"Lain kali Kamu kan bisa bilang, Rei. Jangan pergi sendiri begitu."
Pagi-pagi aura Rana sudah butek. Gadis itu marah sekali Rei pergi ke Marunda sendirian.
"Aku kan belum tahu tempatnya, nanti kalau harus cari-cari...terus tersasar. Nanti malah ribet."
Ben ikut-ikutan. "Ya, kita kan satu tim. Semua bisa dilakukan bersama."
Dalam hati, Rei merasa sangsi. Masa iya lelaki yang menganggap dirinya putra mahkota mau diajak naik dan turun metromini, angkot dan jajan di warung pojok. Urusan salah naik bus saja air mukanya langsung asem.
Perdebatan mereka tidak didengar Sin dan Distya yang sedang sibuk mencari tempat yang pas untuk pemotretan. Memang rencananya hari ini ada pemotretan produk SEMI. Modelnya ya dari teman-teman sendiri. Tidak semua produk difoto. Hanya produk unggulan saja.
Untuk pemotretan kali ini, Ninis dan Vina didapuk jadi model. Ninis mengenakan clock skirt dan atasan batik. Sementara Vina didandani dengan palazo pants dan jaket batik. Ini untuk koleksi ready to wear.
Rei membantu dua model ini untuk dandan. Lucunya, semua perempuan yang ada di lokasi, lupa membawa bedak. Kehebohan terjadi. Sin yang mendengar kekacauan dari tempat ganti pakaian merasa gelisah.
"Masih lama Rei? Buruan dong. Mumpung mataharinya lagi oke nih. Sebentar lagi ambil fotonya lebih susah."
Berkat gertakan Sin. Dua model berlari-lari ke arah taman tempat Sin dan Distya berada. Ada dua kamera yang digunakan. Satu dipegang Sin dan satu lagi dipegang Ben. Distya dan Rei memainkan round reflektor. Bagi Rei yang buta fotografi, tidak mudah memainkan alat ini. Sin harus beberapa kali mengajarkan Rei cara tepat menangkap dan memantulkan cahaya matahari.
"Distya, round reflektor diarahkan ke wajah Ninis....hmmm Rei, coba mundur beberapa langkah."
Sibuk suara Sin mengarahkan tim yang tidak semuanya paham fotografi. Urusan gaya Ninis dan Vina diserahkan pada Rana. Soal gaya, Ninis selalu total. Dia bahkan rela memanjat dan bergaya di antara dahan pohon. Tinggal Sin yang bingung harus berdiri di mana? Ninis juga gak tak segan duduk di antara rumput-rumput.
"Argh..." tiba-tiba Ninis histeris.
"Kenapa Nis?" Rana ikut kaget
Sambil menggaruk kakinya, Ninis berdiri. "Aku dikerubuti semut api..."
Sesi Ninis berhenti sementara karena kakinya bentol-bentol. Distya memberi Ninis minyak yang ampuh mengatasi gigitan serangga. Lanjut ke sesi Vina yang gayanya bak model majalah fesyen. Pipi tirus, tubuh langsing dan kaki jenjang. Cantik sekali. Kulit sawo matangnya justru terlihat eksotis ditimpa cahaya matahari yang jatuh sedikit dari sela-sela daun. Komorebi.
Sambil Vina pasang gaya, Ninis ganti baju. Mengenakan kain batik tulis motif Pisan Bali dan kebaya brokat putih. Kain batik ini yang pernah dipesan di Bayat, Klaten. Untuk Vina sudah disiapkan kebaya encim warna putih dan kain batik cap pucuk rebung khas Betawi.
Sekitar 1 jam mereka istirahat. Sin melihat-lihat hasil foto yang sudah dipindahkan ke laptopnya.
"Nah, tinggal di-edit. Lihat Rei, fotonya tidak sampai 1 jam, dandannya malah hampir 2 jam." Komentar Sin bikin Rei kesal.
"Ya kan dandannya biar kelihatan bagus pas difoto." Rei mengelak.
Vina mendekat ke laptop Sin. "Lihat dong hasilnya."
Laptop Sin digeser persis ke depan muka Vina.
"Waaah....bagus banget hasilnya. Kayak photo shoot beneran."
"Siapa dulu fotografernya..." Rei menggoda Sin.
Hampir wajah Sin bersemu. Tapi Vina malah membantah.
"Biasa saja fotografernya. Ini pasti karena faktor modelnya yang maksimal."
Muka Sin langsung kusut. Rei dan Rana tak bisa menahan tawa mendengar racau Vina yang tanpa dosa. Pemotretan dimulai lagi. Posisinya pindah di dekat danau.
Di pinggir danau, Ninis tampak lebih kalem, justru Vina yang lebih atraktif. Membuat asisten fotografer kelelahan memindahkan alat-alat fotografi yang lumayan banyak. Vina suka sekali berlari sambil membentangkan kain di dermaga kecil yang menjorok ke danau.
"Hmmm....kalau mau lari begitu kurang jauh. Jadi kurang dapat pas di kamera." Kening Sin berkerut melihat hasil foto di layar kamera.
Tak putus asa, Vina tetap semangat. "Oh begitu, Vina lari dari taman saja ya ...."
"Eeh...jangan...." Kompak Sin, Distya dan Rana mencegah Vina. Lebih repot lagi kalau harus mengikuti Vina.
Jeprat-jepret hari ini kelar sekitar jam 17.00 WIB. Satu-satunya yang tidak tampak lelah hanya Sin. Dia sudah terbiasa. Sisanya kelihatan lemas dan kuyu. Ternyata pemotretan produk fesyen tidak gampang. Apalagi dilakukan di luar ruangan yang bergantung pada alam. Cuaca dan cahaya sangat berpengaruh.
Meski capek merambat, tapi mereka senang. Sesi foto berjalan santai, ceria dan sangat ramai. Rei yakin Sin tidak pernah memotret model yang cerewet dan banyak gaya seperti Ninis dan Vina. Sesuai kesepakatan, dua model boleh memilih kain batik yang mereka suka sebagai bayaran.
Beres urusan dengan Ninis dan Vina, bukan berarti perkara foto ini sudah selesai. Ada sekitar 3 batik unggulan yang juga harus diabadikan. Tapi tidak ada yang mau foto di luar ruangan. Alhasil, rumah Sin sebagai markas, kembali disambangi.
Kali ini yang jadi modelnya Sonia, teman Rei yang mantan None Jakarte. Dibanding dua model sebelumnya, Sonia lebih tenang dan anggun. Koleksi make up Sonia juga lengkap. Jadi urusan bedak ketinggalan atau maskara belepotan tak akan terulang lagi.
Masalahnya cuma satu. Sonia memakai jilbab dan Rei lupa mempersiapkan jilbab yang pas dengan baju yang Sonia kenakan.
Setengah berbisik, Rei mendekat ke telinga Distya. "Coba tanya Sin, di sini ada jilbab yang sesuai dengan baju yang dipakai Sonia, gak?"
"Peniti... jarum pentul...apa lagi Rei? Hah jilbab? Ya saya gak punya lah. Saya kan gak pakai jilbab." Rupanya Sin mendengar percakapan mereka.
"Siapa tahu adik perempuannya pakai jilbab."
Sin menarik napas. "Huff...iya pakai jilbab. Tapi kan adik saya tinggalnya di Bandung, bukan di sini."
Terpaksa Sonia menggunakan jilbabnya sendiri. Untung pas dengan bajunya. Riasan wajah Sonia juga sempurna. Meski saat dandan ada saja yang Sonia keluhkan. Dari mulai kaca di kamar yang buram, cahaya lampu yang tidak terang, sampai kamar yang penuh dengan barang dan membuat Sonia tidak bisa duduk.
Mau tidak mau, Rei memperhatikan rumah besar tempat Sin menghabiskan hari-harinya. Tampak berdebu dan banyak sarang laba-laba. Benar-benar seperti kastil. Cantik sebenarnya rumah ini. Tapi seperti tak ada sentuhan perempuan.
Mbak Kania, kakak ipar Sin, lebih sering menginap di rumah orangtuanya di Depok. Praktis rumah ini hanya dihuni para bujang dan satu ART perempuan—yang bisa pingsan kalau harus membersihkan satu rumah.
Apalagi ada ruangan-ruangan yang mungkin tak bisa dirapikan. Seperti perpustakaan Bapak yang penuh buku-buku klasik. Sayang sekali, buku yang dimata Rei sangat bagus dan berharga, jatuh begitu saja di lantai. Tidak tersusun rapi. Bahkan Sin tak pernah tahu beberapa buku koleksi Bapak yang membuat Rei antusias dan jadi malas beranjak dari perpustakaan.
Pemotretan Sonia sendiri dilakukan di banyak tempat. Dari mulai dekat piano, tangga, ruang tamu sampai pintu masuk utama. Rumah Sin yang bergaya Jawa dan penuh ukiran memang pas sekali untuk foto batik. Ditambah lagi barang-barang antik milik Ibu yang juga tampak mahal saat difoto bersama Sonia. Sama seperti Ninis dan Vina, selesai foto, Sonia boleh memilih batik yang dia suka.
"Batik yang ini namanya apa, Rei?" Tangan Sonia tak bisa lepas dari satu kain batik tulis berwarna merah dengan motif ayam bekisar warna putih. Ayam bekisar digambarkan memiliki ekor yang panjang, megar dan sangat indah.
Leher Rei menengok sebentar. "Oh, itu Sawunggaling dari Sidoarjo."
"Sawunggaling?" Sonia masih memangku kain batik berwarna merah.
Rei duduk di samping Sonia. "Diambil dari legenda Jawa Timur. Dahulu ada seorang Adipati Surabaya yang bernama Adipati Jayengrana. Suatu hari Adipati main ke hutan dan menikahi gadis desa bernama Dewi Sangkrah. Dari pernikahan itu lahir Jaka Berek yang tak pernah bertemu ayahnya. Singkat cerita, Jaka Berek punya peliharaan seekor ayam bekisar yang tak pernah kalah saat diadu dan selalu di bawa ke mana-mana. Termasuk saat mencari keberadaan Adipati Jayengrana. Setelah diakui oleh Adipati Jayengrana sebagai anaknya, nama Jaka Berek diubah menjadi Sawunggaling."
Tangan Sonia makin erat menggenggam kain batik berwarna merah. "Aku ingin yang ini. Boleh ya Rei."
Melihat wajah Sonia yang memelas, Rei tidak tega. "Tentu boleh."
Satu kain batik berwarna merah menjadi milik Sonia. Setelah Sonia pulang, Rei dan Distya mengecek stok batik untuk pesanan seragam lebaran Mbak Zia. Sekalian menunggu Nenden, junior Rei yang baru datang dari Mamuju dan membawa oleh-oleh tenun sengkang. Kebetulan rumah Nenden dekat dengan rumah Sin.
Nenden datang saat Rei memilih kain bermotif lereng ceplok yang jumlahnya lumayan banyak. Sembilan kain saja rasanya cukup untuk seragam keluarga Mbak Zia. Masih ada sekitar 11 kain dengan motif yang sama.
"Ini Mbak aku bawakan oleh-oleh tenun sengkang motif bombang dari Makasar. Aku mampir ke Makassar setelah dari Mamuju."
Kain oleh-oleh dari Nenden berwarna coklat dengan paduan benang emas. Motif bombang yang dibilang Nenden berbentuk zig-zag.
"Kok Kamu pulang? Kan baru dua bulan di Mamuju. Sepi ya kotanya?"
Nenden menggeleng. "Bukan itu alasannya. Aku tidak betah karena nyamuknya besar-besar"
Spontan Distya tertawa mendengar Nenden. "Wahahaha...Nenden Kamu memang tidak ada duanya."
Distya melirik ke Sin. "Mas Sin, Nenden ini unik banget deh pokoknya. Paling polos di kampus."
Dibilang polos, Nenden tidak terima. "Bohong...ada kok temenku yang lebih polos dari aku."
Kening Rei berkerut. "Di kampus kita? Siapa yang bisa mengalahkan Kamu?
"Ih....ada Mbak. Jadi pas pertama masuk kampus, temen seangkatanku itu mau ke asrama. Karena dia gak tahu, disuruhlah sama orang naik bus kampus. Nanti kalau sampai Mang Engking tanya saja lagi. Asrama tidak jauh dari situ. Maksudnya kan Restoran Mang Engking. Eh, temenku kelewatan sampai kuburan samping asrama. Ya sudah, akhirnya malam-malam dia putar-putar kuburan. Mencari nisan Mang Engking. Dia pikir Mang Engking itu makam keramat."
Sontak tawa Rei, Rana dan Sin meledak. Itulah pertama kalinya Rei melihat sosok lain dari seorang Sin yang dingin, pendiam dan kadang gampang cemberut. Sin tertawa lepas. Tanpa rem. Wajahnya bahkan sampai merah.
"Hahaha....terus kalau sudah ketemu nisan Mang Engking, temenmu mau apa? Memang dia mau tanya letak asrama sama kuburan....hahaha...."
Sin terus terbahak-bahak dengan wajah yang kian memerah. Sekali lagi Nenden berhasil menebar keceriaan di mana pun dia berada. Sayang waktu sudah larut. Tiga gadis harus pulang meninggalkan jejaka di kastilnya.
Tiba-tiba Sin bertanya. "Rei batik warna merah yang tadi dipakai Sonia saat pemotretan mana ya?"
"Diambil Sonia. Kan Sonia boleh pilih batik yang Dia mau."
Nada suara Sin meninggi. "Ya tapi itu kan difoto biar terlihat menarik saat akan dijual. Ya kalau diambil Sonia buat apa capek-capek difoto?"
Tanpa sadar, Rei menepuk jidatnya sendiri. Melengkapi tawa Sin yang menghilang dan berganti wajah cemberut. (Bersambung).