Aziz berbincang antusias bersama Kakak ipar dan Ayah mertua. Sekarang jam 10 malam membuat obrolan semakin seru.
Keluarga Aziz sudah izin pulang ke rumah Sulaiman. Kini tinggal Aziz dengan sikap absurd membuat tawa.
"Bwahaha, sumpah kenapa kamu tidak jadi pelawak saja, Le?" komen Bahri.
"Wajah Aziz terlalu tampan untuk jadi pelawak, Mas."
"Astaghfirullah, hilangkan sikap narsismu, Le," nimbrung Sholikhin.
Aziz menyengir polos mendengar penuturan Ayah mertua. Dengan kikuk dia menggaruk pelipis.
"Saya tidak bisa sepertinya, Pak. Aziz memang tampan, benarkan?"
Peletak
Aziz meringis kesakitan karena di jitak Bahri. Sungguh dia di siksa dengan Kakak ipar. Ia merenggut sebal sembari berseru.
"Mas menyakiti kepala orang tampan."
Aziz mengaduh padahal itu benar-benar sakit. Kepalanya jadi berdenyut, tetapi menutupi dengan kenarsisan. Semoga saja tidak ada yang sadar akan sakitnya.
"Sudah masuk, buat anak," usir Bahri.
"Nanti Mas kangen," kekeh Aziz.
"Tidak, Pak mantumu begitu narsis."
"Ha ha ha, biarkan saja biar Nak Aziz senang."
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama, gih istirahat."
"Enggeh, Pak."
"Ingin punya momongan berapa, Le?" tanya Bahri sembari menyeruput kopi.
"11 biar kayak gen halilintar," sahut Aziz kalem.
Brush
Bahri menyemburkan kopi ke samping gara-gara Aziz. Bahkan Sholikhin juga terbatuk hebat tidak ingin percaya. Apa pria ini serius ingin memiliki anak sebanyak itu?
"Menyebut, Le."
"Astaghfirullahaladzim," sahut Aziz polos.
"Duh gusti, menantuku kenapa jadi pelawak," frustrasi Sholikhin.
Bahri sudah tertawa karena tingkah Aziz. Jika Aziz 1 jam lagi bersama mereka yakinlah mereka bisa kehilangan kewarasan.
"Sana masuk kamar!" usir Bahri.
"Kamar siapa?" tanya Aziz polos.
"Kamar ayam," sengit Bahri.
"Baik, apa saya harus masuk kamar, Mbak Khumaira?" tanya Aziz sangat canggung.
"Hm, masak mau masuk kamar singa. Cepat masuk gih."
"Baiklah, duluan ya Mas, Pak."
"Hm, semangat masa muda!"
Aziz hanya menyengir kuda membalas perkataan mereka. Dia melangkah tegap memasuki kamar Khumaira dengan perasaan campur aduk. Saat membuka pintu, hal pertama yang dilihat adalah rapi. Lalu Aziz melihat Khumaira sudah ganti gamis di tambah jilbab syar'i.
Khumaira tegang melihat Aziz sudah masuk. Apa dia siap melakukan kewajiban malam pertama? Jawabannya tidak. Dia belum siap menjalani itu semua.
Aziz mengunci pintu kamar lalu melangkah ke arah Khumaira. Tepat di depan Istrinya ia bersimpuh sembari mendongak menatap lekat mata Istrinya.
"Boleh Aziz genggam tangan, Mbak?" tanya Aziz sopan.
Khumaira mengaguk tanpa menjawab. Dia bergetar saat tangan kekar Aziz menggenggam tangannya. Apa Aziz mau menagih hak?
Aziz tersenyum melihat ekspresi Khumaira yang resah. Dia sangat tahu apa yang dipikirkan Khumaira.
"Mbak, lihat mataku!" perintah Aziz.
Khumaira menurut perkataan Aziz. Mata cokelat seperti lelehan karamel menatap mata cokelat keemasan sang Suami. Baru kali ini Khumaira menatap Aziz begitu dekat dengan status berbeda.
"Mbak, aku menyayangimu," aku Aziz.
Mata Khumaira membulat sempurna mendengar perkataan Aziz. Apa sejatinya yang diinginkan Aziz? Apa pria itu benar-benar menyayangi dalam artian berbeda?
"Mbak lucu sekali, begini aku menyayangimu laksana Kakak menyayangi Adik. Aku menyayangimu karena Mbak sudah Aziz anggap Adik sekaligus kakak ipar."
"Aku paham," sahut Khumaira.
"Mbak lucu dan lebih lucu jika tertawa."
"Apa, sih."
"Sepertinya Aziz kurang deh, baiklah Aziz ingin mengatakan hal penting."
Aziz sekarang bertampang serius. Karena tampang itu Khumaira jadi gugup memikirkan sesuatu.
"Mbak, sepertinya Aziz kebelet," ucap Aziz sembari tersenyum aneh.
"Eh? Kebelet apa?" Khumaira dasarnya juga polos bertanya sesuatu yang aneh.
"Aziz kebelet ingin hajat, syukur ada WC."
Aziz langsung berdiri dan mengacir ke kamar mandi. Perutnya sakit terasa di lilit makanya dia langsung setoran alam.
Khumaira mengerjap menatap pintu kamar mandi dengan pandangan aneh. Dia langsung tersenyum jenaka melihat Aziz begitu lucu.
***•~•***
Aziz kembali ke posisi semula yaitu posisi bersimpuh di depan Khumaira. Senyum terukir indah tatkala melihat Khumaira menatap dirinya penuh arti.
"Mbak ayo bicara serius!"
"Dari tadi Mas bicara lawak."
"Baiklah sekarang serius."
"Katakan, aku akan dengar."
Aziz memejamkan mata sebentar lalu kembali terbuka dengan pandangan tajam. Tidak ada mata jenaka hanya ada mata tajam serat akan keseriusan.
"Aku ingin menjadi tempat bersandar untuk, Mbak. Jadikan Aziz tempat keluh kesah di saat lelah. Aku tahu selama ini Mbak menahan tangis akan kehilangan, Mas Azzam. Tetapi, tenang ada aku yang akan jadi tempat berlabuh duka. Menangislah sekeras yang Mbak mau, karena Aziz akan merengkuh Mbak agar esok lebih baik ...,
... Mbak, aku tidak meminta lebih atas pernikahan kita. Cukup kita sah di mata agama dan Negara itu sudah membahagiakan. Aku sangat senang akhirnya amanah mampu saya tepati. Mbak tidak perlu khawatir soal kewajiban, pasalnya Aziz tidak meminta itu, asal Mbak nyaman dan tersenyum itu cukup ...,
... Mbak, Aziz hanya ingin Mbak biasa saja. Jika Mbak sudah siap dan ikhlas menjalani tugas katakan padaku. Biar Aziz juga siap menjalankan kewajiban sebagai Suami yang utuh. Jika Mbak rapuh butuh sandaran maka bersandarlah. Jika butuh pelukan maka peluk aku seerat mungkin ...,
... jaga kehormatan Mbak dan aurat dari Aziz. Karena Aziz akan menjaga itu juga. Kita tidak akan melakukan hubungan Suami dan Istri jika di antara kita belum siap. Nah sekarang kita berteman, bersahabat dan jadi rekan yang sah. Kita seperti biasa saja, yang membedakan kita halal berpelukan ...,
... jaga cinta Mbak untuk Mas Azzam. Mbak aku tahu cintamu sangat besar untuk Masku, maka cintai dan lindungi cintamu sampai kapan pun. Aziz tidak mengharap karena aku hanya ingin melihat Mbak bahagia. Mbak tenang saja, jangan takut Aziz menuntut ini itu. Tidak ... aku tidak akan menuntut. Kita rekan yang akan saling mendukung ...,
... Mbak, kemari menangislah sekeras yang Mbak mau. Jangan tahan karena Aziz sudah sah menjadi Suami. Bersandarlah dengan tangis sekeras yang Mbak mau. Aziz dan Mbak sudah halal maka bisa melakukan pelukan ...,
... Aziz hanya ingin Mbak membagi duka agar rasa sakit selama ini sedikit terangkat. Izinkan Aziz merengkuh, Mbak di kala rapuh. Izinkan Aziz bersandar dikala duka. Izinkan Aziz menjadi pelipur lara, Mbak ...,
... aku ingin kita bisa bersama tanpa canggung. Memang status kira sudah Suami dan Istri, tetapi jangan khawatir soal kewajiban. Kita akan melangkah ke sana jika sudah sama-sama siap. Sekarang kita hanya perlu lebih terbuka agar semakin dekat. Ayo sini peluk Aziz dan menangis meluapkan duka, Mbak!"
Aziz merasa berbuih berkata begitu panjang bak orang pidato. Dia tidak menyangka bisa berkata dewasa begitu. Sejatinya dia bukan orang puitis, namun demi Khumaira dia rela. Sesungguhnya Aziz mampu menjadi seorang penyair penuh kata romantis. Dia sebenarnya begitu puitis jika menyangkut seseorang yang sangat dicintai.
Khumaira membekap mulut tidak mampu berkata saat Aziz bertutur penuh makna. Suaminya begitu lapang mengatakan kata-kata penenang itu. Dia sangat bahagia Aziz memberi kebebasan tentang kewajiban serta kebahagiaan yang lain. Dengan begini Khumaira bisa menjaga diri tanpa ada ketakutan.
Cintanya akan terus terpaut untuk Azzam. Khumaira begitu haru mendengar Aziz berucap dewasa. Mungkin benar dia harus menumpahkan air mata pada Aziz. Khumaira akan membuat Suaminya menjadi rekan seumur hidup penuh lika-liku.
Dengan begini, Khumaira begitu yakin kalau Aziz tempat berkeluh kesah. Dia akan menangis dengan puas dalam dekapan, Aziz.
Aziz merentangkan tangan menyambut Khumaira. Dan benar Khumaira menjatuhkan tubuh dalam dekapannya.
Khumaira merengkuh punggung kekar Aziz erat sembari menangis keras. Dia menyembunyikan wajah di dada bidang Suaminya tanpa peduli apa pun.
Aziz merasa sakit mendengar tangisan menyayat hati dari Khumaira. Dia balas memeluk Khumaira erat seraya mengusap punggung Istrinya.
Khumaira terus meraung meluapkan kesakitan selama ini di tanggung. Dia tambah mengeratkan diri karena tidak kuat menerima rasa sakit begitu dalam.
Aziz bisa merasa tubuh mungil Khumaira menempel sempurna pada tubuhnya. Ini kali pertama berpelukan dengan wanita. Rasanya beda dan dia sangat ingin membuat Khumaira selalu nyaman penuh kebahagiaan dalam dekapannya.
Aziz terus mengusap punggung Khumaira sesekali mengecup puncak kepala Istrinya agar tenang. Cukup lama mereka berpelukan dengan posisi begini.
Khumaira sudah membasahi kemeja Aziz. Tetapi, siapa peduli? Dia terus menangis dalam dekapan Suaminya. Benar beban Khumaira terangkat walau sedikit karena menumpahkan tangis. Rasanya begitu lega telah berbagi tangisan serta bersandar sembari merengkuh Aziz. Tempatnya berkeluh kesah telah ada dengan suka cita.
1 jam kemudian, Khumaira tertidur karena kelelahan. Akhirnya dia bisa tidur nyenyak setelah 4 bulan lebih tertidur penuh duka.
Aziz tersenyum mendengar napas Khumaira teratur. Perlahan dia mengangkat tubuh Istrinya ke ranjang. Saat dia mau melepaskan pelukan Khumaira malah merengkuh erat.
"Apa aku harus tidur bersama, Mbak dengan posisi pelukan? Ini malam pengantin paling bahagia karena mendapatkan, Mbak. Aziz sangat bahagia bisa menjadi bagian dari Kalian. Akhirnya amanah itu akan ku jalankan dengan leluasa. Maafkan Aziz merebut Istri Mas dan Aziz janji akan menjaga mereka sepenuh hati. Aku sangat menyayangimu, Mas. Semoga tenang di alam sana, doakan Aziz."