Chereads / Ujian Cinta Aziz dan Khumaira! / Chapter 16 - Merawat!

Chapter 16 - Merawat!

***** Happy Reading*****

Aziz terkulai lemah dengan tubuh bergetar menahan kesakitan. Keringat dingin tidak henti-hentinya keluar bahkan suhu tubuhnya semakin meningkat. Ia merasa semakin lemah menerima kesakitan ini.

Khumaira panik dan saat memeriksa Aziz menggunakan termometer, mata besarnya membulat sempurna. Dengan tubuh bergetar ia hendak pergi meminta bantuan. Namun, tangannya di cekal oleh tangan besar Suaminya yang terasa panas.

"M...Mbak, ja ... jangan beritahu mereka. A ... aku cu...cukup istirahat dan minum obat," pinta Aziz dengan suara bergetar.

Khumaira menggenggam tangan besar Aziz sembari meremas pelan. Suaminya harus di rawat karena kondisinya sangat lemah.

"Mas, aku mohon tubuh Mas begitu memprihatinkan."

Aziz menggeleng lemah sembari meremas tangan Khumaira. Rasa sakit menjalar membuat Aziz mendongak. Rasanya menyiksa sampai dia ingin membenturkan kepala.

"Baiklah, Mas tunggu biar aku ambil alat untuk mengompres."

Chup

Khumaira mengecup punggung tangan Aziz dan langsung berlalu. Tanpa Khumaira tahu Aziz menahan senyum mendapat ciuman di tangannya.

"Mbak, jantungku mau lari. Kenapa denganku? Arghh, kepalaku sakit sekali dan tubuhku terasa kebas," batin Aziz.

Khumaira meminta tolong pada Maryam untuk membuat bubur. Ia memberitahu kalau Aziz sedang sakit. Alhasil mereka panik ingin melihat keadaan Aziz.

Khumaira meminta mereka untuk melihat Aziz nanti saja. Pasalnya kondisi Suami masih sangat memprihatinkan.

Ridwan belum tahu Aziz sakit makanya si kecil tampak heboh main bersama Dzaki. Bibir mungil itu terus berceloteh menirukan deru mesin mobil dan motor.

Sholikhin, Maryam, Bahri dan Zahrana tampak kalut memikirkan tentang Aziz. Bagaimana kondisi menantu baru? Apa Aziz baik-baik saja?

Aziz meremas rambutnya kalut merasa denyut nyeri di kepalanya. Dia begitu lemah sampai ingin berlari dari sakit.

"Mas."

Khumaira menaruh baskom di nakas. Dengan cepat dia lepas jambakan agar Aziz lebih tenang. Tetapi, Aziz malah meringis dengan napas terputus-putus.

"Mas, mana yang sakit?"

"Semua, kepalaku sakit sekali dan badanku terasa kebas," lirih Aziz.

Khumaira menangis dalam diam melihat Aziz begitu tersiksa. Dengan tangan bergetar dia berniat mengganti pakaian Aziz karena sudah basah oleh keringat.

"Mbak, ngga perlu di ganti nanti bahaya," lirih Aziz dengan mata terpejam rapat.

"Apa yang bahaya? Mas lihat kondisi Mas begitu memprihatinkan."

"Jangan Mbak ... nanti terpesona bahaya," cicit Aziz.

"Diam!" tegas Khumaira.

Khumaira merengut sebal lalu dengan enteng langsung membuka kaus Aziz. Tunggu dulu kenapa dia gegabah?

Aziz hanya diam saat Khumaira melepas kaus panjang polos. Dia membuka kecil matanya melihat reaksi Khumaira.

Benar saja, Khumaira langsung merona parah melihat tubuh atas Aziz. Dengan buru-buru dia berlari mencari piama yang Aziz bawa. Khumaira menepuk-nepuk pipinya yang terasa panas akibat ulahnya yang ceroboh. Masih sangat jelas bentuk tubuh proporsional Aziz yang mengkilap penuh keringat.

Terekam jelas bahkan terlihat jelas begitu menggoda. Dada bidang memiliki roti sobek 6 bagian dengan pahatan sempurna. Tubuh Aziz begitu proporsional membuat Khumaira memejamkan mata tidak mampu melihat. Ya Allah sadarkan ia telah berbuat aneh-aneh pada Aziz yang malang.

"Sudah Aziz bilang jangan, kenapa nekat? Terpesona ya, Mbak," goda Aziz dengan suara parau.

Khumaira langsung menepuk paha Aziz agar diam wajahnya masih merah merekah melihat tubuh Aziz. Dasar pria kenapa bisa memiliki bentuk tubuh sempurna?

"Sejak kapan Mas olahraga? Kenapa bisa memiliki bentuk tubuh begitu?" cicit Khumaira sembari mengompres Aziz.

"Setiap satu minggu sekali aku GYM, lalu pagi joging dan berenang serta olahraga," jawab Aziz dengan suara lemahnya.

Khumaira paham tidak lama Ibunya datang membawa bubur. Dia tersenyum tatkala Maryam menatapnya seolah mengatakan bagaimana kondisi, Aziz?

"Terima kasih banyak, Buk."

Aziz jadi malu pada mereka, kenapa sakit tidak tepat? Dia merasa usapan di rambut dan pipinya. Ia tersenyum tipis karena ini dari Ibu mertuanya.

"Cepat sembuh, Nak. Apa mau ke rumah sakit? Jangan keras kepala, Nak!" tutur Maryam.

"Tidak perlu, Buk. Lagian ada Mbak Khumaira yang merawat, Aziz," tolak Aziz halus.

"Suhu tubuhmu sangat panas, ini tidak baik. Jangan membantah nanti kenapa-napa." kukuh Maryam.

"Buk, saya mohon," pinta Aziz dengan suara bergetar.

"Baiklah, Nduk tolong jaga anak keras kepala ini," tukas Maryam.

"Enggeh, Buk."

Maryam keluar dengan perasaan menyesal. Andai saja Khumaira tidak egois mungkin Aziz akan baik-baik saja. Semoga saja menantunya lekas sembuh dan bisa geser kembali.

*** • ***

Di malam hari Aziz terlihat gelisah. Dia semakin menggigil dengan keadaan semakin pucat. Kondisi tubuh Aziz semakin lemah.

Khumaira panik melihat Aziz menjadi begini. Dia usap kaki dan tangan Aziz memakai kompres agar reda. Dia juga memijat lengan dan kaki supaya sang Suami tenang.

Aziz masih sadar namun untuk membuka mata rasanya berat. Tenaganya benar-benar terkuras bahkan untuk menggerakkan tangan susah sekali.

"Mas, ya Allah."

Khumaira begitu panik dengan berusaha agar Aziz pulih. Sekarang pukul setengah 10 malam. Hanya ada isak tangis Khumaira keluarkan karena sangat takut.

Aziz merasa bersalah melihat Khumaira begitu. Dengan susah payah dia meraih tangan mungil Istrinya. Dia meremas kecil tangan sang Istri agar Khumaira tahu dia tidak apa-apa.

"Mbak, tidurlah aku baik-baik saja," ucap Aziz terdengar sendu.

Khumaira menghapus air mata lalu menggenggam tangan besar Aziz begitu erat. Dia tidak akan tidur sebelum Aziz tidur dengan nyenyak.

Tanpa di duga Khumaira naik ke ranjang dan merebahkan kepala Aziz di pangkuannya. Dia memijat cukup kuat kepala Suaminya guna meringankan sakit.

Aziz terpaku akan tindakan Khumaira. Namun, semua terasa mereda di gantikan kantuk akibat usapan dan pijatan sang Istri. Perlahan mata berpupil cokelat keemasan itu menutup untuk menyambut menuju mimpi.

Khumaira tersenyum tulus melihat Aziz sudah lelap. Dia terus mengusap rambut lepek Suaminya sesekali dia usap pipi tirus Aziz. Matanya berembun melihat Suaminya sangat pucat. Bibir sensul itu biasanya merekah sekarang pudar di gantikan warna kelabu.

"Mas, begitu besar pengorbanan kamu untukku. Mas tenang saja aku akan merawat Mas sampai sembuh. Mas, terima kasih sudah memenuhi mahar itu. Sungguh aku sangat menyesal telah bersikap egois."

Tengah malam Aziz menggigil kedinginan. Bahkan dia terus menggerang kesakitan merasa sakit di seluruh tubuh. Ini kali pertama Aziz sakit sampai separah ini.

Khumaira baru keluar dari kamar mandi dan langsung panik melihat Aziz meringkuk dengan menjambak rambut. Dia buru-buru menghampiri Aziz dan melepas jambakan itu.

Aziz menatap Khumaira layu dan meminta sebuah pukulan agar kepalanya sedikit tenang. Dia memejamkan mata erat merasa sakit tidak terkira.

"Mas, ya Allah."

"Sakit, dingin ... Aziz ugh," ringis Aziz.

Khumaira kembali naik ke atas dan merebahkan diri di samping Aziz. Hal gila dia lakukan dengan merebahkan kepala Aziz di dadanya. Dia mendekap kepala Aziz dan mengusap punggung kekar Suaminya.

Aziz mengerjap merasa di tempat yang salah. Kepalanya berbantal dada kanan Khumaira dam hidung tepat di dada kiri. Aroma meneduhkan Aziz hirup dengan susah payah. Tolong singkirkan dia dari dada Istrinya, tolong Aziz.

"Mbak, jangan begini," lirih Aziz tidak kuat merasa bongkahan lembut di pipinya. Walau terbalut kain Aziz bisa merasa betapa padat. Oh ya Allah, Aziz itu pria dewasa punya gairah membara.

"Mas, kenapa? Tolong jangan khawatir aku akan memeluk agar hangat. Tidak usah khawatir kita sudah sah," ucap Khumaira.

Aziz frustrasi dengan keadaan begini. Hangat itu pasti, tetapi gejolak sebagai pria dewasa membuat ia menahan sesuatu. Kepalanya tambah pening berhadapan dengan Khumaira.

"Mbak, aku pusing."

Khumaira langsung menunduk melihat wajah Aziz bersemu merah. Tetapi suhu tubuh masih sangat panas. Dia perlahan duduk dengan Aziz tetap di dadanya.

"Astagfirullahaladzim, kuatkan aku menghadapi cobaan ini," rapal Aziz dalam hati.

"Mas ada apa? Kenapa wajah Mas merah? Mas tambah sakit ya Allah, aku harus bagaimana?"

"Singkirkan Aziz dari dada, Mbak. Tolong aku benar-benar gila," sahut Aziz dalam hati.

Khumaira menangkup pipi Aziz untuk mengusap keringat sang Suami. Jari lentik itu menyapu wajah Aziz dari keringat dan memberikan usapan lembut.

"Mbak, tidur," lirih Aziz.

"Tidurlah biarkan aku menjaga, Mas." Khumaira kembali merebahkan Aziz di dadanya. Dia memberikan usapan agar Suaminya lebih cepat tidur.

Aziz merutuki diri kenapa Khumaira tidak peka akan kondisi dan situasi yang dialaminya. Kalau begini ia bisa sakit menahan sesuatu. Kepalanya semakin pusing menghadapi Khumaira yang polos.

"Mbak, tolong besok Aziz di rawat di RS saja," ucap Aziz dengan nada bergetar.

"Baik, besok kita ke rumah sakit dan sekarang tidur."

Napas Khumaira naik turun membuat dadanya ikut seirama dengan laju napas. Dia terus mengusap kepala Aziz dan memberikan pijatan.

Aziz ingin menangis saja menghadapi Khumaira. Kenapa bisa Istrinya sepolos ini? Ingin menyerukan sesuatu tetapi tidak enak.

"Mas, kenapa tambah panas? Mas, apa Mas kepanasan?" tanya Khumaira panik.

"Iya aku sangat panas berada di sini. Bisakah tolong rebahkan aku di bantal? Mbak kamu begitu polos," sahut Aziz dalam hati.

"Mas, mana yang sakit? Katakan sedikit tolong jangan membuat saya tambah panik!"

"Kepala, aku pusing sekali."

"Mas, hiks maaf tidak bisa berbuat apa-apa. Nanti pagi kita langsung ke rumah sakit. Tahan dan tidurlah. Aku akan memijat kepala Mas perlahan agar sakitnya sedikit reda."

"Bantal, aku kepanasan," lirih Aziz. Dia menghiraukan ucapan Khumaira dan memilih ingin tidur di bantal. Tolong Aziz begitu frustrasi akan keadaannya sekarang.

"Tidak, Mas begini biar hangat. Biar suhu tubuhku membuat Mas hangat. Mas menggigil kedinginan dan jangan protes."

"Ya Allah," sebut Aziz penuh frustrasi. Bahkan Khumaira semakin erat merengkuhnya. Nikmat mana yang engkau dustakan mendapat Istri polos?

"Mas sudah tidur?"

Aziz diam tanpa menjawab karena sekarang kontrol diri sedang di uji. Aroma meneduhkan Khumaira membuat rileks dan tenang. Itu membuat Aziz semakin menahan diri akan ujian yang sebenarnya.

Khumaira mengecup puncak kepala Aziz dan memberikan usapan lembut pada pipi tirus Suaminya. Dia tahu Aziz masih terjaga menahan sakit. Semoga saja Suaminya bisa lekas membaik agar keadaan Khumaira tidak jahat.

"Mas, katakan sesuatu."

"Aku frustrasi," jujur Aziz.

"Kenapa? Mas ada masalah? Apa sekarang sakit Mas semakin menjadi?"

"Mbak tolong jangan terlalu polos. Aku sangat frustrasi berada di dada, Mbak," lirih Aziz pada akhirnya.

"Memang kenapa, Mas? Apa ada sesuatu?"

"Polos sekali, aku pria dewasa, Mbak."

"Lalu?"

"Lalu apanya yang lalu? Sungguh jika aku sehat Mbak tidak akan lolos. Kenapa Istriku sepolos ini?" rutuk Aziz dalam hati.

"Sekarang rebahkan aku di bantal, Mbak," pinta Aziz lagi.

"Tidak bisa."

"Astaghfirullah, Mbak aku dewasa dan sangat berhasrat," cetus Aziz pada akhirnya.

Khumaira langsung terbelalak mendengar perkataan Aziz. Perlahan dia rebahkan Aziz di bantal dan memilih berpaling dengan wajah merah merekah.

Aziz merutuki diri mengatakan kalimat itu. Tetapi, dia langsung merengkuh Khumaira erat dan memilih Khumaira yang berbantal dadanya. Biarkan saja Khumaira tahu betapa gila detak jantungnya.

Khumaira yang malu menyembunyikan diri di dada bidang Aziz. Dia merutuki diri karena memiliki sikap polos. Kenapa ia tidak sadar diri saat Aziz menahan diri.