membuat ini? Mungkin saja Masmu tidak tidur guna memenuhi mahar ini, Nduk. Ibu sangat bangga pada Tole Aziz karena tekad, usaha dan perjuangan begitu kuat. Apa lagi sikap pantang menyerah membuat Ibu salut."
Maryam mengusap punggung Khumaira agar tenang. Putrinya tambah menangis mendengar perkataannya. Melihat Aziz rasa haru selalu melingkupi hati Maryam.
Khumaira mendekap ukiran kaligrafi dengan rasa haru. Di ciumi kalimat syahadat dan nama Azzam. Dadanya bergemuruh akan sebuah rasa haru dan penyesalan. Aziz rela berkorban banyak Untuknya bahkan rela menghabiskan waktu demi sebuah ukiran kaligrafi yang menjadi mahar.
Aziz tersenyum pada Sholikhin ketika mertuanya mengajak pulang. Dia harus terlihat netral tidak boleh lemah. Semoga saja mereka tidak sadar akan kondisinya yang menyedihkan.
***❤❤❤
"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," salam Aziz dan Sholikhin.
"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab Khumaira dari arah belakang.
Khumaira berlari saat Aziz datang. Buru-buru dia memberikan senyuman pada mereka lalu menyuruh Aziz mandi. Lalu untuk Ayahnya dia membuatkan kopi.
Aziz mandi air dingin sehingga membuat tubuhnya semakin bergetar. Benar saja akibat tidak memedulikan kesehatan dia harus menanggung sakit. Aziz kuat dan jangan membuat Khumaira khawatir.
Khumaira sudah membawa kopi ke kamar. Matanya membulat sempurna melihat Aziz terhuyung sembari memegangi kepala. Buru-buru ia taruh gelas di meja lalu berlari ke arah Suaminya.
Aziz nyaris jatuh jika tidak ada Khumaira menopang tubuhnya. Ia berusaha tersenyum tetapi nyatanya tidak mampu. Bukan senyuman ini malah terdengar ringisan kesakitan dari bibirnya.
"Mas ... ya Allah tubuh Mas panas sekali. Ayo kita ke Dokter untuk periksa."
"Mbak, aku hanya pusing biasa tidak perlu khawatir. Aziz kuat, jangan khawatir."
"Mas, mengertilah."
"Maaf, aku tidak ingin ke rumah sakit, Mbak."
"Baiklah, ayo rebahan."
"Hm."
Aziz terkekeh dalam hati, pasalnya Allah begitu baik menumbangkan dia di rumah mertua. Aziz jadi ingat selama 7 hari dia kurang mengonsumsi nasi. Bahkan sehari penuh tidak makan serta menyentuh makanan. Selama itu hanya kopi yang menemani Aziz untuk menyelesaikan keinginan Khumaira.
Sungguh semua usaha keras selesai, tetapi harus membayar dengan tumbangnya Aziz. Dia begitu bahagia bisa menyelesaikan itu semua. Sungguh Aziz tidak pernah merasa terbebani. Kesehatan bisa di jaga kembali, tetapi mahar Khumaira hanya ada 1 kesempatan.
Khumaira menangis melihat Aziz begitu pucat dengan suhu tubuh sangat panas. Dia baru sadar kantung mata Suaminya begitu tebal dan sekarang Aziz kurusan. Berapa hari Suaminya tidak makan dan tidur? Ya Allah rasanya Khumaira begitu berdosa membuat Suaminya terkulai lemah akibat keegoisannya.
Andai keegoisan tidak membelenggu pasti Aziz tetap sehat. Khumaira sangat menyesal membebani Aziz dengan mahar sulit itu. Dia berjanji akan menjaga Suaminya saat sakit dan membuat pria keras kepala sembuh.