Chereads / ARETA & RENJANA / Chapter 17 - PARANG

Chapter 17 - PARANG

Sleman, Yogyakarta,

Motor Dahan dipacu menuju Stasiun Tugu, mengantar Nenden kembali ke Jakarta. Dari stasiun, Dahan langsung ke kantor. Kunci kosan dititip ke Rei. Kunci yang Rei selipkan di pot bunga mawar kesayangan Dahan.

Rei jalan ke ujung gang dan mencari taksi. Bukan perkara mudah menemukan angkutan umum berkeliaran di Sleman. Memang ada angkot, tapi rentang waktunya cukup untuk makan-sholat-tidur siang. Ada juga Trans Jogja. Ya tapi tidak menjangkau semua daerah di Yogyakarta.

Andai bisa menumpang di motor Dahan, pasti jadinya tidak terlalu rumit. Tapi Dahan harus mengantar Nenden dan pagi tadi Rei masih sibuk mencari informasi tentang batik di Taman Sari.

Untung Rei selalu menyimpan nomor telepon supir taksi dan tukang ojek di Yogyakarta. Lumayan jadi penyelamat saat tak ada taksi yang melintas di jalan raya.

Sampai di Taman Sari, Rei tidak mendapat informasi apapun tentang keberadaan pembatik. Nihil. Mengobati rasa kesal, Rei memilih untuk mengitari Pemandian dan Masjid Taman Sari saja.

Lumayan untuk memanjakan mata dengan ukiran-ukiran cantik di dekat kolam pemandian. Lorong-lorong panjang nuansa coklat seperti mesin waktu yang siap menyeretnya kembali pada masa Kerajaan Mataram. Terbayang putri-putri Raja selesai mandi dan langsung berwudhu. Lalu bersujud di Masjid bawah tanah.

Bagian atas Taman Sari ternyata tidak secantik di bawah. Banyak bangunan yang sudah retak, bahkan rubuh. Tidak banyak orang juga yang melihat-lihat. Hanya ada seorang anak kecil lelaki bermata jeli. Hidungnya mancung dan kulitnya putih. Ganteng sekali.

Anak itu membuat Rei berlari mengejarnya sampai ke satu sudut yang tak lagi ada orang. Hanya bangunan-bangunan tak utuh. Rei mulai bergidik. Siapa anak ini? Kenapa dia membawa Rei ke sini?

"Kemari Andhika...."

Ternyata tak hanya ada mereka berdua. Seorang lelaki paruh baya sedang mengawasi di antara bangunan yang berubah jadi tumpukan batu. Anak yang dipanggil Andhika itu tidak menyahut. Tapi berlari dan tersenyum ke lelaki yang memanggilnya.

Rei terpaku. Hening di tempat yang tak bisa dia terka.

"Ini cucu saya Andhika. Sepertinya Andhika suka dengan Mbak ..."

"Areta...nama saya Areta..."

Andhika berlari ke arah Rei dan menggenggam tangannya. Menariknya seakan mengajak ke suatu tempat. Anak itu hanya memberi isyarat. Baru Rei sadar, sejak pertama melihatnya, anak itu tak pernah berkata sepatah pun. Apakah Andhika bisu?

"Andhika ingin Mbak Areta mampir ke rumahnya...ke rumah kami." Lelaki paruh baya itu seperti menerjemahkan maksud Andhika.

"Ada rumah di sekitar sini?"

Lelaki paruh baya terkekeh.

"Hehehe...bangunan ini bersebelahan dengan rumah masyarakat. Ayo lihat, Kamu sedang ada dalam perkampungan."

Lelaki paruh baya berjalan. Andhika menyeret tangan Rei mengikuti lelaki itu. Benar, lorong ini berubah jadi gang panjang dengan tembok tinggi putih dan rumah-rumah bergaya Jawa. Panjang, sempit, tapi tidak kumuh. Malah terkesan kuno dan cantik.

Tanpa sadar, genggaman tangan Andhika membawa Rei memasuki sebuah rumah. Andhika melepas tangan Rei dan memeluk seorang perempuan paruh baya. Sedang Rei berdiri mematung di depan pintu. Perempuan paruh baya itu menatap Rei curiga.

"Ini teman barunya Andhika. Namanya Mbak Areta. Nah, Mbak Areta, ini istri saya, neneknya Andhika. Kalau saya biasa dipanggil Pak Gusti. Silahkan masuk dan duduk, Mbak."

Andhika kembali menarik tangan Rei masuk ke rumah. Benar-benar tak bicara anak itu. Tapi senyum dan lesung pipinya cukup mengutarakan semua yang ada di hatinya. Ya Tuhan, pasti anak ini besarnya tampan dan ramah.

Memasuki rumah Pak Gusti, Rei terperanjat melihat puluhan lukisan batik dipajang. Rumah ini seperti galeri. Tak bisa Rei duduk manis di sofa. Matanya terlalu nyaman dengan lukisan-lukisan yang memukau.

"Saya dan istri saya seniman, Mbak. Pelukis batik. Ini beberapa karya kami. Ada juga yang titipan pelukis batik sekitar sini."

Pak Gusti seperti bisa membaca pikiran Rei yang penuh tanda tanya.

"Ada pelukis batik lain di sini?"

"Yo banyak, Mbak. Di sini ya tempatnya."

Tiba-tiba Rei tersadar. Susah payahnya ia mencari pembatik di Taman Sari. Hingga seorang anak kecil menarik lengannya untuk sampai ke sini. Tempat pelukis batik.

Semesta, apa sebenarnya rencanamu? Meski tak seperti yang Rei bayangkan, lukisan-lukisan batik ini membuka satu lagi cakrawala berpikir Rei. Ternyata bicara batik begitu luasnya. Sejenak, Rei tak bisa mengalihkan pandangan dari lukisan bergaya abstrak yang didominasi warna oranye.

"Ini apa Pak Gusti?"

Pak Gusti berdiri di sebelah Rei. Si kecil Andhika mengekor. Istri Pak Gusti datang membawa minuman hangat dan mengajak Andhika ke dalam.

"Itu temanya global warming, Mbak. Penafsiran saya sebagai seniman, pelukis batik, tentang fenomena pemanasan global yang terjadi. Dominasi warna merah dan oranye menggambarkan alam yang sedang marah karena ulah manusia. Dan warna biru bergelombang menggambarkan langit dan laut yang ikut poranda."

Tubuh Rei jatuh begitu saja di sofa berwarna merah. Takjub pada lihai jari Pak Gusti yang membuat karya begitu rupa. Apalagi filosofinya juga tak main-main. Sebagai seniman yang idealis, pasti banyak sudah buku dibaca dan info didapat. Tampak cerdas dan menyenangkan.

"Diminum dulu tehnya. Ini ada pisang. Mbak Rei coba ya. Ada apa Mbak Rei sendirian di dekat puing-puing? Jarang ada wisatawan ke situ. Kalau sepi bisa bahaya."

Rei mereguk tehnya sebentar. Meletakkan cangkir kembali di meja. Baru bicara.

"Saya mencari pembatik. Eh, maksud saya, pembatik kain."

Pak Gusti mengangguk beberapa kali.

"Ada, tapi di sini ya konsepnya sudah galeri. Kalaupun ada pembatiknya di bagian belakang. Saya bisa antar ke sana. Saya kenal dengan yang punya galeri. Jadi Mbak bisa masuk untuk lihat proses pembuatannya."

Hati Rei riang. Oh semesta, terima kasih untuk restu yang tak pernah putus.

"Bapak serius mau antar saya?"

"Iya, tapi Mbak Areta habiskan dulu minumnya."

Pak Gusti menepati janjinya. Tentu si kecil Andhika tak mau ditinggal. Harus terus menggenggam tangan Rei di sepanjang jalan. Rei sendiri sangat menikmati perjalanan ini. Bila di kanan jalan dipenuhi rumah, maka batas kiri gang adalah tembok tinggi putih berukir.

"Ini tembok apa Pak Gusti?"

"Tembok Kraton, Mbak. Kampung ini berbatasan langsung dengan Kraton."

Baru Rei sadar kalau dia berada tak jauh dari pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Deretan galeri yang dibilang Pak Gusti pun sudah terlihat. Sebenarnya Rei agak kecewa. Rei ingin bertemu pembatik seperti di Giriloyo dan Balerante. Tapi ini hanyalah galeri besar dan mewah. Tak ada pembatiknya.

"Pembatiknya ada di dalam, Pak. Yakin Mbaknya mau lihat? Tempatnya panas."

Rei sempat bingung mendengar pelayan galeri bicara dengan Pak Gusti. Tapi berkat koneksi Pak Gusti, Rei bisa mengakses bagian belakang galeri yang ternyata lumayan panjang. Tapi sangat berbeda dengan ruang tempat menjual batik. Ruang tempat membatik cukup gelap, panas dan pengap.

Ruangan itu tidak besar, tapi dihuni beberapa pembatik tulis dan cap. Ada seorang lelaki yang sedang melorod dan jemur. Api dari pemanasan lilin malam dan kompor untuk lorod, membuat seisi ruangan dipenuhi asap. Rei tak bisa bernapas.

Cepat-cepat dia kembali ke ruang depan dan membeli satu kain batik sebagai kompensasi sudah main-main ke belakang. Hari itu, Rei baru saja berhadapan dengan buruh batik. Ya, pembatik memang beragam. Ada yang tergabung dalam paguyuban seperti di Giriloyo dan Merapi. Tetapi ada juga yang struktural. Dari mulai saudagar sampai kelas kuli kerok.

Pikiran Rei acak-acakan. Semakin banyak yang ingin dia ketahui. Dan Rei tahu, ada satu tempat yang harus ia sambangi untuk menyusuri industri batik di Jawa. Tempat itu adalah Solo. Baiklah, besok Rei akan langsung berangkat ke Solo. Tapi hari ini ia harus mampir Kraton dulu. Kadung di sebelah tembok Kraton, masa tidak mampir? Kan sayang sekali.

Rei pamit pada keluarga Pak Gusti setelah memboyong satu lukisan batik bermotif pohon. Tidak dilukis secara realis, tapi distilir. Cantik sekali. Bukan karena balas budi Rei beli batik itu. Tapi dia memang mendadak jatuh cinta dengan lukisan batik. Sebenarnya Rei ingin bungkus lukisan batik yang temanya global warming. Tapi harganya mahal sekali. Rei tak mampu.

Dari Taman Sari, Rei naik becak ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sial nasib Rei, Keraton tutup dan tak bisa dikunjungi. Seorang abdi dalam mengkonfirmasi kalau Kraton memang sedang tak menerima kunjungan. Tapi abdi dalam itu malah banyak bercerita.

"Saya masih kerabat Kraton. Masih ada garis keluarga juga dengan RA. Kartini. Usia saya sudah lebih dari 80 tahun. Tapi ya saya masih setia di sini," ujarnya sambil tersenyum.

"Dari kecil di sana Mbah?"

"Iya. Waktu agresi militer Belanda yang kedua, Yogyakarta porak-poranda. Pemerintahan dipindah ke Sumatera Barat. Panglima Jendral Soedirman memutuskan untuk gerilya. Sebagai pengirim pesan rahasia, digunakan anak-anak untuk mengelabui tentara sekutu. Saya jadi salah satu anak yang bertugas mengantar surat secara rahasia."

Si Mbah yang sudah sepuh masih terus cerita sambil berdiri tegap. Lengkap dengan beskap, kain dan blangkon. Sedang Rei yang jauh lebih muda sudah berkali-kali mengangkat satu kaki karena lelah.

"Belajarlah bahasa dan budaya Jawa. Ada banyak filosofi yang indah. Urusan memanggil saja ada aturannya. Misal untuk panggilan Kamu. Kalau pakai Ngoko bisa kowe, lebih halus jadi sampeyan. Tapi kalau ke orang tua ya harus pakai panjenengan."

"Tapi artinya sama?"

Si Mbah tersenyum dan masih semangat cerita.

"Sampeyan itu sebenarnya sebutan paling halus dari kata kaki. Sebutan paling kasar itu suku, sedikit lebih halus bisa disebut sampiran. Kenapa kok kata kamu secara sopan disebut sampeyan? Karena begitu hormatnya kita, maka saat bicara tak berani menatap mata. Menduduk merendahkan diri. Yang terlihat hanya kaki. Maka anggota badannya yang disebut, karena menyebut nama terlalu sungkan."

Mata Rei berkilat antusias. "Kalau panjenengan?"

"Artinya tongkat."

"Kok tongkat?"

"Ya, panjenengan digunakan untuk bicara dengan yang jauh lebih tua Biasanya orang yang sudah tua atau yang punya kedudukan tinggi kan pakai tongkat. Begitu sungkannya, sampai menyebut anggota tubuhnya pun sungkan, maka yang disebut tongkatnya."

Semilir angin berhembus menjatuhkan daun-daun di depan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Si Mbah masih setia merapal budaya Jawa. Rei, si cucu yang merindu ilmu tetap tegar mendengar petuah.

"Bunyi gamelan pun ada pesannya. Tidak sembarang ditabuh. Neng...Ning...Nung... Nang...Tahu artinya?"

Rei menggeleng. Matanya sejenak dialihkan pada ukiran Putri Mirong yang banyak dijumpai di bangunan Kraton. Tampak seperti siluet seorang perempuan yang bersanggul.

"Ning dari kata hening. Saat ada masalah, kita lebih baik diam. Tahan emosi. Hening sejenak. Neng dari kata meneng atau diam. Keheningan mengantar pada posisi diam. Seperti air yang bergejolak, diamkan sesaat agar tenang. Nung dari dunung yang berarti tempat. Orang yang tenang akan tahu caranya menempatkan diri. Nang berarti menang. Sebab, hanya orang yang bisa menempatkan diri, yang akan menang."

Aduhai, sore jangan cepat beranjak. Biarkan berhenti sejenak. Halus suara penjaga warisan masih mengalun membuai telinga generasi moderen yang gagap dalam gemerlap kota. Izinkan wasiat tersimpan dalam dada. Meluas. Berbuah cinta.

"Batik tidak bisa dipakai sembarangan. Setiap motif ada filosofi dan doa. Pernah ada yang bandel. Menikah tetapi menggunakan motif parang, bukannya sido. Apa yang terjadi? Tak lama pasangan itu bercerai. Jangan pernah meremehkan doa."

"Sampai bercerai Mbah?" Kening Rei berkerut, tampak begitu heran

"Iya, parang itu bukan untuk pernikahan. Ada yang menggambarkan parang dengan perang. Makanya rumah tangga jadi panas terus. Ini motif sakral. Apalagi parang rusak, ya bisa merusak. Parang ini kan motif larangan. Ada yang bilang motif diagonalnya terinspirasi dari senjata prajurit saat perang. Ada yang yakin kalau motif parang diciptakan oleh Panembahan Senopati yang terinspirasi dari ombak di laut selatan."

"Motif larangan itu apa, Mbah?"

"Tidak boleh dikenakan kecuali oleh keluarga Sultan. Pertama kali dicanangkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785. Penggunaan motif parang sebagai motif larangan, secara khusus diatur dalam Rijkblad van Djokdjarta tahun 1927."

Rei mengeluarkan buku catatannya dan menulis semua yang dia dengar sore itu. Rasanya otak Rei mulai penuh. Batik kini bak candu yang membuat Rei ingin menggali lagi dan lagi.

"Kata Pak Gusti, pelukis batik di Taman Sari, di dekat sini ada pelukis batik juga. Pelukis khusus Keraton. Apa Mbah tahu tempatnya?"

"Tentu, mari Mbak, saya antar."

Keberuntungan rupanya sedang menyentuh bahu Rei. Dua lelaki sahaja berusia senja masih sudi menemaninya bicara dan mengantar ke tempat yang ingun di tuju. Setelah Pak Gusti, sekarang giliran Si Mbah yang berjalan berdampingan dengannya menyusuri lorong-lorong berpagar bangunan kuno.

Si Mbah pamit setelah menitipkan Rei pada sahabatnya. Lelaki yang usianya sedikit lebih muda dari Si Mbah. Orang-orang memanggil lelaki itu denga sebutan Pak Tejo. Dia, si pelukis Kraton.

"Sebagian besar yang dipajang di galeri ini adalah hasil karya anak-anak Abdi Dalem. Sepulang sekolah, mereka belajar melukis di sini. Meski tidak besar, tapi galeri ini bisa menopang kesejahteraan anak-anak Abdi Dalem, terutama untuk biaya sekolah mereka."

Pembuka dari Pak Tejo saat Rei melangkahkan kaki ke dalam galeri. Ada beberapa lukisan cat dan ada juga lukisan batik.

Pak Tejo mengantar Rei melihat satu lukisan besar berlatar laut Pantai Selatan. Seorang perempuan sangat cantik menyatu dengan gelombang. Terlihat anggun dalam balutan kemben hijau. Tangannya yang lentik memainkan selendang.

"Dilukis berdasarkan mimpi. Ratu Kidul memilih sendiri siapa yang boleh melukisnya."

Buka kuduk Rei langsung berdiri. Gambar itu terlalu cantik. Terlalu hidup. Matanya seakan menyala dan mendekam dalam ingatan setiap orang yang menatapnya. Buru-buru Rei tinggalkan ruangan itu, menuju sisi yang lain.

Lukisan batik wayang Rama dan Shinta menarik hatinya. Berwarna biru muda dan putih.

"Lambang cinta dan kesetiaan. Bila di bagian belakang kain diberi lampu kecil, lukisan ini akan tampak menyala."

Bisikan hangat Pak Tejo bagai mantra pemanggil hasrat. Mengundang rindu pada sosok yang begitu jauh. Seakan semesta menyanjung hati berbenih kasih. Dalam bait-bait kisah turida. (Bersambung)