Jakarta,
Pagi di kastil besar tempat Sin menyendiri. Rei dan Distya bersiap-siap. Mobil Sin sedang di bengkel. Terpaksa mereka jalan kaki sampai ke jalan raya.
Hati Rei riang menyambut hari. Pikirnya, ini untuk pertama kalinya mereka bisa naik angkutan kota bersama. Selama di Jakarta, Rei tahu kalau Sin tak mau naik transportasi publik. Nah sekarang mobilnya lagi di bengkel. Sin tidak punya pilihan. Dia pasti mau naik bus atau angkot.
Tapi yang terjadi di luar dugaan Rei. Rekan kerjanya itu malah memberhentikan taksi. Bikin Rei bengong karena rencananya buyar.
"Kok bengong? Ayo naik." Sin memerintah
"Kita gak naik bus atau angkot Sin? Kupikir kita mau naik transportasi publik."
"Ini kan transportasi publik, bukan pribadi. Naik bus lama Rei. Habis waktu di jalan. Cepat naik."
Pelan suara Rei berbisik di telinga Distya. "Lihat saja, setelah mobilnya keluar dari bengkel, ban mobilnya akan aku bikin kempes."
Rei tak punya pilihan. Terpaksa mengalah. Sepanjang jalan Rei hanya cemberut. Susah sekali mengajak kawan barunya lepas dari gaya hidup wah. Rei malas terus-menerus menggunakan fasilitas yang dimiliki Sin. Nanti dikira keluarga Sin, Rei memanfaatkan Sin. Ah, Rei tidak boleh berpikir begitu.
Taksi berhenti di bengkel yang punya ruang tunggu berpendingin. Cuma menuggu sebentar, mobil Sin sudah beres. Siap meluncur ke tukang jahit .
Sebenarnya ini toko batik milik teman Ibunya Sin. Tapi di sini juga menyediakan penjahit khusus batik. Karena Sin anak teman pemiliknya, Bu Yayuk (pemilik toko batik) mau menjahit pesanan Sin meskipun batiknya tidak berasal dari tokonya.
Lagipula Bu Yayuk tidak suka merepotkan. Tidak perlu ukur di toko. Cukup membawa contoh baju yang paling pas dan nyaman di badan. Jahitannya pun rapi.
Tapi ada masalah. Tiba-tiba penjahit Bu Yayuk ada yang sakit. Pesanan Mbak Zia tidak bisa diselesaikan tepat waktu. Bu Yayuk hanya menyanggupi membuat kemeja pria. Apa mau dikata, untuk baju seragam dioper ke pembatik lain.
Untungnya Distya dapat penjahit batik yang lumayan bagus dan terjangkau. Tapi jauhnya itu loh, bikin kapok. Penjahitnya ada di Bekasi. Yah, karena kepepet, akhirnya dicoba juga menjahit di tempat Mbak Yana di Bekasi.
Rencananya hari ini semua pesanan akan diambil. Mobil diarahkan ke tempat Bu Yayuk. Tak ada komentar miring soal kemeja yang dibuat penjahit Bu Yayuk. Rei suka sekali. Rei yakin Mbak Zia pasti puas.
Baju yang dibuat di Mbak Yana juga bagus. Jahitannya rapi. Tinggal dijajal saja langsung oleh keluarga Mbak Zia. Modelnya sendiri dari Rei. Sedikit-sedikit Rei bisa gambar. Bahkan dulu ibunya menyarankan Rei masuk sekolah mode saja. Tapi Rei menolak dan ingin belajar di PTN.
Sekarang semua pesanan sudah beres. Tinggal dibawa balik ke Jakarta. Perjalanan cukup melelahkan biarpun pakai mobil. Apalagi sekarang harus juga meluncur ke Pamulang. Sebelumnya mesti jemput Restu dulu. Rana tidak bisa ikut. Katanya ada jadwal mengajar. Sedang Ben sepertinya sedang galau.
Beberapa waktu lalu, putra mahkota itu menangis di hadapan Rei. Iya, lelaki yang selalu merasa dirinya pangeran dan sedikit jumawa itu menitikkan air matanya.
Pasalnya Ben tak bisa lagi mengelak. Rei tahu kalau Ben sebenarnya jatuh hati pada Rana. Itu alasan Ben memaksa ikut ke Banjarnegara. Itu pula alasannya dia sok akrab dengan orang tua dan dan Bude-nya Rana.
Soal ini, Restu ternyata sudah tahu lebih dulu. Sebagai anak dari orang tua bersuku Sunda dan Jawa, Restu mengingatkan ini tidak akan mudah. Ben orang Sunda dan Rana gadis Jawa.
Ah, hari begini siapa peduli dengan suku? Tapi anak-anak tidak lahir dari bambu. Ada orang tua yang mesti dipatuhi. Orang tua yang setia memegang tradisi dan petuah nenek moyang.
"Korban Perang Bubat bukan hanya Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka. Maha Patih Gajah Mada telah membuat garis merah antara Sunda dan Jawa. Entah sekuat apa cinta bisa menghancurkan tembok yang dibangun atas dasar budaya dan legenda leluhur?"
Meski jarang muncul dan bicara. Kelihatan sekali, Restu ini orang yang cerdas dan cukup bijak. Dia hanya tak suka tampil dan menarik perhatian. Tapi dibanding Ben, tingkat kedewasaan Restu berada di atas angin. Meskipun usia mereka tak jauh beda.
Sekarang kepala Ben lagi mumet. Berpikir cara terbaik menaklukkan hati keluarga Rana. Inginnya, sebelum tahun ini ditutup, dirinya dan Rana sudah bisa bersanding di pelaminan. Duh gundah hati Ben. Apalagi belum tentu juga Rana mau menerima lamaran lelaki yang usianya lebih muda 4 tahun.
"Jadi kita sekarang ke Pamulang?"
Tanya Distya memecah pikiran Rei tentang nasib Ben dan Rana. Semoga kedua sahabatnya itu tak kena kutukan Perang Bubat. Sin yang asik menyetir tidak menoleh, tapi tetap menjawab.
"Iya, Saya ingin Kalian melihat pewarnaan alami di Pamulang. Saya juga belum pernah ke sana sih. Baru lihat blog mereka saja. Tapi saya sudah hubungi Ibu Ira. Mungkin nanti kita bisa belajar banyak."
"Kalau yang Kalian datangi waktu di dekat rumah Rana tidak pakai pewarna alami ya?" Restu menyambung
"Tidak." Cepat Rei menyahut. "Pakai pewarna sintetis dan itu dicucinya di kali. Kan kalinya bisa tercemar."
"Ah, aku penasaran. Sebenarnya waktu itu aku mau ikut. Tapi aku ada kuliah."
Sin bersandar sebentar. Setir lepas dari tangannya. Lampu merah. Ada sedikit jeda untuk menengok ke kursi tengah. Tempat Rei dan Distya duduk.
"Untung Kamu tidak ikut. Harus berkali-kali naik angkutan umum. Kereta, bus antar kota dan becak. Mana tunggu busnya lama banget, sampai duduk di pinggir pintu termina. Mana barang bawaannya banyak lagi."
Kening Distya berkerut. Matanya melirik ke arah Rei yang bersandar ke dekat kaca. Seperti menyelidik.
"Aku tahu daerah itu Mas Sin. Itu kan dekat kampungku. Kenapa kalian harus naik angkutan berkali-kali. Bukannya dari stasiun bisa naik taksi, Mbak Rei?"
Ditanya Distya, ekspresi Rei jadi lucu. Antara mau tertawa tapi juga takut.
"Sebenarnya aku dan Dara kalau ke rumah Rana memang naik taksi dari Stasiun Purwokerto."
Restu yang tidak punya beban berhadapan dengan setir bisa bebas melongok ke kursi tengah.
"Terus kok pas sama Mas Sin gak naik taksi? Biar hemat?"
Posisi duduk Rei jadi tegak. "Hmmm...habis kayaknya Sin dan Ben tidak pernah naik angkutan umum. Jadi aku dan Rana sepakat ingin mengerjai mereka. Ya kami buat saja seolah-olah tak ada transportasi yang langsung sampai ke rumah Rana. Biar mereka bisa merasakan satu bus dengan ayam dan naik becak dempet-dempetan."
"Waduh...." Posisi duduk Restu ikut tegak. Sebagai orang yang disebelah Sin, dia tahu pasti perubahan air muka Sin.
Distya yang melihat wajah Sin cemberut di kaca, pura-pura tak lihat dan memalingkan wajah ke jendela.
Beberapa menit berlalu, baru Sin terdengar lagi suaranya.
"Rei, Kamu bukan menyusahkan saya dan Ben. Tapi tukang becak. Saya kasihan sama tukang becaknya. Harus mengangkut saya dan Ben sekaligus. Apalagi saya bawa peralatan fotografi. Pasti berat sekali. Terus Kamu masih saja menawar tanpa perasaan. Gak manusiawi. Kamu tidak kasihan?"
Rei diam saja mendengar Sin bicara dengan nada sedikit tinggi. Rei tahu, ini bukan soal tukang becak. Sin pasti merasa kesal karena sudah dikerjai Rei dan Rana. Memang begitu Sin, kalau sudah terjepit, mudah menyalahkan Rei atau Distya.
Sebagai lelaki, gengsinya gampang tersentil. Semua yang ada di mobil tahu, Sin berusaha mengatur kata-katanya biar tidak terkesan emosi.
Sisa dari perjalanan menuju Pamulang hanya diisi dengan diam. Sempat tersasar, akhirnya mereka bisa menemukan rumah yang lebih mirip dengan hutan kota. Seorang perempuan paruh baya keluar dan menyambut.
Ternyata ada tamu juga. Seorang dosen yang sedang mendalami teknik pewarnaan. Dosen itu membawa serat dari pedalaman hutan Kalimantan. Katanya serat yang ini lebih kuat. Setelah dipintal akan jadi benang untuk menenun. Katanya lagi, masyarakat Dayak menggunakan serat itu untuk membuat pakaian. Serat itu sendiri belum diwarnai. Baru dicuci dan sedang dijemur.
Ibu Ira, pemilik rumah setengah hutan kota, tak sungkan mengajarkan teknik pewarnaan dengan bahan-bahan alami. Tapi ya tidak bisa sehari jadi. Kalau mau, Ibu Ira bersedia memberi kursus selama dua minggu. Sayang Sin harus kembali ke Bandung untuk melanjutkan kuliah pasca sarjananya.
"Ada banyak inspirasi dari alam. Lihat daun-daun yang jatuh itu. Dari sanalah saya membuat motif batik. Coba-coba saya susun dan dapatlah motif batik baru yang lebih sederhana. Kadang saya coba satu per satu daun dan bunga yang ada di sekitar sini. Mau tahu saja, ada warnanya tidak? Bisa tidak warnanya digunakan untuk mencelup kain? Yang penting tidak pernah bosan untuk mencoba. Untuk berinovasi."
Pulang dari rumah Ibu Ira, rasanya kepala jadi penuh. Ada banyak ide yang keluar dari jiwa penuh harap. Mungkin tak banyak yang kenal dengan jerih payah Ibu Ira menanam tumbuhan pewarna alami. Tak banyak yang tahu kegigihan beliau mengajak perempuan di sekitar rumahnya belajar membatik dan mencelup kain.
Tapi itulah yang namanya passion. Renjana. Hasrat kuat untuk melakukan sesuatu karena memang cinta, bukan untuk mendulang pamrih.
Dan semangat itu juga yang merasuki Sukma Rei. Tanpa merasa malu, kain-kain yang kemarin dibeli dari pembatik di daerah dijajakan di kantornya. Persis seperti bakulan batik di Pasar Klewer. Ah, pasar legendaris itu. Ingin sekali Rei main di sana.
Usaha jualan batik di kantor rupanya lumayan juga. Apalagi batik pesanan Mbak Sani sudah jadi. Batik berwarna putih-biru dengan ornamen bunga dan Noni Belanda sedang dansa itu 90% mirip dengan yang ada di buku.
Putihnya bersih sekali. Biasanya ada batik yang sedikit butek karena lilin malam retak dan warna merembes. Jadi susah sekali mendapatkan batik yang warnanya putih bersih. Kelihatannya pembatik di Marunda itu menggunakan lilin malam terbaik yang anti retak dan punya daya rekat kuat ke kain. Wajar jika tidak ada warna yang rembes.
Melihat batiknya melampaui ekspektasi, Mbak Sani senang sekali. Ingin lagi pesan batik klasik yang diproduksi ulang. Sementara Mbak Sani masih melihat-lihat gambar batik di buku milik Rei.
Tidak cuma Mbak Sani, Mbak Zia juga puas dengan seragam keluarga buat lebaran. Berita dagangan Rei pun menyebar ke ruangan lagi. Ada beberapa yang datang untuk lihat dan beli batik. Laris manis.
Salah satu senior Rei, Mbak Nina, jatuh cinta dengan batik tulis motif Pisan Bali yang dipesan di Bayat. Batik ini memang lebih mahal, karena termasuk batik klasik yang sulit dan mulai jarang diproduksi.
"Ada yang bilang ini motif Pisang Bali karena motifnya seperti pisang. Tapi ada yang bilang juga, yang benar itu namanya Pisan Bali. Artinya kembali lagi. Maksudnya supaya orang yang kita sayang kembali lagi. Biasanya diberikan seseorang untuk kekasihnya, Mbak. Biar jangan pergi ke lain hati."
"Cantik ya, Rei. Tapi harganya mahal. Aku gak tega buat tawar. Aku tahu ini bikinnya susah. Hmmm... Gak boleh dikredit?" Salah satu mata Mbak Nina dikedip.
Bagi Rei yang percaya semua ada jodohnya, soal harga dan bayar bukanlah masalah. Melihat ada orang yang kadung jatuh cinta sama kain batik tertentu, ya mungkin kain batik itu memang jodohnya. Barangkali, kain batik tulis motif Pisan Bali ini ya jodohnya Mbak Nina.
"Boleh buat Mbak Nina. Diambil saja Mbak, batiknya. Nanti terserah Mbak Nina bayarnya mau berapa tiap bulan. Ya kalau orang yang mengerti batik, aku sih gak was-was. Pasti bisa menghargai jerih payah para pembatik."
"Insya Allah Rei, aku akan bayar tepat waktu setiap bulan."
Karya pembatik di Bayat, Klaten, pindah ke tangan Mbak Nina. Seperti yang selalu Rei yakini, jiwa memilih benda. Kain-kain kembali dilipat. Nanti pada masanya, setiap helai kain ini akan menempuh nasibnya sendiri (bersambung)...