Chereads / ARETA & RENJANA / Chapter 21 - TASE MALAYA

Chapter 21 - TASE MALAYA

Jakarta,

"Ini kenapa jadinya kayak gini ya, Mbak? Pesanan sebelumnya bagus loh. Saya kan pesan yang kelas butik. Tapi ini mah kayak jahitan konveksi."

Kiriman beberapa baju dari penjahit baru juga sampai dan Rei langsung angkat telepon selular. Tidak ada satu pun dari pesanannya yang dikerjakan dengan baik. Semuanya kebesaran.

"Ini juga, yang batik warna kuning itu loh. Di desain saya kan warna katun tambahannya dusty pink. Kenapa jadi abu-abu tua?"

Rei menatap gaun batik milik Mbak Zia dengan mata nanar. Sayang sekali, kain batik sebagus itu jadi salah jahit. Rei tahu, Mbak Zia beli batik itu langsung di Madura. Bermotif tase malaya dengan ragam hias dan warna khas batik pesisir.

Motif ini berbentuk diagonal besar yang diisi aneka bunga. Bentuk diagonal sendiri menggambarkan ombak di laut lepas. Awalnya motif ini dibuat para istri nelayan yang menanti suaminya pulang melaut. Tase malaya melambangkan keindahan pandai, kerinduan dan penantian.

Suara di ujung telepon memberi pembelaan. Rei tak mau kalah. Masih dengan nada sewot.

"Apa? Bahan yang warnanya kayak gitu gak ada? Kok Mbak gak konfirmasi ke saya? Malah main potong dan jahit warna lain yang gak saya pesan."

Huff...kesabaran Rei hampir habis. Pesanan Mbak Zia meleset jauh dari desain yang dijanjikan Rei. Apalagi ukurannya terlalu besar. Jahitan juga tidak rapi. Ada yang miring pula. Terlihat terburu-buru.

Rei tahu penjahit tidak menggunakan ukuran yang benar, tapi hanya menggunakan pola S, M, L ala konveksi. Otomatis Mbak Zia pun menolak mentah-mentah saat fitting.

Baju-baju itu Rei kembalikan ke penjahit. Rombak total. Tapi ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan karena penjahit tidak mau tanggung jawab dan tetap minta bayaran sesuai kesepakatan. Kadung pusing, Rei turuti saja kemauan penjahit. Setelah ini dia pastikan cari penjahit lain.

Saat proyek Mbak Zia berantakan, ada lagi pesanan dari Mbak Dina, senior Rei di kampus. Sekalian Mbak Dina beli kain di SEMI dan jahit seragam untuk acara pernikahan. Malas kembali ke tukang jahit yang bikin kacau baju Mbak Zia, Rei pergi ke Sunan Giri. Katanya di sana banyak penjahit bagus.

Memang satu los Pasar Sunan Giri isinya penjahit semua. Bingung menentukan pilihan, Rei ikuti ke mana kakinya melangkah. Ya dicoba saja. Siapa tahu bagus.

Tapi ini kesalahan besar. Coba-coba penjahit harusnya bukan untuk pesanan kliennya. Baju pesanan Mbak Dina juga kacau. Kurang panjang. Alasan penjahit, bahannya kurang. Padahal bahannya 4 meter. Dan dengan panjang baju yang tak sesuai, Rei tak dapat sisa bahan.

Prediksi Rei, tukang pola salah membuat pola dan mengambil bahan lagi untuk membuat pola baru. Terlihat saat Rei ambil pesanan. Ada beberapa pola dari bahan pesanan Rei yang dibuang begitu saja. Boros bahan. Bisa ditebak, Mbak Dina kecewa.

Kepala Rei rasanya mau pecah. Ternyata menangani pesanan tidak mudah. Apalagi Rei tidak bisa jahit. Dia hanya mampu membuat desain apik. Pekerjaannya sepenuhnya bergantung pada penjahit.

"Saya ada kenalan penjahit. Kamu mau coba?"

Sore itu di sebuah kedai, Rei mereguk kopi bersama Sin. Kemarin Sin pulang dari Bandung. Dia terlihat jauh lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu.

"Ini nomor teleponnya. Kamu kontak dulu saja. Senior saya waktu di SMA."

Telepon selular Sin diserahkan ke Rei. Ada nama seorang perempuan berikut nomor teleponnya. Tak ada pilihan, Rei mencatat nomor itu. Siapa tahu cocok. Tidak lama kemudian Distya datang dengan wajah ceria.

"Terus light table pesananku dan Rissa sudah jadi?"

Tingkah Sin berubah aneh. Sedikit kikuk.

"Hmmm....sudah sih, tapi belum saya bayar. Maaf ya Rei, saya lagi tidak punya uang. Tapi sebentar lagi ada. Langsung saya bayar begitu saya punya uang."

Rei semakin curiga. Hanya dua light table tapi Sin tidak bisa bayar? Sin kan anak orang kaya. Kalaupun memang tidak ada uang, dia kan bisa bilang. Biar langsung Rei dan Rissa yang bayar.

"Kok bisa sampai gak terbayar. Memangnya berapa?"

"Yaaa..... sampai puluhan juta, hampir seratus malah."

"What? Dua light table doang sampai puluhan juta?"

Sin menggigit bibirnya sendiri. "Saya pesan 50 set."

Mendengar Sin, Distya yang sedang asik minum kopi langsung tersedak. Rei menepuk keningnya.

"50 light table buat apa, Sin?"

"Kan bisa kita dijual."

"Aku cuma bilang, coba bikin dua dulu buat aku dan Rissa. Kalau oke, baru kita bisa bikin banyak dan pasarkan ke desainer atau sekolah mode."

"Tapi kalau cuma dua biaya produksinya jauh lebih mahal Rei. Mending bikin banyak sekalian."

"Ya terus light table sebanyak itu mau buat apa?"

"Ya kita jual lah. Ya kalau laku Alhamdulillah....kalau enggak ya paling gigit jari hahaha....ayolah, untung dan rugi dalam bisnis kan biasa. Oh ya Rei, satu lagi. Saya dapat beasiswa ikut short course movie maker di London selama dua bulan. Beberapa minggu lagi saya berangkat. Mungkin sementara saya tidak bisa kelola SEMI."

Di depan Sin, Rei hanya bisa menarik napas berkali-kali. Sementara Distya memilih bungkam. Tak banyak yang dibahas sore itu. Rei dan Distya pulang lebih dulu. Naik angkot ke terminal.

"Aku tuh cuma bilang ke Sin untuk pesan 2 light table dan dia pesan 50. Sekarang bayarnya gimana? Puluhan juta itu banyak. Coba kalau disuntik ke SEMI, mungkin keuangan SEMI bisa lebih stabil. Memang Dia gak minta buat bantu bayar, tapi aku kan juga merasa jadi beban, karena ide bikin dan jual light table itu dari aku. Huff...kayaknya kalau light table sudah dibayar, aku harus jualan juga. Biar barangnya gak numpuk dan cepat balik modal."

Dalam angkot yang hobi berhenti mendadak, Rei malah tak bisa berhenti bicara. Distya setia mendengar sambil sesekali mengiyakan.

"Iya Mbak, kasihan Mas Sin. Apalagi kan Mbak Rana tarik modal yang dia kasih ke SEMI. Nah, karena modal Mbak Rana sudah dipakai, jadi yang dikasih ke Mbak Rana ya uangnya Mas Sin."

Rei terdiam. Pasang telinga baik-baik.

"Tarik modal? Ini maksudnya apa ya?"

"Ya kan waktu pertama kali mendirikan SEMI, kita semua janji mau kasih modal sesuai kemampuan masing-masing. Paling banyak Mas Sin. Aku bilang cuma bisa kasih tenaga karena aku kan masih kuliah."

"Iya. Modal Sin paling besar, kedua Rana dan ketiga aku. Seingatku, Ben dan Restu belum sempat setor modal."

"Nah itu, jadi karena Ben ada keperluan, aku sempat dengar, Ben minta Mbak Rana untuk tarik modal di SEMI. Istilahnya dipinjam dulu. Toh SEMI juga lagi vakum kan. Lebih baik modal itu dipakai untuk usaha yang lain. Akhirnya Mbak Rana ambil uangnya dari sisa modal Mas Sin yang belum terpakai. Karena modal Mbak Rei, Mbak Rana dan sebagian modal Mas Sin kan sudah dipakai buat belanja dan operasional."

Kepala Rei terasa berputar. Apa-apaan ini? Ada penarikan modal di usaha bersama dan tidak dibicarakan bersama-sama. Rana? Kenapa orang seprofesional dan beretika seperti Rana bisa melakukan ini? Tidak. Tidak mungkin Rana. Rei kenal baik dengan Rana. Seperti yang Distya bilang, Rana hanya disuruh Ben.

Tak mungkin Rei marah pada Rana. Sebelum usaha ini dirintis, Rana adalah sahabatnya. Dulu, sekarang dan selamanya. Usaha ini tidak akan bisa merusak rasa sayangnya pada Rana. Meski yang terjadi sungguh menusuk hatinya.

Dan apa yang dibilang Ben? SEMI vakum? Bukannya mereka yang pindah kota dan jarang berkabar. SEMI masih berjalan. Pesanan dan penjualan tetap berjalan meski tak sesuai rencana besar yang di awal direka penuh semangat 45.

Bila penjahit ngeyel, siapa yang menanggung biaya perbaikan jahitan? Rei. Operasional dan ongkos kirim barang, siapa yang tanggung? Rei juga. Ia lakukan ini untuk mengurangi beban pengeluaran SEMI yang baru dirintis. Tapi lihatlah sekarang? Argh...Rei geram tapi tak tahu harus melakukan apa.

Rei tahu pengorbanan Sin juga tak kalah besarnya. Beberapa kali Sin harus membayar dulu pesanan batik. Modalnya paling besar. Dan sekarang Sin harus pula cari puluhan juta untuk membayar 50 light table. Apa yang sebenarnya terjadi? Rei tak lagi mengerti.

"Halo? Sin?"

Suara di ujung telepon selular menyahut. Rei baru masuk kamar, taruh tas, ambil telepon selular dan langsung mencari nomor telepon Sin.

"Sin, Rana tarik modalnya dari SEMI? Kamu kenapa gak bilang?"

Suara di ujung telepon membela diri.

"Ya kan dari modal yang saya janjikan, baru saya kasih setengah. Terus Rana minta tarik modalnya dulu untuk usaha yang lain. Modalnya Rana kan sudah habis untuk operasional, jadi ya kasih sisa modal saya yang belum saya setor. Ya anggap saja saya sudah menyetor semua modal yang saya janjikan. Jadi sekarang di SEMI hanya ada modal saya dan Kamu."

Rei menahan sesak mendengar kata-kata Sin. Berusaha tetap waras dan tidak emosional.

"Bukan hanya soal uang Sin. Etika usahanya gak begitu. Usaha ini kan dibangun bersama. Besaran modal ditentukan bersama. Bahkan sampai ada Aktanya loh. Meski yang tercantum di Akta hanya nama aku dan Kamu, tapi usaha ini milik kita berenam. Harusnya urusan duit tuh semuanya tahu. Lagipula namaku ada di Akta loh Sin. Di SEMI, aku rekan kerja Kamu. Aku punya hak untuk tahu dan didengar. Untuk urusan suntikan atau penarikan modal, Kamu harusnya bicara dulu ke aku. Walaupun ya itu uang Kamu."

Telepon selular Rei matikan setelah Sin minta maaf. Kepala Rei berdenyut. Rana dan Ben bahkan tidak bicara apapun. Sejak kapan Rana lupa untuk terbuka dan bicara hal sepenting ini?

Ada etika dalam persahabatan, tapi ada etika juga dalam bisnis. Rei tidak sanggup untuk marah. Tapi hatinya benar-benar terluka. Firasatnya berkata, musim semi sebentar lagi berakhir dan berganti musim gugur.