Aziz satu minggu penuh berusaha membuat ukiran kaligrafi yang diminta Khumaira. Dia tersenyum tulus saat sebuah usaha keras membuahkan hasil memuaskan.
Pasti ada harga yang di bayar untuk semua itu. Iya, Aziz selama 3 hari tidak tidur dan 4 hari tidur hanya 2-3 jam sehari. Dia tidak peduli akan kondisinya yang terpenting mahar itu selesai, dan Alhamdulillah sudah terpenuhi.
"Nanti malam, ya."
Aziz sudah membungkus kaligrafi ukir di tempat yang tepat. Kepalanya berdenyut nyeri sedangkan tubuhnya lemas. Pandangan Aziz mengabur dengan perut terasa di remas.
"Aku lupa tidur dan makan. Ya Allah, aku kuat jangan lemah, Aziz."
Aziz berjalan menuju ranjang lalu merebahkan diri sebelum itu terdengar suara panggilan dari bawah. Dia sangat mengenal suara merdu itu datangnya dari Ibunya.
"Tole Aziz ....!!!"
Aziz menghembus napas berat karena suara gaduh. Apa Ibunya mau memberikan makanan untuknya?
Nakhwan kaget melihat kondisi Aziz seperti orang gila. Bagaimana tidak gila jika melihat penampilan Adiknya seperti: rambut acak acakkan, pakaian kusut dengan kancing tidak benar. Jangan lupakan kantung mata begitu tebal seperti Panda.
"Ummi, Aziz lapar," rengek Aziz setelah sampai lantai dasar.
Safira buru-buru menopang tubuh Aziz agar tidak tumbang. Dia merasa miris melihat sosok Putranya begitu menyedihkan.
"Le, apa kamu baik-baik saja?"
"Tidak, Aziz ingin tidur lelah."
"Baiklah, ada waktu sampai jam 4 sore. Tole tidur dulu, tapi tunggu Ummi buatkan makanan dulu."
"Enggeh, Ummi."
Aziz bersandar di bahu lebar Nakhwan. Sesekali dia memijat kepala yang berdenyut nyeri.
"Le, kamu sakit? Tubuhmu panas dan kondisimu tidak memungkinkan."
"Aziz hanya butuh minum obat pereda nyeri kepala, istirahat dan makan."
"Baiklah, istirahat yang cukup, Le. Lalu, bagaimana dengan mahar?" tanya Nakhwan sembari memijat kepala Aziz.
"Alhamdulillah," sahut Aziz sebelum tertidur dengan posisi kurang nyaman.
Hasyim meminta Nakhwan untuk merebahkan Aziz di sofa. Tentu Putra sulung menuruti perintahnya.
30 menit kemudian Safira keluar membawa makanan untuk Aziz. Perlahan dia menepuk pipi tirus Putranya supaya terjaga.
Aziz bangun dengan tampang kusut. Dia tersenyum cerah saat melihat ada makanan untuknya. Dengan semangat membara Aziz meraih piring lalu berdoa terlebih dahulu sebelum makan. Setelah itu makan dengan lahap tanpa peduli keluarganya.
"Berapa hari kamu tidak makan, Le?" komentar Nakhwan.
"1 minggu ini Aziz kurang makan. Sehari mungkin hanya satu kali bahkan tidak makan. Aku sangat lapar, Mas," sahut Aziz sembari tersenyum polos.
Mereka merasa miris melihat tekad kuat Aziz. Sebegitu niat ingin menikah sampai lupa kondisi. Andai Aziz tahu keluarganya begitu tersiksa akan keputusan itu. Semoga saja si keras kepala bahagia bersama Khumaira tanpa ada rintangan berat.
Setelah habis, Aziz minum dan membaca doa setelah makan. Dia membaca Alhamdulillah tatkala obat pereda nyeri kepala tertelan.
"Ummi, Abah dan semuanya tolong bangunkan Aziz jam empat. Mahar sudah siap dan Aziz tadi sudah bungkus."
Aziz berjalan ke arah tangga menuju kamar. Setelah tenggelam di kamar dia buru-buru merebahkan diri senyaman mungkin.
"Tole Aziz itu sangat bodoh ya, Abah," celetuk Nakhwan.
"Betul, semoga saja Tole mampu bertahan di malam hari. Kondisinya sedikit memprihatinkan sejak kecelakaan 4 tahun silam. Tole Aziz jadi mudah sakit demam dan lebih parah mengeluh sakit di bahu."
Hasyim tidak tega membayangkan nasib Aziz di masa depan. Dia menjodohkan dengan Zahira dengan alasan agar Zahira mampu mengobati jika Putranya sakit. Kalau begini hanya berdoa semoga Khumaira mampu menjaga Aziz tatkala sedang sakit.
"Abah, jangan berpikir keras. Tole pasti mampu menghadapi masalah berat ini. Ingat Tole adalah sosok pantang menyerah dan pantang mundur."
"Abah takut melepas Aziz, Ummi. Putraku begitu malang namun harus bertahan. Semoga saja Nduk Khumaira menjaga Tole dengan baik. Dia sangat keras kepala sampai tidak pernah peduli kesehatan. Sikap pekerja keras itu begitu membuncah tatkala menginginkan sesuatu."
"Amin ya Allah, nanti malam adalah akad, kita doakan semoga Tole tidak sakit di rumah mertuanya."
"Amin ya Allah."
***❤❤❤
Aziz duduk di depan penghulu dengan pandangan serius. Wajah tampannya tampak bersinar tertimpa sinar lampu dan di hari ini status single telah terlenggut.
Khumaira menangis dalam diam di belakang Aziz. Ini pernikahan keduanya dan takdir kejam membuatnya turun ranjang. Dia tidak percaya kenapa Aziz mampu menyelesaikan mahar singkat tanpa kendala?
Hasyim kembali memberikan ceramah tentang pernikahan. Cukup lama dia memberi wejangan penting. Rasanya Hasyim belum siap melepas Aziz dengan kondisi memprihatinkan. Tubuh Putranya sangat lemah karena 1 minggu ini terlihat tidak mementingkan keadaan. Bisakah Khumaira menjaga Aziz saat sakit?
Aziz menatap Sholikhin penuh keyakinan tatkala calon mertuanya mengulurkan tangan dan tentu ia terima. Dengan keyakinan dia akan menjadi Imam untuk Khumaira dan Ayah untuk Ridwan.
Sholikhin merasa sakit pasalnya ini kali kedua menikahkan Khumaira. Putri kedua yang sangat dia sayangi. Dengan satu tarikan napas dia mengijab qobulkan Putrinya untuk kedua kalinya.
Aziz menjawab ijab qobul dengan lantang. Tanpa mengulang dan tanpa kesalahan karena dia begitu yakin akan hidup.
"Bagaimana para saksi?" tanya penghulu.
"Sah ....!!!" seru mereka.
"Alhamdulillah," lirih Aziz.
Hasyim memberi doa untuk pasangan baru. Usai semua itu, dia meminta Aziz membaca sebuah perjanjian pernikahan.
Aziz membaca deretan kata untuknya dengan tegas. Setelah selesai ia membaca ayat suci Al-Qur'an surah Ar_Rahman.
Suara bariton serak basah namun lembut itu mengalun merdu di telinga mereka. Dia terus melantunkan surah Ar_Rahman dengan merdu tanpa kesalahan.
Khumaira menangis haru mendengar suara Aziz yang merdu. Suara Aziz dan Azzam tidak jauh beda karena sama-sama merdu. Namun suara Aziz lebih condong tegas dan suara Azzam begitu lembut saat mengaji.
"Shadaqallahul-'Adzim."
Aziz menutup surah Ar_Rahman dengan sebuah senyuman. Dia tidak pernah menyangka ini awal statusnya sudah menjadi Suami. Ia tidak percaya kehidupan jomlo sejak lahir terenggut hari ini.
"Mas Aziz tolong tanda tangan di sini, dan Mbak Khumaira tolong maju untuk tanda tangan kartu dan buku nikah!"
Khumaira maju di dekat Aziz disertai perasaan campur aduk. Dia melihat Aziz sudah tanda tangan dan kini gilirannya. Dengan tangan bergetar Khumaira meraih pena guna menandatangani kartu dan buku nikah.
"Kini kalian sudah resmi menjadi Suami dan Istri, semoga sakinah mawadah Warohmah," doa penghulu.
"Amin ya Allah," ucap Aziz dan Khumaira.
Khumaira untuk pertama kali mengecup punggung tangan Aziz. Kenapa harus ia menjalani pernikahan turun ranjang? Dia tidak mampu meredam tangis saat dirinya sudah menjadi Istri Aziz.
Aziz menggigit bibir merasa bersalah memaksa Khumaira menikah dengannya. Perlahan tetapi pasti dia menangkup pipi gembil Khumaira. Bibir warna pink alami itu mendarat sempurna di dahi Khumaira. Sungguh Aziz tidak menyangka menikahi Mbak iparnya sendiri.
"Maafkan Aziz, Mbak," bisik Aziz setelah itu menjauhkan diri.
Ridwan beranjak ingin di peluk Aziz. Si kecil belum maksud apa yang terjadi di antara mereka. Perlahan dia mengecup pipi Aziz.
Aziz tersenyum lalu merengkuh Ridwan dan memberikan ciuman di wajah keponakan. Dia sudah menjadi Ayah untuk keponakan tersayang. Kini semua kasih sayang akan Aziz berikan pada Ridwan sepenuh hati.
"Dedek sangat menyayangi, Paman."
"Paman juga sangat menyayangi, Tole. Mana ciuman untuk, Paman?"
Ridwan mencium kembali pipi Aziz dan merengkuh leher kokoh Pamannya. Sungguh dia sangat menyayangi Aziz dan ingin selalu bersama.
Khumaira mengusap rambut Putranya lalu mencium pelipis si kecil. Dia sangat sedih harus begini, tetapi harus terlihat bahagia di hari sakralnya.