Giriloyo,
Harum wangi lilin malam semerbak memenuhi joglo. Baunya dari halaman depan. Nasi goreng dan telur ceplok yang dibuat Bu Surti sudah masuk perut Rei. Langkahnya bergegas menuju halaman. Ada si kecil Bagus sedang main mobil-mobilan. Di sebelahnya, Bu Surti memotong lilin malam besar menjadi kotak-kotak yang lebih kecil.
"Lilin malam lebih mudah dipotong pagi hari. Semakin siang akan semakin keras," ujar Bu Surti saat Rei menyapa.
"Mbak Rei mau latihan lagi? Ditemani Mbak Harti ya, saya mau mengawasi anak-anak yang PKL." Suara Mbak Mira terdengar dari pintu rumah Pak Cahyo.
Rei meneruskan batik karyanya yang belum selesai. Padahal hanya setengah kain. Masih ada setengah lagi yang belum disentuh sama sekali. Mbak Harti datang tak lama kemudian. Mereka duduk di dingklik, meletakkan kain di gawangan dan melelehkan lilin malam dalam wajan di atas kompor kecil.
Mbak Harti mengajari Rei membuat isen-isen dan cecek. Ciri khas batik klasik. Sebagian besar motif batik klasik tidak menggambarkan alam secara realis tetapi sudah distilasi. Prosesnya sering disebut menstiril.
Maka tak heran jika gambar daun bisa beraneka ragam. Ada yang dalamnya garis lurus atau penuh dengan garis melingkar. Isi di dalam motif dasar inilah yang disebut isen-isen. Sedang cecek, yang berupa serangkaian titik-titik sangat identik dengan batik itu sendiri. Bahkan ada yang mengatakan kalau batik berasal dari kata mbatik atau hambatik atau amba dititik. Istilah ini dikaitkan dengan setitik lilin malam yang menetes dari canting.
Istilah batik sendiri tidak ditemukan baik dalam bahasa sanksekerta maupun bahasa negara lain. Terminologi batik atau hambatik konon baru digunakan dalam Babad Sengkala yang ditulis pada abad ke-17. Ada yang mengatakan bahwa kata batik berasal dari bahasa Jawa kuno 'tulis thika' yang berarti menggambar. Kata ini bisa juga disebut dengan nulis atau dalam bahasa Jawa Ngoko disebut mbathik.
Kemungkinan lain dikaitkan dengan kesamaan penyebutan dengan daerah lain, seperti seni tato tubuh pada proto-Autronesian yang disebut dengan beCik. Beberapa peneliti percaya ada keterkaitan ornamen tato tubuh pada masa lampau dengan motif batik yang ditorehkan pada sehelai kain.
Kini torehan indah itu yang menuntun Rei ada di Giriloyo. Sambil melihat Mbak Harti membuat isen-isen, Rei juga memperhatikan cara Mbak Harti membatik. Dari mulai memegang canting, hingga beberapa kali meniup cucuk canting.
"Kenapa harus ditiup, Mbak Harti?" Tanya Rei penasaran.
Mbak Harti berhenti sebentar. "Secara teknis, untuk cek apakah ada sumbatan di cucuknya atau tidak? Kalau ada sumbatan kan lilin malam tidak mau menetes."
"Tahunya ada sumbatan atau tidak, bagaimana?"
"Kalau ditiup dan berbunyi, ya tandanya bersih. Tidak ada sumbatan."
"Kalau ternyata tersumbat."
Mbak Harti mengambil serat ijuk. "Tinggal dibersihkan dengan ini. Namun, para nenek moyang percaya, meniup canting bukan sekedar mengecek penyumbatan, tapi juga memberi ruh. Pembatik jaman dulu, untuk membatik saja harus ritual dulu. Nah, saat canting ditiup, saat itu pembatik juga meniupkan doa, harapan dan totalitasnya dalam sehelai kain batik."
Hampir Rei menitikkan air mata mendengar kisah begitu indah. Jiwa memilih benda. Dalam benda yang tak bergerak ada jiwa dan cinta yang disimpan dengan segenap doa, juga karya.
Satu hari itu, rasanya Rei seperti pulang ke rumah. Kembali lagi pada pencaharian lama yang menuntun pada makna kehidupan. Dan satu kerinduan menemukan muaranya. Pada tarian canting yang menggenapi lakon dan peristiwa. Pada dengung malam yang bersiul tiap saat udara ditupkan.Juga pada kain putih tempat seluruh rasa dan cerita tertumpah
Kaku, kelu, bisu. Sesaat tak ada lagi yang mampu dibunyikan. Selain harap yang terus dirunut pada goresan lilin yang membeku. Satu abjad tak pernah bernilai sama. Tapi ribuan cinta dan doa selalu punya cara untuk menyentuh takdir
Ada kisah tentang cinta seorang Ratu pada Rajanya yang tak pernah putus. Ada doa akan kasih dan kebijaksanaan yang dirunut pada secarik kain. Ada cerita pengabdian tanpa pamrih dari seorang kawulo. Pun tak ketinggalan, epik kesetiaan Rama pada Sinta yang melegenda
Seraya terus mengirim pesan pada desir yang menyimpan tabir. Wahai yang tersirat biarkan hati menjemput takdirnya sendiri. Astaga, Rei merasa terjadi sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tak lagi dia pahami. Tiba-tiba saja, Rei begitu rindu Sin.
"Mbak Harti, boleh berhenti sebentar? Saya ingin cari angin. Jalan-jalan sebentar."
Pengalaman hidup membuat Mbak Harti paham sekali, ada yang mengganggu pikiran perempuan muda di dekatnya. Mbak Harti tak ingin membuat perempuan itu kian resah.
"Ya, Mbak Rei istirahat saja dulu. Mau latar putih kan? Biar saya nembok dulu ya. Saya lapisi latar putih yang tidak digambar dengan lilin malam yang lebih pekat. Ini sulit. Pembatik lama pun tak semuanya bisa. Bisa merusak motif lain kalau Mbak Rei kerjakan sendiri. Nanti saya campur lilin malam dengan parafin, terus saya remas-remas kainnya, biar ada latar remukan. Seperti akar-akar halus."
Kacau pikiran Rei tak bisa mengerti sepenuhnya kata-kata Mbak Harti.
"Iya, Mbak Harti, saya ke gazebo dulu ya. Sekalian cari sinyal telepon."
"Mau pakai sepeda, Mbak?"
"Jalan kaki saja, Mbak Harti."
Rei meninggalkan halaman rumah Pak Cahyo. Memang di Giriloyo susah sinyal. Sinyal paling bagus ada di sekitar gazebo. Itu pun hanya beberapa strip.
Gazebo lumayan jauh juga dari rumah Pak Cahyo. Tapi Rei tetap memilih jalan kaki demi menenangkan gulananya. Pikirnya, sudah jauh-jauh ke Giriloyo, bukannya fokus belajar membatik malah hatinya jadi tidak karu-karuan.
Sepanjang perjalanan, Rei bertemu warga yang berkali-kali menawarkan tumpangan. Satu kampung sudah tahu kalau Ketua Paguyuban kedatangan tamu yang mau belajar batik. Tanpa Rei repot-repot, mereka sudah tahu nama Rei.
Tetapi Rei terpaksa menolak semua kebaikan hati mereka. Dia hanya ingin berjalan sendirian di bawah pohon-pohon tinggi dan kekar. Hanya dengan jalan kaki, Rei bisa meraba hatinya sendiri.
Di Gazebo, hati Rei makin ragu. Bukan karena sinyal. Justru saat sinyal di telepon selular Rei agak lumayan, Rei malah makin bingung. Ingin dia telah menelepon Sin. Tapi dia sadar, dia tak punya alasan untuk itu. Astaga, kenapa pikirannya hanya tentang Sin.
Ketika malam jatuh di Giriloyo dan bau tubuh Mbak Harti belum juga tercium, Rei duduk sendiri di beranda joglo. Hatinya menuntun tangannya menyusun bait-bait puisi tentang Sin. Meski Rei tahu, kata-kata ini mungkin tak akan pernah sampai pada Sin.
"Tanya mengantung pada selembar kertas usang. Adakah bait yang tak sempurna mampu banyak bicara? Pada lembar tak bernyawa kupaksa juga ratusan jawaban. Sisa-sisa proses yang tak kunjung selesai. Di pelupuk, alur cerita belum juga bisa ditebak dengan pasti.
Tuan, esok kapal kan merapat menuju daratan
Jangan biarkan dia karam sebelum sempat api tersulut pada kayu. Bakar saja kapalnya!
Izinkan dia jadi tempat sembunyi ikan kecil yang kehilangan karang. Lalu mengubah nyali ciut yang hendak berlari meninggalkan medan.
Tuan, itu pulau di penghujung. Jangan dulu lekas menyelam menjangkau semenanjung. Tak pernah kita tahu apa yang menanti di mercu. Meski juga tak kan hamba tahan anda di samudra lepas.
Walau ingin hamba, hempasan gelombangnya membuat anda terbiasa. Walau ingin hamba, riuh ombaknya mendewasakan anda. Walau sungguh ingin hamba, arah arusnya membimbing penglihatan anda
Tetapi tak ada daya membiarkan kaki yang hampir beku menahan dingin. Atau napas yang mulai sesak kehabisan udara. Perlahan saja, Tuan, terburu-buru hanya akan membuat anda hilang tenaga. Belum sampai pasir yang dituju lampaui cakrawala. Khawatir hamba, Tuan hanya akan lelah dalam satu dua kayuh
Arkati, arkati, mohon jangan tinggalkan dia dalam ketiadaan. Pandu dia menemukan pelabuhan di pesisir nan ramai."
Ah, Sin, Rei mendadak begitu khawatir. Sedang apa dia? Apakah baik-baik saja? Bagaimana ujiannya? Ya Tuhan, selalu Rei berdoa untuk selalu menjaga Sin. Agar Tuhan jangan biarkan hati Sin terluka. Sebab luka itu pastilah akan membuat Rei juga tersakiti.
Seakan ada aroma tubuh Sin di dekat Rei. Bau parfumnya, pewangi di dalam mobilnya, hingga harum sabun mandinya. Rei mulai hapal semuanya. Dan semua ini mulai terasa menakutkan.
Bagi Rei si gadis mandiri, cinta bisa berubah jadi jeruji yang membuat akal kehilangan daya. Cinta bahkan bisa membuat Qais gila hanya karena Laila. Tak ada yang lebih mengerikan dari keinginan memiliki seseorang yang berujung pada takut kehilangan.
Sebelum Rei benar-benar terjatuh dalam hatinya sendiri, Mbak Harti datang membawa sehelai kain. Ditawarkan kain cantik berwarna coklat itu pada Rei. Buat biaya anaknya sekolah.
"Ini sebenarnya pesanan orang. Tapi sudah 8 bulan kain ini tidak ditebus. Sedang saya butuh uang untuk biaya anak bungsu saya sekolah. Saya kan janda. Anak sulung saya baru lulus sekolah pariwisata. Baru mau cari kerja."
Rei meraba kain batik tulis yang terasa halus di tangan. Motifnya rapat sekali.
"Itu motif Wahyu Temurun. Bisa berarti turunnya wahyu. Konon motif ini diciptakan Sunan Kalijaga setelah semedi. Menggambarkan turunnya wangsit untuk Kerajaan Demak. Motifnya sendiri terdiri dari songko (mahkota) yang melambangkan wahyu kekuasaan,
Patra (daun) melambangkan lung, sifat mulung/dermawan. Kukila (burung) melambangkan kewajiban menjaga lisan dan Kusuma (bunga) yang melambangkan pribadi mulia. Semua ornamen ini menggambarkan sifat yang semestinya dimiliki oleh Raja."
"Tapi harganya pasti mahal."
"Memang agak mahal. Karena motifnya rapat dan halus. Mbak Rei lihat? Sekeliling motif dicecek. Susah sekali buatnya. Batik ini juga menggunakan dua warna alam. Sampai 11 kali celup dan jemur. Sebulan lebih untuk membuatnya. Tapi saya butuh uang, biar batik ini saya diskon saja."
Rei merasa tak tega. Lagipula batik ini teramat bagus untuk harga yang ditawarkan. Jika Mbak Harti tak butuh uang, tak mungkin batik itu bisa Rei beli dengan harga yang ditawarkan. Ah, jiwa memilih benda dan benda menghampiri sang jiwa. Begitulah, bahkan kain batik pun ada jodohnya.
"Baik Mbak, saya beli ya."
"Alhamdulillah..." Lega hati Mbak Harti. Ada uang untuk bayar sekolah anaknya yang kelas 6 SD. Sebentar lagi ujian.
Malam itu, Mbak Harti berkisah tentang kehidupan para pembatik. Tak seindah karya mereka. Tak gempita bagai pagelaran busana yang rutin digelar setiap awal atau akhir tahun. Tak semewah gaya para model yang memainkan kain di atas catwalk.
"Kami ya dari kecil sudah membatik. Bisanya hanya batik. Bahkan ada pembatik yang usianya 80 tahunan. Ada pembatik yang hidupnya begitu susah karena bergantung pada satu kelompok batik saja. Bayangkan Mbak, saat Ramadhan kemarin, mereka buka puasa dengan lauk 1 bungkus mie instan untuk 6 orang. Saya untung tidak sesusah itu."
Malam kian kelam. Pintu joglo tua sudah ditutup sejak tadi. Tapi kisah yang terlantun di desa ini masih terus didengung. Bagai dongeng pengantar tidur tentang orang-orang yang berjuang untuk hidup dan mati dalam dekapan petuah leluhur. Membawa Rei lelap dengan bayangan wajah Sin. (bersambung)