Khumaira menghapus air mata kasar dan kembali masuk kamar. Dia menatap pantulan dirinya dicermin dengan pandangan kosong. Khumaira mengambil bedak untuk menghilangkan jejak air mata.
"Aku tidak akan mau menikah dengan pria itu. Aku akan menolak tegas agar mereka paham cintaku hanya untuk, Mas Azzam. Tenang Mas, jangan khawatir cinta Adek akan terus ada sampai ajal menjemput. Cinta kita suci dan selamanya akan abadi. Hanya Mas imam Adek, baik di dunia maupun akhirat!"
Khumaira langsung tersenyum tatkala pintu kamar terbuka lebar. Dia sangat tahu Laila memang sangat suka membuka pintu dengan kasar.
"Mbak, cepat keluar di panggil Bapak dan Ibu," beri tahu Laila sembari menyengir polos.
"Tunggu, Mbak berbenah dulu."
"Baik."
Khumaira melangkah keluar menuju ruang tamu. Di sana banyak pasang mata menatap dirinya penuh arti. Rasanya Khumaira ingin berteriak histeris agar mereka pergi. Jika begini dia harus bagaimana?
Maryam mengusap punggung tangan Khumaira ketika melihat Putrinya duduk dengan gelisah. Dia berusaha menenangkan hati Putrinya yang resah agar lebih nyaman.
Khumaira menunduk sembari meremas jari sendiri. Kenapa harus seperti ini? Aziz sudah dia anggap Kakak namun kenapa tega membuat resah?
"Nduk," panggil Hasyim.
"Enggeh, Abah."
"Begini maksud kedatangan kami sekeluarga pertama ingin melihat Nduk Khumaira dan Tole Ridwan. Kedua, apa kabar kalian baik-baik saja? Dan ketiga nanti kami sampaikan."
"Alhamdulillah, kabar kami baik-baik saja."
Khumaira tidak mampu menjawab terlalu panjang. Hatinya sesak akan situasi ini. Bisakah ada orang menyelamatkan dia dari situasi aneh ini?
"Alhamdulillah, kami sangat bahagia. Lalu, ini yang menjadi inti, Nduk. Abah hanya ingin menyampaikan hajat Tole Aziz perihal keinginannya untuk menikahi, Nduk Khumaira. Abah dan Ummi paham, Nduk sangat mencintai Mas Azzam. Namun, Tole Aziz bersungguh ingin meminang, Nduk Khumaira."
Khumaira meremas tangannya semakin erat. Air mata luruh deras karena sangat emosi. Sangat sakit sampai Khumaira ingin berlari.
"Sekali lagi maaf atas perkataan saya jika salah. Saya menolak pinangan Mas Aziz dengan baik-baik. Abah dan Ummi sudah tahu saya sangat mencintai Mas Azzam, lalu kenapa menyetujui keinginan Putra kalian? Sekali lagi maaf atas ucapan kasar saya menanggapi ini. Saya menolak dan harap mengerti!"
Khumaira menjawab begitu lugas tanpa ada keraguan. Hanya untuk Azzam tempat terindah di hati. Azzam adalah sosok Suami, iman yang baik di dunia maupun akhirat. Cintanya abadi dan dia tidak akan mau menikah turun ranjang.
Sekeluarga Hasyim paham akan penolakan Khumaira. Mereka maklum karena sangat tahu Khumaira begitu mencintai almarhum Azzam.
Safira melirik Aziz yang terlihat santai. Putranya bahkan masih asyik mengusap rambut tebal Ridwan tanpa tersinggung akan penolakan Khumaira.
Aziz membisu menyembunyikan rasa sakit di tolak kedua kalinya. Dia pura-pura tegar dengan mengusap rambut Ridwan. Hatinya bergemuruh ingin menyerukan isi hati.
"Tole Aziz, sudah mendengar bukan penolakan Mbak Khumaira," celetuk Safira.
"Saya tidak bisa menerima keputusan Mbak Khumaira!" tegas Aziz sukses membuat Khumaira menatap tajam.
"Saya tidak mau menikah dengan pria keras kepala seperti, Anda. Jangan pura-pura mendekati kami untuk sebuah hubungan palsu. Ingat Mas Aziz, saya mampu menjaga Tole Ridwan tanpa bantuan, Anda. Apa tidak malu menikah turun ranjang? Saya harap Anda maksud dan jangan keras kepala!"
Khumaira mencetuskan ucapan tanpa peduli keluarganya. Dia sangat marah pada Aziz. Ingin sekali Khumaira meluapkan emosi sampai tuntas. Namun, tidak enak pada keluarga almarhum Suaminya.
Semua tercengang mendengar kemarahan Khumaira. Wanita pendiam dengan kesopanan dan tata kerama lembut ternyata menakutkan saat marah.
Aziz tercengang untuk beberapa saat sebelum meminta Ridwan bermain bersama Kakak sepupu (Putra Nakhwan). Dia menetralkan diri untuk menenangkan hati dan pikiran.
"Saya paham, Mbak. Mbak salah paham soal saya selama ini. Saya tidak ingin hubungan palsu karena saya ingin menikahi Mbak karena Allah. Saya menyayangi Tole Ridwan layaknya Putraku sendiri. Saya sangat mencintai Tole Ridwan dan sudah menganggap Putraku. Saya tidak ada maksud terselubung untuk mendapatkan, Mbak. Percayalah saya benar-benar ingin menjadi Iman dan Ayah untuk kalian secara tulus. Terakhir saya tidak malu menikah turun ranjang pasalnya ini sangat mulia bagi saya!"
Aziz menyerukan pernyataan tanpa mau di bantah. Memang dasarnya dia keras dan tangguh makanya masih berdiri kokoh walau tertolak.
Khumaira menatap Aziz sengit, kenapa pria itu keras kepala sekali? Apa di pikirannya sudah tidak berfungsi? Dia sudah mengatakan tidak ya tidak. Kenapa Aziz ngotot?
"Pemaksa, saya tetap menolak!" hanya itu komentar Khumaira.
"Saya tidak terima!" tegas Aziz.
Khumaira ingin mencakar wajah Aziz sekarang juga. Adik iparnya begitu keras kepala. Kenapa ada manusia keras kepala macam Aziz? Jika begini izinkan Khumaira melempar Adik iparnya ke sungai Amazon.
"Apa maumu? Sudah saya katakan saya menolak!"
"Menikahlah denganku, Mbak ...! Saya tidak akan menyerah!"
Khumaira menggeram marah menghadapi Aziz. Bagaimana bisa ada makhluk luar biasa seperti Aziz. Dia menghembus napas berat lalu menolak keras.
"Saya tidak mau menikah dengan Anda ...! Berhenti keras kepala pulanglah!"
"Lalu bagaimana jika saya berniat menikahi Mbak karena amanah terakhir Mas Azzam?"
Aziz ingin melihat reaksi Khumaira akan pernyataannya. Dan benar Khumaira membisu tanpa kata. Kenapa dia tidak bilang dari awal sehingga Khumaira bisa bungkam tanpa perdebatan panjang.
Khumaira terdiam tanpa bisa membalas perkataan Aziz. Hatinya sakit dengan jantung seperti teremas kuat.
"Mbak, saya akan bercerita singkat tentang hajat saya. Dengarkan baik-baik dan ambil kesimpulan secara baik. Pertama Mbak ingat malam terakhir Mas Azzam di rumah? Mas Azzam menyuruh semua keluarga kumpul ke rumah kalian. Tepat di malam hari saat kita semua membakar ayam, aku duduk di pojok teras sembari menatap hebohnya mereka membakar ayam. Saat itu Mas Azzam datang menghampiri, Aziz ...,
... Mas dan aku bercakap-cakap ringan dan tiba hal mencangakkan terjadi. Mas Azzam tiba-tiba minta sebuah janji pada saya. Mas bilang ini permintaan terakhir, sontak aku bingung. Mas bilang menyuruh menjaga Mbak dan Tole Ridwan sampai Mas pulang dari Brunei. Aku menolak keras, tetapi Mas tetap kukuh meminta aku menjaga kalian. Aku melihat Mas menangis dan aku tidak kuat menahan sakit saat Mas Azzam menangis. Akhirnya aku setuju dan terbitlah senyum tulus yang sangat manis ...,
... Mas Azzam sangat bahagia waktu aku setuju. Lalu saat berita kecelakaan terjadi Mbak tahu, hatiku sangat hancur. Masku pergi selamanya di tambah Mbak pendarahan sampai kehilangan calon buah hati kalian yang kedua. Aku merasa gagal, tetapi terus berusaha ...,
... Mbak tahu melihat Tole terlantar akibat keterpurukan Mbak, Aziz merasa bertanggung jawab. Satu minggu saya melihat Mbak seperti mayat hidup dan Tole Ridwan semakin sedih. Maka dari situ saya memutuskan untuk menikahi Mbak agar leluasa menjaga Mbak dan Tole Ridwan. Saya berusaha supaya Tole nyaman, terjaga dan Mbak ada sandaran saat terluka ...,
... Mbak, ingat saat kalian sakit? Rasanya saya benar-benar panik. Saya sangat rikuh menyentuh Mbak karena kita bukan muhrim. Mbak membuat saya panik dan ingin memberikan sandaran, tetapi itu belum bisa. Menikahlah dengan saya, Mbak. Saya tulus menikahi Mbak karena Allah dan semua ini agar amanah terakhir Mas Azzam mampu saya laksanakan dengan baik. Izinkan saya menjadi Suami dan Ayah untuk Mbak dan Tole Ridwan ...,
... Mbak, cintailah Mas Azzam sampai kapan pun. Jaga cinta Mbak tanpa batas waktu. Namun, Aziz mohon tolong terima agar saya tenang merengkuh Tole Ridwan dan menjaga kalian dengan nyaman. Saya ingin merengkuh kalian agar kuat menjalani kerasnya dunia. Izinkan saya menggenggam tangan Mbak di kala Mbak butuh pegangan ...,
... saya terlalu banyak bicara, maaf. Untuk terakhir tolong bantu saya memenuhi amanah terakhir Mas Azzam. Saya sangat menyayangi Tole Ridwan sepenuh hati. Untuk Mbak ... saya paham akan terus menolak, tetapi tolong berikan saya kesempatan untuk memenuhi amanah. Maaf saya terkesan keras kepala dan pemaksa!"
Aziz mencurahkan isi hati pada Khumaira tanpa ada kebohongan. Dia ingin menyampaikan semua agar Khumaira paham akan hajatnya. Itu kalimat terpanjang sepanjang sejarah yang terucap di bibir tebalnya.
Khumaira tercengang mendengar penuturan Aziz. Jantungnya terasa berdegup sesak dan hatinya berasa teremas kuat. Air matanya bercucuran deras tanpa mau di bendung. Dengan cepat Khumaira merengkuh Maryam erat dengan isak tangis.