Jakarta,
Belum terlalu ramai. Empat sampai lima bule menyantap kopi pagi dan sarapan mereka. Tidak, mereka tidak bergerombol. Mereka duduk sendiri-sendiri. Di kursi yang terpisah. Kemungkinan tidak saling kenal.
Satu teko teh chamomile disajikan lengkap dengan cangkir berwarna putih. Pelayan perempuan berbaju hitam. Seragam khas kedai kopi ini—yang juga didominasi warna hitam.
"Hai....maaf saya terlambat....apa kabar wahai Kamu?"
Suara lelaki itu membuat kepala Rei mendongak.
"Kamu lagi apa sih serius banget?"
Tak bisa Rei tahan rasa buncah di dada. Senang sekali hatinya bisa bertemu lelaki itu.
"Aku baiiikk....aku lagi bikin mood board, tugas dari guru fashion illustrationku. Kamu....ah, Kamu mah tidak usah ditanya. Aku tahu Kamu pasti lagi bahagia. Bibirmu senyum terus dan hmmm....hai lelaki, Kamu pakai baju warna pink....Kamu sudah sukses sih sekarang. Wajarlah kalau senang terus," ujar Rei meledek.
"Hahaha....Kamu mau minum kopi apa? Makan apa? Saya racikan kopi ya?"
"Kamu kan Bos, masa masih bikin kopi?"
"Saya itu barista. Ya tetap barista. Di sini saya hanya menejer operasional. Bukan pemilik. Serius nih Kamu mau saya bikinin kopi apa? Ah, saya tahu....sebentar, Kamu tunggu di sini yaaa...."
Belum juga Rei sempat menyahut. Aksara sudah menghilang ke ruangan di belakang meja kasir. Sepertinya dapur. Tak jelas benar.
Kedai kopi ini terbilang besar. Ada dua lantai dan terletak di salah satu pusat perbelanjaan bergengsi Ibukota. Persis di bagian depan terpampang nama kedai kopi ini: Coffee Dewevrei.
Di sekitar pusat perbelanjaan ini, gedung-gedung pencakar langit dihuni ratusan ribu pekerja dan keluarga. Ya, gedung-gedung itu ada yang fungsinya sebagai kantor, ada juga yang jadi apartemen atau kos karyawan kelas atas. Mereka yang dibidik jadi pelanggan kedai kopi ini.
Lihat saja, jam 09.00 pagi dan hampir semua yang sarapan di kedai kopi ini adalah ekspatriat. Mereka tampak senang menikmati Coffee morning sambil mengobrol dengan pelayan kedai kopi yang luwes dan cuek berbahasa Inggris—meski kosakatanya banyak yang salah.
Pelayan lain datang ke meja dan kursi tempat Rei duduk.
"Permisi Mbak, ini nachos dan cheesecake-nya"
Air muka Rei bingung. "Saya tidak pesan nachos dan cheesecake."
Pelayan tetap tersenyum ramah. "Saya disuruh Pak Aksara, Mbak."
Aksara datang kemudian dengan satu gelas kecil berisi cairan hitam kental.
"Nih, Kamu harus coba. Saya sendiri yang meracik. Campuran kopi Bali Kintamani, Toraja dan Papua Wamena. Saya jamin tidak ada rasa pahit sama sekali."
Satu tegukan kopi dari 3 daerah mengalir di tenggorokan Rei. Sejak terasa di lidah, sama sekali tak ada rasa pahit. Malah kopi ini cenderung manis.
"Kamu tambahkan gula ya?"
Aksara menyahut ketus. "Enak saja. Sejak kapan saya bikin espresso pakai gula?"
"Mana ada kopi asli rasanya manis?"
Aksara tersenyum puas. Seperti memenangkan pertarungan.
"Itulah istimewanya. Kalau sendiri terasa pahit, bertiga belum tentu pahit juga. Buktinya bertiga jadi terasa manis...."
Hampir Rei memukul lengan Aksara. Tapi keburu lelaki itu mengelak.
"Tuh kan...Kamu harusnya jadi filsuf saja. Barista kok kerjanya berfilosofi terus. Kalau berdua masih manis gak? Atau tambah pahit?"
"Hahahaha...."
Aksara terbahak-bahak. Menarik perhatian semua pegawai kedai kopi. Pandangan mata mereka mengarah ke Rei. Seolah mereka semua bertanya: cewek ini siapanya Pak Aksara sih?
Tiba-tiba Rei terdiam. Kedua telapak tangan menopang dagunya. Matanya menatap tajam mata Aksara.
"Kamu bahagia?"
Aksara berhenti terbahak. Membenarkan letak kacamatanya. Selalu begitu tiap kali dia butuh jeda untuk berpikir atau mengatur kata-katanya.
"Saya belajar banyak di sini. Ini tidak seperti kedai kopi saya dulu. Kedai ini milik seorang pengusaha ternama dan berada di bawah naungan group yang terkenal di bidang food & beverage."
"Kamu gak jawab pertanyaan aku loh. Kamu bahagia?"
Aksara kembali terbahak. "Hahaha....saya dapatkan yang saya mau. Pengalaman, bekerja sesuai passion, jaringan. Kamu lihat orang-orang yang lewat di depan kedai kopi ini? Ini pusat perbelanjaan kelas atas. Toko-toko di lantai dasar, semuanya brand ternama. Harganya puluhan sampai ratusan juta. Setiap hari saya duduk di sini dan melihat ada begitu banyak orang berjalan dengan gaya modis dan selera fashion tinggi. Kebanyakan menggunakan barang bermerek. Ya kalau mau lihat tren yang sedang berkembang, lihat saja apa yang orang-orang itu pakai."
Aksara berhenti sebentar. Seorang lelaki berparas Indo-China memanggil.
"Itu atasan saya, sebentar ya Rei."
Aksara beranjak dan meninggalkan Rei sendirian. Dalam diam, Rei melihat orang-orang yang lalu-lalang. Benar, hampir semuanya menggunakan barang bermerek. Hampir semuanya mengikuti tren tahun ini. Satu garis-garis, semuanya garis-garis. Cuma beda model saja.
Ya, seperti Rei tahu. Tren tidak datang sendiri. Tren ditentukan segerombolan orang di benua lain. Tapi pilihan segerombolan orang itu juga tidak akan populer jika tidak diterima oleh pasar.
Ada yang namanya fashion inovator. mereka bisa dibilang penghubung awal dari tren atau look yang baru. Mereka bisa jadi bukan orang-orang yang terpengaruh secara langsung dengan tren yang baru. M1ereka membuat orang-orang di sekitar menjadi sadar dan terpengaruh dengan tren yang baru. Bisa jadi mereka ini adalah fashion blogger atau selebriti Instagram.
Tapi, yang sesungguhnya melegitimasi tren terbaru adalah early adopter. Mereka mempengaruhi lingkungan sosial dan berbagai komunitas. Mereka langsung mengenakan tren terbaru setelah mengikuti atau memperhatikan ulasan yang dibuat oleh pada Fashion Innovators. Early Adopters memiliki peranan penting dalam perkembangan tren.
Pengikut setia early adopter adalah early majority. Early Majority biasanya akan mengenakan apa yang telah dikenakan oleh Early Adopters. Mereka dipengaruhi oleh dunia entertainment dan media.
Tidak semua orang punya kemampuan mengikuti tren terbaru. Ada saja orang-orang yang akan selalu terlambat merespon perkembangan fashion karena ada kebutuhan hidup yang jauh lebih penting. Merekalah yang disebut late majority.
Ada juga sekelompok orang yang eksklusif dan melihat pakaian sesuai dengan fungsinya. Dunia fashion mengenal mereka dengan sebutan laggards. Mereka lebih memilih mengenakan sesuatu yang membuat mereka merasa nyaman dan tidak peduli dengan perkembangan tren.
Berbeda dengan fashion tren yang selalu berubah dan bisa ditiru banyak orang, style melekat pada pribadi seseorang. Style adalah kesan personal yang ingin ditampilkan seseorang dan menggambarkan jati diri orang itu. Gak heran ada petuah bijak dari sang maestro Coco Chanel:
"Fashion change, but style endures."
Ada beragam style yang biasa dipilih seseorang. Bisa eccentric, romantic, classy, sophisticated, arty, sporty atau ultrasexy. Apapun style yang dipilih, style akan jadi semacam personal branding yang membuat seseorang mudah diingat.
"Hoi! Baru ditinggal sebentar sudah bengong. Eh, tadi Kamu lagi bikin apa?"
Kembali Rei menatap layar laptopnya. "Mood board."
"Mood...apa?"
"Fashion mood board. Jadi setiap desainer sebelum mengeluarkan satu rancangan terbaru di setiap musim, biasanya bikin mood board dulu. Ya semacam kertas ide gitu kali ya. Isinya foto dan gambar yang bisa jadi inspirasi, model pakaian desainer ternama yang bisa dijadikan acuan atau mungkin sosok perempuan/lelaki yang mencerminkan karakter calon pemakai koleksi pakaian itu."
Kening Aksara berkerut. Kembali ia membenarkan letak kacamatanya.
"Biasanya ada empat musim kan ya? Spring, summer, autumn dan winter."
"Kalau di Eropa sih iya. Biasanya dua koleksi sih. Spring/summer dan autumn/winter. Cuma kalau di Indonesia, kayaknya yang berlaku koleksi lebaran dan natalan hehehe....kalau bukan artis, sosialita, pejabat atau pekerja kantoran yang butuh gaya, orang Indonesia biasanya beli baju pas hari raya doang...."
Aksara terbahak lagi. Satu orang lelaki menghampiri Aksara. Kembali barista itu pamit menyambut pelanggan Kedai Kopi Coffee Dewevrei.
Fokus Rei tertuju lagi pada gambar-gambar yang dikumpulkan dari internet. Membuat satu koleksi dengan minimal lima desain pakaian menjadi tugas akhir dari kursus selama 1 bulan yang Rei ikuti. Koleksi ini harus dipresentasikan di depan juri.
Sesuai misinya, Rei mau angkat batik dan cerita tradisional. Tema koleksi Rei untuk presentasi nanti diberi nama ARIMBI. Terinspirasi dari nama perempuan yang melahirkan Gatot Kaca.
Konon, Arimbi adalah raksasa yang tinggal di goa. Dalam kisah pewayangan, tempat tinggal Arimbi ini dinamakan Pringgodani. Arimbi jatuh cinta pada Bima, anggota Pandawa Lima yang paling kuat. Singkat cerita, Bima membunuh kakaknya Arimbi yang bernama Arumba. Lalu Bima menikahi Arimbi. Dari pernikahan ini lahirlah Gatot Kaca yang kuat dan sakti—karena dipercaya keturunan dewa, manusia dan raksasa.
Sesuai dengan tema, warna yang dipilih dominan coklat dan abu-abu yang menggambarkan warna goa. Juga ada sentuhan hijau yang menggambarkan hutan tempat Bima dan Arimbi bertemu. Sedikit kemerahan melambangkan kawah candradimuka, tempat Gatot Kaca "dididik" saat kecil.
Sedang untuk model dan potongan terinspirasi dari bentuk stalagtit dan stalakmit yang tidak beraturan tapi tetap indah dilihat. Untuk tekstil digunakan batik motif pringgodani yang menggambarkan kediaman Arimbi dan Gatot Kaca. Siang ini batik Pringgodani itu akan diambil di rumah Sin.
"Aksara, maafkan, aku masih harus mencari bahan untuk presentasiku nanti."
Rei pamit saat Aksara kembali lagi ke mejanya.
"Oh, tidak apa-apa. Terima kasih Rei sudah mampir ke sini."
Undangan berbentuk segiempat yang baru dikeluarkan dari tas Rei diberikan pada Aksara. Barista itu menatap sahabat perempuannya penuh curiga. Setelah undangan dibuka, Aksara tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Rana mau nikah? Wah kok gak cerita-cerita? Tahu-tahu langsung sebar undangan.
Rei tertawa hingga matanya tampak sipit. "Hahaha.....panjang ceritanya. Nanti kalau kita ketemu lagi aku ceritakan. Itupun kalau Kamu masih penasaran."
Kedai Kopi Coffee Dewevrei semakin ramai menjelang siang. Beranjak ke rumah Sin. Kebetulan Sin lagi di Jakarta. Sempat Rei kaget melihat rumah yang biasanya sepi seperti kastil. Sekarang tampak ramai beberapa pekerja yang memasang tenda.
Cepat-cepat Rei masuk ke ruang TV. Ada perempuan cantik berhijab duduk di sofa. Oh, ternyata sepupunya Sin. Sore nanti ada aqiqah anak Mbak Kania. Berita soal kelahiran anak Mbak Kania memang sudah didengar Rei, tapi dia tidak tahu hari itu akan ada aqiqah.
Sepupunya Sin ternyata ramah dan sangat ingin tahu. Terutama soal hubungan Rei dan Sin. Persis saat Rei diberondong pertanyaan, Sin muncul dan memanggil.
"Rei sini!" Ujar Sin di depan pintu kamar penyimpanan batik.
Rei pamit pada sepupunya Sin dan menghampiri pintu kamar penyimpanan batik. Hampir saja tangannya memutar gaganh pintu. Tapi keburu dipegang Sin lebih dulu.
"Jangan kaget ya."
Perasaan Rei jadi tidak enak. "Kenapa?"
Sin tersenyum usil. "Pokoknya jangan kaget."
Rei kesal sekali. Sin malah hampir tertawa. Dari sofa, sepupunya Sin mengintip sambil senyum-senyum. Pintu akhirnya dibuka.
"Kejutaaannn....," teriak Sin
Ruangan yang sebulan lalu semrawut kini rapi sekali. Batik disusun sesuai warna, corak dan harga. Barang-barang juga tidak berserakan.
"Wiiih.....rapi...." Mata Rei melirik ke Sin
Tawa Sin terdengar tak terlalu besar. "Kan Kamu yang minta bersihkan kamar ini."
Rei ingat, waktu itu seusai fashion show, ketika mereka makan siang, Rei pernah mengajak merapikan kamar ini karena Bapaknya Sin ingin kamar ini rapi. Tapi kan waktu Sin diam saja. Kira Rei, Sin tidak peduli. Ternyata Sin...
"Siapa yang merapikan?"
"Ya sayalah...."
"Sendiri saja?"
"Gak mungkin. Banyak yang harus diangkat. Saya minta bantuan sepupu-sepupu saya."
Rei tak habis pikir, Sin seolah cuek dengan ajakan Rei untuk merapikan ruangan ini, tapi dia malah merapikan ruangan ini sendiri dan menjadikannya kejutan. Sejenak Rei terpaku. Sin lelaki yang penuh misteri.
"Saya kemarin baru beli blazer batik. Jarang kan ada blazer batik untuk lelaki. Coba deh Kamu lihat. Cocok gak sama saya?"
Mereka masuk ke dalam ruangan. Pintu tak tertutup, tapi juga tidak terbuka lebar. Satu blazer batik diambil Sin dari lemari. Langsung dikenakan melapisi kaos berwarna putih.
"Bagus gak?"
"Jahitannya kurang rapi. Ini, ada kerutan di bagian lengan."
Tangan Rei menyentuh bagian lengan atas blazer yang Sin kenakan. Otomatis sedikit menyentuh bahu Sin. Hampir Rei hilang akal. Pasalnya Sin berdiri persis di depan Rei. Bahkan Rei bisa merasakan hangat napas dan degup jantung Sin. Kini Rei mendengar debar jantungnya sendiri.
Reflek matanya mengarah pada pintu yang terbuka sedikit. Andai ada yang melihat dari luar, Rei takut ada fitnah dan salah sangka.
Mata Sin mengikuti arah mata Rei. Langkahnya berbalik menuju pintu. Di luar dugaan Rei, Sin malah menutup pintu. Sekarang mereka hanya berdua di kamar penyimpanan batik yang lampunya tak terlalu terang.
Sejenak Rei merasa kosong. Bingung. Ling-lung. Untung dia ingat batik Pringgodani yang dicarinya.
"Mmmm....Sin, batik Pringgodaninya mana?"
Sin baru ingat kalau Rei minta dicarikan batik motif pringgodani. Satu kain batik berwarna coklat diberikan pada Rei.
"Aku langsung pulang ya Sin. Masih harus mengerjakan tugas nih. Eh, aku bawa hadiah buat anak pertamanya Mbak Kania. Kamu tolong kasih ya."
Sin menggeleng. "Gak mau ah, Kamu kasih saja sendiri."
"Siiiinnnn...." Rei memelas.
"Saya tidak mau Rei. Kamu kan kenal Mbak Kania, ya Kamu kasih sendiri. Ayo saya antar ke kamar Mbak Kania."
Rei menyerah. Mereka meninggalkan kamar batik dan naik ke lantai dua. Menjenguk bayi mungil yang tidak ada suaranya. Anteng sekali. Hadiah dari Rei diterima Mbak Kania dengan wajah sumringah. Di belakang Rei, ada Sin dan Mas Bayu yang senyum-senyum saja.
"Kamu yakin gak mau makan gratis di acara aqiqah? Kamu kan sekarang anak kos. Lumayan buat perbaikan gizi."
Sin menggoda Rei saat keduanya menuju pintu pagar. Ingin rasanya Rei cubit tangan Sin. Tapi Rei tidak akan berani. Lagipula Sin sudah ambil ancang-ancang untuk menghindar.
"Enak saja. Aku masih bisa makan enak kok. Aku harus persiapkan tugas akhir kursus Sin. Tinggal selangkah lagi dan selesai."
Masih denqan pikiran absurd, Rei tinggalkan rumah setengah kastil itu. Ada sesuatu yang beda. Rei tidak tahu apa namanya dan sejak kapan hadirnya? Sesuatu yang justru membuat Rei sangat takut dan ingin sembunyi. Akankah rasa itu berbuah bahagia atau justru berakhir luka? (bersambung)