Chereads / ARETA & RENJANA / Chapter 16 - SEMAR BODRONOYO

Chapter 16 - SEMAR BODRONOYO

Sleman, Yogyakarta,

"Assalamualaikum.... cewek...aaahh, capek."

Rei melempar tasnya di atas kasur Dahan. Yang punya kamar langsung loncat menghindar.

"Kak, ih, parah banget sih. Bibirku lagi bengkak nih."

Dahan membuka masker yang menutupi bibirnya. Spontan Rei terbahak-bahak melihat bibir Dahan yang jontor.

"Ya ampun, kenapa itu bibir? Heeuhh...kebanyakan gosip tuh. Kena karma. Dikompres sana, pakai es batu dan handuk hangat bergantian."

"Bisa kempes?"

"Bisa....asal sabar."

Tiba-tiba dari luar kamar ada suara memanggil.

"Mbak Rei...."

Kepala Rei menoleh ke asal suara.

"Ya ampun Nenden. Dahan, anak ini kenapa ada di sini deh?"

Bibir jontor Dahan membuatnya sulit menjawab cepat. Nenden yang inisiatif jawab.

"Aku harus survei, Mbak. Terus aku takut tidur sendirian di hotel. Numpang tidurlah di sini. Jadi kan aku sekarang kerja di Lembaga Amil Zakat (LAZ). Nah, ada proposal permohonan bantuan untuk warga terdampak letusan Gunung Merapi beberapa tahun lalu. Mbak Rei temani aku besok ya. Aku cewek sendiri nih."

Rei berpikir sejenak. "Kita ke sana naik apa?"

"Dijemput sama relawan yang mendampingi warga."

"Boleh deh. Dahan ikut yuk."

Dahan menunjuk bibirnya. "Ini urusannya gimana? Lagian kan besok aku kerja, Kak. Udah ah, aku mau cari es batu dulu."

Rei beranjak dari tempatnya duduk. "Ya sudah aku mandi dulu ya...Nenden itu tasku jangan diacak-acak.

"Iyaaa...."

Dan pagi ketiga satu mobil semi Jeep parkir di depan kosan Dahan, Nenden baru saja menyudahi suapan terakhirnya. Sarapan yang dibeli Rei dan Dahan di warung nasi. Bibir Dahan lumayan normal setelah semalaman dikompres dan terasa nyut-nyutan.

Masuk ke dalam mobil, Rei dan Nenden disambut dua orang pria. Satu berambut plontos menyetir mobil. Namanya Ario. Satunya lagi rambut gondrong, kumis lebat, kemeja kotak-kotak dan pakai sepatu boot. Persis Mas Pandi. Mereka berdua seperti anak kembar. Yang ini dipanggil Mas Jenggo.

"Kita akan ke beberapa tempat, Mbak Nenden. Umbulmartani, Balerante dan beberapa daerah lagi. Nanti Mbak Rei lihat juga ya, warga di lereng Merapi yang bangkit setelah bencana," ujar Mas Jenggo.

"Waktu Gunung Merapi meletus, saya dan Nenden jadi relawan di sana, Mas Jenggo. Yah kurang-lebih sebulan."

"Oh, pantas ya Mbak Nenden langsung respon proposal permohonan bantuan yang kami kirim. Mbak Nenden pernah di sana, toh."

"Iya, Mas Jenggo, tapi saya kan sudah lama tidak lihat daerahnya. Pasti beda saat dulu ada bencana dengan sekarang yang situasinya lebih aman. Jadi saya harus cek ke lapangan dulu."

Kalau lagi bicara begini, Nenden terlihat lebih dewasa. Sikap polosnya agak tertutupi sedikit.

"Nggih, Mbak Nenden. Nanti kita keliling bertemu warga juga."

Perjalanan ke lereng Merapi tersendat deras hujan. Jalan jadi lebih licin dan harus berhati-hati. Apalagi jalanan naik-turun dan meliuk-liuk. Sampai di salah satu kampung, hujan agak reda. Mereka turun dari mobil dan disambut warga yang sudah menyiapkan makanan.

Rei seperti terpental pada beberapa tahun lalu, saat kakinya gemetar dan tak bisa bergerak. Tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang, Gunung Merapi pernah mengamuk hingga membuat kampung ini tertutup debu. Tak ada manusia yang tinggal. Hanya sapi dan kambing yang terikat dan tak bisa lari, tubuhnya hangus terpanggang.

Benar kata Nenden, ada banyak yang berubah. Rumah-rumah sudah dibangun dengan konsep tahan gempa—biasanya letusan didahului gempa vulkanik. Tapi ya kalau ada letusan Gunung Merapi, tetap harus mengungsi.

Tumbuhan yang dulu berwarna abu-abu putih—karena tertutup abu Merapi—kini sudah kembali hijau. Tampak cabai Lombok merah menggantung malu-malu. Memanggil hasrat untuk memetik yang paling besar. Tapi tak boleh, cabai itu milik petani.

"Dulu kami ditertawakan saat mengajak menanam cabai dan mengembangbiakan ayam mutiara. Katanya, mana bisa cabai tumbuh di lereng Merapi? Mbak Rei lihat. Berkat kerja warga dan kesabaran relawan, cabai ini tumbuh subur dan bisa memberi kehidupan. Lihat itu ayam mutiara dan kalkun milik warga. Di sana juga ada sapi dan kambing. Warga lereng Merapi sudah bangkit. Mereka butuh dukungan."

Tanpa Rei sadari, Mas Jenggo sudah ada di sebelahnya. Sementara Nenden sibuk mengambil beberapa foto untuk dilaporkan ke kantornya. Pandangan Rei menyapu langit hingga tanah becek bekas hujan. Letusan itu yang membuat tanah ini jadi subur. Bencana hanya satu pintu untuk mengganti yang lama dengan yang baru. Begitulah alam berproses.

"Mbak Rei satu kantor dengan Mbak Nenden?" Tanya Mas Jenggo.

Rei menggeleng sambil tersenyum. "Tidak, saya teman Nenden di kampus. Kebetulan saja kami bertemu di Jogja. Nenden mau survei dan saya sedang riset kecil-kecilan tentang batik."

"Riset tentang batik? Tugas dari kantor?"

Lagi, Rei menggeleng. "Sekedar kesenangan dan obsesi pribadi saja."

"Setelah bencana hebat itu, warga juga mulai membuat batik Merapi, wah berarti Mbak Rei harus lihat."

Mendengar batik Merapi, hati Rei melonjak. Baru kali ini dia tahu. Pasti tak akan dilewatkan kesempatan bertemu para pembatik. Tapi Kepala Desa sudah memanggil untuk makan siang.

Menunya sederhana tapi enak. Jelas ayam gorengnya hasil potong sendiri. Sayurnya juga tampak hijau segar dan menggiurkan. Mereka makan lesehan bersama warga, kecuali Mas Jenggo. Ternyata dia sedang puasa. Ah, memang tak boleh menilai orang dari penampilan. Mas Jenggo yang tampak seperti preman, ternyata punya jiwa sosial begitu tinggi dan taat beribadah. Bicaranya juga halus sekali.

Usai makan, baru Mas Jenggo mengajak ke tempat pembatik yang ada di Balerante. Bukan sebuah rumah. Tapi ruang kosong yang besar. Seperti aula. Katanya Balai Desa. Biasanya ibu-ibu membatik bersama-sama di ruangan ini. Sekarang sudah mau sore, pembatik banyak yang pulang.

Satu pembatik yang masih tinggal mengeluarkan beberapa kain yang sudah dilipat rapi. Ada juga kain yang masih dibentang di gawangan. Seperti motif batik kontemporer, batik Merapi ini lebih realis. Warnanya juga menyimpang jauh dari batik Giriloyo yang sangat taat pada pakem batik Keraton. Motif-motif ini memang baru diciptakan setelah tahun 2010 Merapi meletus.

"Ini Semar Bodronoyo. Kata penciptanya, bedronoyo atau bebodro, artinya bebakal. Yah bisa dibilang merintis. Menggambarkan warga yang merintis kembali kehidupan di Balerante setelah erupsi Merapi. Nah, yang ini motifnya menggambarkan saat erupsi. Ada ornamen wedus gembel (awan panas) dan lahar panas."

Telinga Rei meresapi penjelasan pembatik. Tangannya beberapa kali meraba kain batik. Sedang matanya dengan jeli mengamati warna-warni batik Merapi dengan motif yang besar-besar. Lebih mirip batik pesisir.

Kembali Rei mengingat Giriloyo. Kampung itu dekat pemakaman Raja-Raja Jawa di Imogiri. Rei sendiri tak sempat ke Imogiri. Sebab melayat ke Imogiri harus pakai kemben dan merangkak. Konon, beberapa abdi dalem diutus untuk menjaga makam di Imogiri. Abdi dalem inilah yang mengajarkan kemahiran membatik motif Keraton pada warga Giriloyo.

Popularitas Giriloyo meredup di era Orde Baru. Ketika terjadi gempa Bantul tahun 2006, Giriloyo terdampak cukup parah. Tapi justru karena itulah, relawan dan LSM berbondong-bondong mendampingi warga untuk membangkitkan kembali nama Kampung Batik Giriloyo.

Makanya Pak Cahyo selalu bilang: Di Giriloyo, musibah membawa berkah. Begitu juga di Balerante ini. Setelah letusan Gunung Merapi, warga justru punya energi besar untuk lebih maju. Dan semua harapan itu kembali dituangkan pada sehelai katun mori. Selalu ada doa di setiap bentangan kain batik.

Ah, hidup memang selalu bersisian. Jatuh-bangun, musibah-anugerah, suka-duka. Semua bergantian. Tak ada yang abadi.

Rupanya pembatik di Balerante tak membiarkan Rei pulang begitu saja. Harus pula menjamu dulu tamu-tamunya makan. Rei dan Nenden tak tega menolak. Tiga mangkuk mie instan dihidangkan dengan tempe mendoan. Juga teh manis panas yang berhasil menghalau dingin setelah diguyur hujan. Mas Jenggo tetap tidak makan.

Setelah mie instan habis. Mas Jenggo memberi kode untuk pulang. Sengaja Rei sisakan sedikit teh di gelasnya. Kalau gelasnya sampai kosong, pasti tuan rumah akan menuang lagi teh panas. Makin sulit saja mereka untuk pamit.

Tebakan Rei, begitu mereka pamit, pemilik rumah pasti bilang: "Dihabiskan dulu Mbak minumnya."

Nah, Rei tinggal satu kali teguk saja. Beres dan bisa pulang tanpa menyinggung tuan rumah. Tapi rupanya si polos Nenden tak mengerti. Begitu Mas Jenggo kasih kode untuk pamit, Nenden langsung menghabiskan tehnya. Melihat gelas Nenden kosong, tuan rumah langsung menuang teh.

"Wah, tehnya sudah habis ya Mbak, mari saya tuang lagi. Silahkan diminum, Mbak."

Pias wajah Nenden menatap teh panas yang siap membuat lidahnya melepuh—kalau langsung diminum. Bisa-bisa bibir Nenden jontor seperti Dahan kemarin malam. Otomatis Mas Jenggo harus menunggu teh Nenden agak dingin dan memberi kesempatan Nenden untuk menghabiskan satu gelas teh lagi.

Melihat Nenden putus asa, Rei menutup mulutnya dengan tangan. Sekuat mungkin menyembunyikan tawa. (bersambung)