Chereads / ARETA & RENJANA / Chapter 13 - CUWIRI

Chapter 13 - CUWIRI

Lintasan kereta api yang membelah Utara hingga Selatan Pulau Jawa dilindas roda kereta. Dibanding perjalanan malam, berkereta api siang hari menuju Yogyakarta lebih menyenangkan.

Memang buat beberapa orang makan waktu. Tapi kadang kita perlu juga buang-buang waktu dengan perkara tak terlalu penting. Semisal duduk di dalam kereta kelas bisnis selama kurang-lebih 8 jam, sambil menyaksikan kehidupan berjalan di luar jendela kereta.

Ada anak-anak yang dengan riang melempari kereta dengan batu. Tanpa peduli betapa penumpang kereta jadi senewen. Ada juga ibu-ibu yang asik rumpi sambil cari kutu, di pinggir rel. Tanpa rasa takut kereta keluar dari jalur dan mencium tubuh mereka. Ada banyak petani yang dari pagi sampai sore masih setia di sawah mereka. Kadang hanya bercanda dengan kerabat di dangau yang tak terlampau besar.

Ragam kehidupan dalam satu lintasan perjalanan. Cerita yang tak pernah bisa dibaca dari atas langit. Bukankah yang memilih terbang di angkasa hanya bisa melihat awan dan keindahan sungai? Tanpa pernah bisa menemukan bocah-bocah dekil telanjang bulat di dalam sungai.

Semua kisah sederhana selalu membuat Rei tergila-gila pada perjalanan. Dan kini, perjalanan itu dilaluinya sendiri saja. Beberapa saat lalu, pernikahan Rana di Banjarnegara berlangsung meriah. Sin datang langsung dari Bandung dan pulang bersama Restu ke Bandung. Hanya satu malam saja menginap. Katanya, dia sedang ujian.

Pernikahan Rana digelar hanya beberapa hari setelah presentasi tugas akhir kursus fashion illustration. Rei bisa bernapas lega. Kepergiannya ke Banjarnegara tak perlu direpotkan dengan tugas desain atau cari tekstil. Semuanya sudah kelar.

Tiga hari lalu, gempita tahun baru terekam di berbagai media. Lima hari dari awal tahun, Rei akan bertambah usia. Satu perayaan kecil dihelat untuk dirinya sendiri. Tanpa Rana atau Dara, dua sahabatnya yang sudah menikah lebih dulu. Juga tanpa Aksara, sahabatnya yang tiup lilin delapan hari sebelum hari ulang tahun Rei. Ya, perjalanan ini untuk mimpi, obsesi dan dirinya sendiri.

Deru mesin kereta api benar-benar tamat di Stasiun Tugu. Motor Dahan sudah diparkir dekat stasiun sekitar 15 menit lalu. Tak sulit bagi Rei menemukan sosok perempuan tomboy yang cuek dan selalu ceria itu.

Bukannya taruh barang di kosan, dua gadis malah mampir dulu di angkringan. Mengganjal perut yang keroncongan dengan dua porsi nasi kucing. Harus pula ditambah tempe bacem, sate telur puyuh, otak-otak dan susu jahe. Baru perut bisa tenang.

"Besok jadi ke Giriloyo?" Tanya Dahan saat mereka sudah bisa meluruskan kaki di kamar kos Dahan.

Rei mengangguk tanpa mau beranjak dari posisinya yang pas.

"Rencananya begitu."

"Maaf ya Kak, aku kerja jeh....gak bisa antar."

Logat ngapak Kebumen Dahan tetap terasa meski anak itu sudah tinggal 2 tahun di Yogyakarta—yang gaya bahasa Jawanya lebih halus

"Tak apa. Mas Pandi janji mau antar kok. Besok pagi katanya ke sini."

Dan pagi ketika matahari masih menyembul malu-malu. Suara motor Mas Pandi terdengar berhenti di depan pagar kosan Dahan yang berwarna hijau. Carrier merah dipanggul di bahu Rei. Dahan mengantar sampai ke pagar. Menyapa Mas Pandi sebentar.

Mereka bertiga dipertemukan dalam sebuah tragedi. Letusan Gunung Merapi. Mas Pandi jadi relawan di tim evakuasi. Rei dan Dahan bertugas di perawatan ibu dan anak. Hari-hari penuh rasa was-was menyatukan mereka. Hingga tetap akrab meski Merapi sedang tidak "batuk-batuk".

Sepanjang jalan, Mas Pandi cerita tentang rencananya pulang kampung ke Lombok. Ingin mengembangkan usaha gula aren katanya. Banyak aren di Lombok yang kualitasnya bagus, tapi belum menemukan pasar yang pas. Tetapi rencananya itu terkendala dirinya sendiri. Sebab Yogyakarta terlalu nyaman, hingga Mas Pandi enggan pergi dari kota gudeg itu.

Soal ini, Rei tak bisa pungkiri. Hatinya sendiri tersangkut di Yogyakarta. Meski tak punya keluarga di Yogyakarta, mesti setahun sekali Rei menyempatkan mampir ke tanah Sultan. Benar kata Joko Pinurbo: "Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan."

Menempuh rute ke Bantul dari Sleman menggunakan sepeda motor, ternyata lumayan juga. Wajah Rei terasa "dibedaki" debu saat motor Mas Pandi berhenti di satu rumah. Joglo antik milik Pak Cahyo. Ketua Paguyuban Pembatik Giriloyo.

Ini kali kedua Rei izin menginap di Joglo Pak Cahyo. Pertama bermalam, Rei ditemani Sin, Distya dan Ben. Sekarang Ben pasti sedang asik bulan madu. Sementara Sin dan Distya berkutat dengan hari-hari ujian di kampus.

Mbak Mira, istri Pak Cahyo, menyambut ramah. Di sebelahnya ada Bu Surtinah, ibunya Pak Cahyo. Tangannya menggendong anak berusia lima tahun, Bagus namanya. Anak lelaki pertama Pak Cahyo dan Mbak Mira.

Mas Pandi pamit setelah meletakkan carrier Rei di dalam joglo besar yang kayunya mulai lapuk. Keluarga Pak Cahyo tidak tinggal di joglo. Mereka tinggal di rumah yang bersebrangan dengan joglo. Persis di tengah-tengah rumah Pak Cahyo dan joglo, ada mahasiswa yang lagi PKL dan belajar batik. Sedang pembatik yang biasa membatik di rumah Pak Cahyo tidak kelihatan.

"Kemana pembatik yang lain, Mbak Mira?"

"Sedang melayat. Kalau ada yang meninggal, pembatik libur. Warga membantu keluarga yang berduka. Tapi ya saya tetap membatik, karena harus mengajar mahasiswi yang sedang PKL."

Mbak Mira mempersilahkan Rei untuk istirahat, tapi Rei langsung ingin belajar membatik. Satu kain katun mori jenis prima diambil Mbak Mira dari rumah.

"Latihannya pakai mori prima saja ya. Sayang kalau pakai primisima."

Rei menurut saja. Mori prima sendiri tidak buruk. Kualitasnya satu tingkat di bawah primisima. Yang membedakan dua kain ini hanya kerapatan benang, ketebalan dan kehalusan kain. Tapi keduanya sama-sama bisa menyerap warna alam. Asalkan benang katunnya alami, tanpa campuran serat sintetis.

Mbak Mira bilang, membedakan kain dari serat alami dan sintetis paling gampang ya dibakar ujung kainnya. Kalau tak ada sisa pembakaran, berarti seratnya alami. Tapi kalau ada sisa serbuk hitam, ya berarti ada campuran sitetisnya.

Di bawah kain primisima dan prima, ada yang disebut biron. Katun mori juga, tapi sangat tipis dan permukaannya kasar. Tidak terlalu bagus untuk batik tulis.

Ada juga kain blacu, tapi Rei sendiri belum pernah melihat kain batik dari bahan blacu. Biasanya blacu lebih sering digunakan untuk sarung bantal dan perlengkapan rumah tangga.

Kain katun mori prima yang diambil Mbak Mira dibagi dua. Jadi seperti dua selendang yang panjang dan lebar. Hari ini belajar motif sederhana saja. Rei harus mola dulu, atau menggambar pola batik dengan pensil. Hanya pemula yang lakukan ini. Pembatik di Giriloyo yang sudah profesional tak perlu lagi gambar pakai pensil. Langsung saja melukis di kain.

Untuk bikin pola bunga saja, Rei butuh waktu berjam-jam. Dasar anak kota tidak kreatif, bikin bunga begitu kaku dan sangat realis. Tak ada seninya sama sekali.

Rei menyerah juga dan membiarkan gambar bunga yang seadanya. Langsung saja duduk dekat Mbak Mira yang sedang membatik. Ada Mbak Hartini juga yang datang. Mbak Harti ini sepupu Pak Cahyo.

Seharian, Rei hanya belajar membatik menggunakan canting dan lilin malam yang dipanaskan di atas wajan kecil. Jenis canting bermacam. Yang cucuknya (mulutnya) sedang untuk menggambar pola dasar. Yang paling kecil untuk bikin cecek (titik). Paling besar untuk nembok—menutup kain dengan lilin malam yang banyak.

Yang cucuknya satu, namanya klowong. Canting yang cucuknya dua disebut loron. Kalau tiga, dibilang telon. Biar tidak jatuh, mori diletakkan di gawangan.

Hanya Rei yang membatik mengikuti garis-garis pensil. Mbak Mira bahkan bisa menjiplak dari satu motif menjadi beberapa motif yang sama persis hanya dengan melipat-lipat kain.

"Bikin motif apa, Mbak Mira?" Rei mulai pegal dan menganggu Mbak Mira yang sedang khusyuk.

"Cuwiri, Mbak Rei. Unsur dominannya gambar meru (gunung) dan gurdo (sayap burung)," jawab Mbak Mira.

"Cuwiri artinya kecil-kecil. Biasa digunakan pada upacara mitoni atau tujuh bulanan. Diharapkan pemakainya pantas dan mendapat kedudukan yang terhormat di masyarakat." Bu Surti yang sedang melipat kain ikut menyambung.

Beberapa jam membatik, Rei merasakan pinggang dan punggungnya bagai manula kena encok. Terpaksa dia harus berhenti. Lagipula Bu Surti sudah menyiapkan makanan di joglo.

Sebenarnya joglo ini ruang pamer batik-batik yang dijual Pak Cahyo. Jadi di Giriloyo ada 11 kelompok pembatik. Semua kelompok berada dalam satu paguyuban yang dipimpin Pak Cahyo. Satu kelompok batik bisa punya beberapa anggota.

Tidak semua pembatik di Giriloyo ikut satu kelompok tertentu. Mbak Harti misalnya, dia ikut membatik di tepat Pak Cahyo, tapi kadang membantu juga di kelompok batik lain. Prinsip paguyuban ini saling memajukan, bukan menjatuhkan.

Selesai makan siang, Rei kembali membatik. Baru satu kain saja belum jadi-jadi. Menjelang sore, mahasiswa yang juga ikut belajar pulang lebih dulu. Matahari sudah hilang dan tidak lagi kondusif membatik di halaman. Semua pulang ke rumah masing-masing.

"Mbak Rei mau ditemani tidur di joglo atau sendiri saja?" Tanya Mbak Mira.

Rei tidak ingin merepotkan. "Sendiri saja Mbak Mira."

"Mbak Rei berani? Tidak takut? Yakin tidak mau ditemani?"

Rei berkeras. "Iya Mbak Mira, tidak akan apa-apa."

Di bagian belakang joglo yang digunakan sebagai galeri ada ruang berisi dua tempat tidur, satu lemari, satu kursi malas dari kayu, satu meja kayu besar dan beberapa kursi. Di bagian paling belakang ada dua kamar mandi dan tempat jemur super luas.

Menjelang Maghrib, lampu-lampu mulai redup. Joglo yang berisi ratusan batik klasik dan beberapa manekin jadi tampak menyeramkan. Rei menyesali keputusannya.

Apalagi siang hari tadi, Rei melihat di bagian atap atas kasurnya dikerubungi semut berjumlah ribuan. Selesai adzan Magrib, semua semut mendadak hilang. Di kamar mandi tiba-tiba ada belalang berwarna hijau berukuran sangat besar. Tak pernah Rei lihat belalang sebesar itu.

Sementara bau lilin malam menyeruak dari ratusan kain yang dipajang. Bau yang mengingatkan pada masa lalu. Rei bergidik, baru ia sadar kalau malam itu adalah malam Jumat dan pagi tadi ada warga yang meninggal.

Sekuat tenaga, mata berusaha dipejam. Baru hampir pulas, tepat jam 12 malam, lampu di joglo mendadak mati. Gelap. Hanya sinar dari telepon selular yang tersisa. Itupun akan habis sebentar lagi. Rei awalnya takut membuka mata. Tapi dia harus.

Setengah merinding dibukanya laptop yang masih punya banyak daya. Disetel lantunan Al Qur'an keras-keras. Sebab gelap membuatnya tak bisa membaca Al Qur'an.

Ada kerlap-kerlip sinar berwarna merah tampak dari lubang kayu yang lapuk. Rei penasaran, apakah hanya di joglo saja yang mati lampu? Ataukah satu kampung memang mati lampu? Rei tak tahu. Ingin dia berjalan dan melihat ke luar. Tapi ini artinya Rei harus melewati galeri berisi manekin-manekin. Ide yang sangat buruk.

Sama sekali matanya tak dipejam sampai suara pengajian dari Masjid terdengar. Sebentar lagi Adzan Subuh. Rei menarik napas lega. Setidaknya dia tak perlu melihat yang tak wajar.

Setelah shalat Subuh, Rei tidur dan baru bangun saat Bu Surti mengantarkan sarapan. Dengan kantung mata lebar, Rei membuka pintu joglo dan mendapati kalau warna merah yang dilihatnya semalam berasal dari lampu-lampu kecil di halaman joglo. Berarti lampu itu tidak mati. Rei makin penasaran.

"Bu Surti, boleh saya pinjam lilin?"

Bu Surti bingung. "Buat apa Mbak Rei?"

"Buat jaga-jaga kalau mati lampu seperti semalam."

"Mati lampu? Tapi semalam lampu tidak mati. Mira...Mira...kemari!"

Mbak Mira datang sambil menggendong Bagus.

"Mira, lampu di joglo semalam mati. Kasihan itu loh Mbak Rei"

Mbak Mira ikut bingung. "Loh? Lampu di rumah tidak mati toh? Biar Yudi periksa. Mungkin listriknya turun."

Yudi, adik lelaki paling bontot Pak Cahyo datang dan memeriksa sekring.

"Tidak turun, Mbak. Semuanya baik-baik saja. Lah ini lampu depan joglo nyala. Ini kan satu sumber dengan semua lampu yang ada di dalam joglo."

Suasana mendadak hening. Anggota keluarga Pak Cahyo saling bertatapan. Suasana jadi dingin. Kebekuan baru mencair saat suara Bu Surti terdengar. Lebih mirip sebagai perintah.

"Nanti malam Mbak Rei jangan tidur sendiri ya. Nanti biar ditemani Hartini. Kebetulan Harti itu janda, tinggal sendiri. Saya akan minta Harti temani Mbak Rei menginap di joglo."

Tepat saat itu pula, Rei tahu, kejadian semalam bukan hal yang wajar (bersambung)