Jakarta,
Pintu besar berukir dibuka. Masih gelap. Hanya panggung panjang tempat nanti peragawati mondar-mandir saja yang diterangi cahaya lampu. Mereka bilang itu cat walk atau runway.
Tamu-tamu duduk di kursi yang ditata di sisi dan kanan cat walk. Barisan pertama tak boleh diisi. Khusus untuk tamu VIP. Sedang fotografer punya tempat khusus. Sisi di mana model yang berlenggak-lenggok bisa diabadikan dengan sudut pandang terbaik. Di tempat itulah Sin berada.
Rei dan Distya tak ada di sana. Mereka duduk di kursi baris kedua sisi sebelah kanan cat walk. Setengah jam sebelum acara dimulai, penghuni baris kursi pertama mulai berdatangan. Model, sosialita, artis, pengamat mode atau desainer, mereka yang punya hak istimewa melihat koleksi yang dipamerkan dari jarak paling dekat.
"Hai...Beb, ya ampun tasnya bagus banget..."
"Iya dong, ini keluaran terbaru Hermes. Kamu bawa tas apa, say?"
"Ah, aku sih biasa saja...karya desainer Indonesia, Bagteria...."
"Mmm....merendah deh, itu kan tas yang dipakai sama Paris Hilton. Eh, Beb, lihat deh...itu kan si..."
"Beebbb...kangen...lagi bahas apa sih?"
"Cuma tas aja, cinta...kayaknya berlian baru nih..."
"Oh ini....hadiah dari suamiku....beli di Tiffany & Co."
"Tunggu...aku tahu banget gaun yang kamu pakai. Ya ampuuunn...rancangannya Valentino kan?"
"Waw....dari atas sampai bawah branded ya Beb, aku sih baru mampu desainer lokal aja..."
"Cantik kok tapi...gaunnya Sapto Djokodiharjo kan? Ih....suka deh sama detailnya."
Di baris kursi kedua, Rei dan Distya bertukar pandang. Dalam ruangan ini, semua tentang brand, price tag dan life style. Semua kemewahan hakiki yang digelar untuk sebuah gengsi dan harga diri.
Fashion—atau dalam bahasa Indonesia fesyen—telah menjelma sebagai alat ukur status sosial di masyarakat. Berasal dari bahasa Prancis, facon, yang berarti sikap atau jalan/cara. Bisa dibilang fashion adalah konsep yang meliputi penampilan, gaya, tren, dan padu-padan yang menggambarkan ciri khas seseorang.
Dulu, pakaian dan aksesoris dibuat dalam skala kecil sesuai kebutuhan. Biasanya para perempuan bertanggung jawab membuat pakaian untuk keluarganya.
Proses pembuatan pakaian dan aksesoris mulai mendapat perhatian khusus saat pada tahun 1675, Louis XIV mengizinkan penjahit untuk membuat pakaian anak dan perempuan (tetapi tidak untuk laki-laki). Ini membuka peluang baru perdagangan pakaian anak dan perempuan. Tahun 1824, departemen store pertama yang ada di Prancis juga menjual pakaian.
Umumnya para penjahit membuat pakaian sesuai dengan pesanan dan permintaan pasar. Namun Charles Frederick Worth merubah persepsi ini. Worth untuk pertama kalinya mendirikan houte couture dan menentukan tren yang berkembang. Worth tidak ingin orang-orang memesan pakaian. Worth ingin dialah yang menawarkan pakaian hasil karyanya.
Sejak saat itu Houte Couture pun bermunculan di Prancis. Haute Couture harus memenuhi standar dan terdaftar di Chambre Syndicale de la Haute Couture. Setiap Houte Couture harus mempekerjakan setidaknya 21 orang dan menghasilkan minimal 75 desain baru dalam setiap tahun.
Hingga saat ini, Haute Couture identik dengan hand-made dan craft dengan pengerjaan yang detail, mewah dan eksklusif. Fashion pun berubah dari kebutuhan yang sangat personal menjadi komoditas.
Perkembangan fashion yang semakin melesat membuat bisnis ini diminati banyak orang. Produksi pakaian secara personal di rumah-rumah mulai ditinggalkan. Orang-orang lebih senang membeli pakaian yang dibuat oleh penjahit. Meningkatnya pesanan membuat Haute Couture tidak mampu memenuhi keinginan pasar.
Haute Couture yang menawarkan produk hand-made tak mungkin dikerjakan dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak. Harganya pun sangat mahal karena pengerjaannya membutuhkan banyak tenaga dan waktu.
Maka lahirlah Pret-a-Porter (ready to wear) untuk memenuhi kebutuhan pasar. Tahun 1973 didirikan Federation Francaise de la Couture du Pret-a-Porter des Couturiers at de Creatus de Mode.
Berbeda dengan Haute Couture yang membuat pakaian dalam jumlah terbatas dan mengandalkan ketrampilan tangan, Pret-a-Porter memproduksi pakaian dalam jumlah banyak dengan menggunakan sistem size (ukuran) dan menggunakan mesin.
Pret-a-Porter juga memproduksi pakaian berdasarkan musim, yang dikerjakan oleh beberapa fashion designer dalam suatu rumah mode. Produksi Pret-a-Porter ini ditampilkan dalam berbagai peragaan busana.
Seperti yang kini Rei dan Distya saksikan. Belasan peragawati berjalan memamerkan koleksi terbaru dari rumah mode ternama. Kilatan lampu kamera mengarah pada tubuh para model dengan tinggi di atas 170 cm.
Dan setelah molek gaya para model berlalu. Peragaan busana ini selesai.
"Kamu suka gambar baju kan, Rei?"
Tanya Sin saat mereka makan siang. Selepas pagelaran busana. Kebetulan Sin sedang di Jakarta. Sudah satu bulan ini Sin tinggal di Bandung untuk melanjutkan kuliahnya di bidang entrepreneurship.
"Iya, tapi masih amatir," jawab Rei.
"Diseriusin dong, Rei. Nih..." Sin menyodorkan telepon selulernya ke Rei.
Rei menatap satu akun linimasa seorang perempuan cantik. Pandangan curiga mengarah ke Sin.
"Siapa ini?"
"Teman kuliah saya. Dia ikut kursus singkat di sekolah mode. Dia bisa gambar dan jahit juga setelah kursus."
"Oh, sekolah mode ini...iya aku tahu. Dulu Mama juga suruh aku masuk ke situ. Tapi waktu itu aku cuma suka gambar saja. Aku gak punya mimpi khusus di bidang fashion. Jadi ya aku putuskan ambil kuliah hukum saja."
"Sekarang kan Kamu sudah punya mimpi di bidang fashiin. Mau mengangkat kain Nusantara dan bantu pembatik di daerah." Sin tidak menyerah.
"Aduuuh Sin, pekerjaan aku saja sudah banyak. Masa sekarang harus kuliah fashion designer juga? Lama loh itu. Satu sampai tiga tahun."
"Satu bulan. Hanya satu bulan untuk kelas fashion illustration. Kalau mau belajar pattern, bisa ambil lagi satu bulan. Tapi gak harus dua-duanya juga. Ambil fashion illustration saja dulu. Kalau kami suka bisa lanjut ke kelas yang lain. Short course doang Rei."
Rei menggigit bibir bawahnya. "Mahal pasti biayanya...sekolah fashion gak ada yang murah...."
Mata Sin berbinar. Sepertinya Rei mulai tertarik. "Saya yang bayar ...."
Hampir Rei tersedak.
"Saya yang tanggung biaya kursus Kamu. Ya anggap saja ini sebagai investasi. Saya belajar bisnis dan Kamu mendalami fashion. Ini buat usaha kita juga Rei."
Mata Rei memicing mendengar tawaran Sin. Rei perempuan yang tak ingin punya hutang budi dengan siapapun. Apalagi dengan lelaki.
"Nanti aku pikirkan. Eh Sin, mumpung Kamu di Jakarta, kita beresin kamar tempat batik yuk."
Kepala Sin yang sebelumnya sempat menunduk kembali terangkat. "Kenapa?"
"Kemarin waktu aku lagi cek stok batik, Kamu kan belum pulang dari Bandung. Aku sendirian di kamar batik. Tiba-tiba Bapak ada di depan pintu. Kata Bapak, beliau berharap kamar itu bisa berfungsi lagi jadi kamar tamu."
Beberapa kerut tampak di wajah Sin. Wajahnya sedikit cemberut. Sama sekali Sin tidak merespon usul Rei. Mungkin Sin sedang kesal karena Rei tidak menggubris sarannya untuk ikut kursus singkat fashion illustration.
Dua Minggu sejak pertemuan terakhir mereka, Sin menelpon dari Bandung.
"Rei...hari ini pertama kali ikut kursus kan? Semangat ya? Semua sudah dibayar?"
Di Jakarta, telepon dari Sin disambut dengan tenang.
"Iya....terima kasih Sin. Sudah kubayar semua. Aku masih di kosan. Sebentar lagi aku berangkat. Tinggal jalan kaki saja."
"Kamu benar ada uang untuk bayar kursus? Tidak ada apa-apa pakai uangku dulu."
"Alhamdulillah honorku sudah keluar. Lebih dari cukup untuk biaya kursus, kos dan jajan di sekitar sini. Ya namanya juga selatan Jakarta, makanan pasti lebih mahal. Tapi aku sudah berhitung. Insya Allah cukup."
Enak saja, dalam hati Rei. Selama Rei masih punya dua tangan dan dua kaki, tidak akan pernah Ia menggunakan uang lelaki (kecuali uang suaminya kelak). Meskipun lelaki itu sahabat atau rekan kerjanya sendiri.
Hubungan sepasang manusia beda jenis kelamin tak pernah benar-benar mulus dan tulus. Lihat saja nanti, kalau ada apa-apa, Rei tak akan merasa punya hutang budi.
Rei menatap dirinya sendiri di cermin. Persoalannya, belajar di sekolah mode bukan cuma modal uang, tapi juga gaya. Satu minggu lalu, saat Rei survey, hampir semua mahasiswa sekolah mode itu terlihat modis dan punya gaya yang otentik.
Sekarang dia jadi bagian dari orang-orang yang menghabiskan waktu di sekolah mode itu. Mau tak mau, Rei tak bisa tampil sembarangan.
Kalau urusan barang-barang bermerek, ya tentu Rei tidak cukup mampu. Lagipula sayang juga kalau harus mengeluarkan puluhan juta hanya untuk jaket keluaran terbaru Channel atau tas koleksi Fendi. Kan mending untuk menambah modal usaha SEMI.
Satu kain sutera dikeluarkan dari koper yang masih penuh. Rei belum sempat beres-beres dan memasukkan pakaian ke lemari di kamar kos. Biar aman, Rei mengenakan kain batik tulis berbahan sutera dengan motif udan liris. Motif kesukaan Rei.
Terdiri dari 7 motif yang disusun dalam bentuk lereng/diagonal, udan liris yang berarti hujan gerimis, menggambarkan air hujan yang jatuh perlahan. Seperti hujan yang menghidupi, diharapkan pemakai kain batik ini akan mendapat rejeki yang melimpah, selamat sejahtera dan mampu mengemban tugas dengan baik.
Rei percaya doa para pembatik melekat pada setiap kain. Dan doa itu pula yang akan mengiringi langkah pemakainya. Semoga, ya, semoga doa yang tersemat di sehelai kain batik udan liris menjadi kenyataan. Semoga hari pertama kursusnya lancar dan menyenangkan.
Telepon seluler yang baru saja dimatikan dimasukkan ke dalam tas kecil. Ada dua tas yang dibawa, satu tas kecil untuk barang pribadi Rei. Satu lagi Tote bag super besar bertuliskan nama sekolah mode ternama di Jakarta Selatan.
Dalam tas besar itu ada kertas HVS, pensil, penghapus, penggaris, pensil warna merek lyra, quache, penggaris berbentuk seperti huruf S dan 3 drawing pen. Nomor 1, 3 dan 5.
Rei tidak punya gambaran akan diapakan barang-barang ini. Setidaknya untuk semua barang yang ada di tas, Rei tak perlu pusing mencari. Semuanya disediakan di tempat kursus dan bisa dibayar sekalian dengan biaya kursus.
Sekolah mode yang terkenal ini punya gedung yang cukup moderen. Peserta kursus baru mulai belajar jam 4 sore. Setelah kelas terakhir di sekolah itu selesai. Tapi biasanya tetap saja ada mahasiswa yang pulang larut untuk mengerjakan tugas. Perpustakaan sendiri ditutup jam 8 malam. Bersamaan dengan berakhirnya jadwal kursus.
Kelas fashion illustration ini dipandu perempuan cantik keturunan Tionghoa yang berambut sangat indah. Rambutnya panjang dan tampak bergelombang di bagian bawah. Seperti gambaran rambut princess di serial Disney.
Meski tidak terlalu tinggi, tapi dia memiliki tubuh yang ideal. Semua tampak pas. Apalagi kulitnya putih dan hidungnya mancung. Tampaknya dia juga perempuan yang sangat ramah. Dia meminta dirinya dipanggil Miss Cindy.
Miss Cindy baru saja lulus dari sekolah mode ini. Usianya masih sangat muda. Tapi karena dia termasuk lulusan terbaik, Miss Cindy dipercaya untuk mengajar kursus fashion illustration.
Bersama Rei, ada Anastasia, perempuan berdarah Tionghoa dengan rambut berponi. Sebelahnya, duduk si cantik Marissa yang punya tubuh semampai bak model. Rambutnya panjang, kulit kuning langsat dan hidung mancung. Dia mengenakan celana pendek dan tank top yang dilapisi atasan transparan.
Ada dua perempuan yang berumur lebih dari 40 tahun. Tante Sandra dan Tante Katrina. Dua perempuan yang tetap menarik di usia yang tak muda. Tante Sandra sedikit lebih santai dan tampaknya pegawai kantoran. Sedang Tante Katrina tampil dengan dandanan paripurna. Mantan pramugari maskapai terkenal itu terlihat glamor.
Satu perempuan datang tergopoh-gopoh karena terlambat. Itulah Mbak Tiara. Make up cukup tebal menutupi wajah yang terlanjur cantik dari lahir (sepertinya). Dia jadi yang paling seksi di antara semua perempuan dalam ruangan kaca. Tubuhnya yang kurus tidak terlihat kerempeng karena dia juga tidak terlalu tinggi. Bisa dibilang dia perempuan mungil yang seksi.
"Oke, kita akan mulai kelasnya yaa..."
Selesai perkenalan, Miss Cindy mulai membagikan beberapa lembar kertas. Rei sadar, ini akan menjadi pengalaman yang sangat menarik (bersambung).....