"Teteteteteteet.....teteteteteteet...prok...prok...prok...."
Suara alarm bergema di kamar Rei. Gadis itu bangun dan sejenak menatap kamar kosnya yang sunyi. Sudah satu minggu berlalu di sini. Dan suara alarm itu masih mengalunkan bunyi yang sama. Musik pengiring chicken dance ala WARKOP DKI.
Belum juga jam 8 pagi, saat Rei meninggalkan kamar kos. Keranjang baju kotor harus dikeluarkan dan diletakkan di depan kamar. Nanti Mbak Tuti (ART di tempat kos) yang ambil baju kotor untuk dicuci. Malamnya, Rei tinggal ambil baju yang sudah diseterika di tempat cucian.
Ya, masih cukup pagi. Dalam hati Rei berdoa, mudah-mudahan hari ini mood-nya Boy cukup bagus untuk membuka kafenya lebih pagi. Boy memang sulit ditebak, dia membuka kafenya sesuka hatinya. Membuat mahasiswa yang ada di sekolah mode itu sering senewen.
Kafe Boy satu-satunya yang terletak di dalam kampus. Ada juga beberapa warteg dan warung pinggir jalan, tapi tetap saja mahasiswa lebih menunggu kafe Boy buka. Pasalnya cuma kafe Boy yang menjual makanan bergaya barat dan bisa dibawa ke mana-mana tanpa takut tumpah atau basah.
Sepertinya doa Rei terkabul. Hari ini kafe Boy buka lebih pagi. Dan sepagi ini sudah harus mengantri. Kalau pagi, makanan hanya dipenuhi dengan cookies, cake, pastel dan croissant.
"Hai Boy, satu croissant coklat dan secangkir cappucino..."
Akhirnya giliran Rei tiba juga. Perutnya sudah keroncongan. Boy, seperti biasa kalau moodnya sedang bagus, dia selalu tersenyum. Membuat gigi kelincinya menyembul sedikit. Astaga, dia tampak jauh lebih manis. Bisa ditebak gerombolan cewek yang sedang sarapan langsung komentar.
"Boy tuh ganteng banget ya....apalagi kalau senyum. Aduh sumpah, tambah cakep..."
"Iya sih, tapi kita semua tahu, Boy itu pacarnya Joan...."
Ya, semua orang tahu, Boy pacarnya Joan. Rei juga tahu itu. Rei juga tahu kalau Joan adalah kepala sekolah di sini dan punya kewenangan memberi Boy izin untuk buka kafe. Rei juga tahu, Joan buat produk lokal. Joan diimpor langsung dari Prancis, yang menjadi pusat sekolah mode ini. Dan, seperti semua mahasiswa di sini tahu, Rei pun tahu kalau Joan adalah laki-laki.
Satu gelas cappucino yang masih panas diberikan pada Rei. Lengkap dengan croissant coklat yang dimasukkan dalam kantong kertas. Tak bisa dipungkiri, croissant coklat di kafe Boy memang paling enak.
Bungkus croissant dimasukkan dalam tas, sedang gelas cappucino di pegang di salah satu tangan. Jalan kaki sebentar dan menyeberang jalan raya. Baru bisa memberhentikan bus ke arah Blok M. Di metromini yang suka mengerem seenaknya itu, Rei masih bisa minum kopi dan menggigit croissant. Ini kemahiran yang belum tentu dimiliki orang lain.
Sampai Blok M, harus ganti bus untuk sampai ke kantor. Kerja sampai jam 1 siang. Status Rei sebagai freelancer membuatnya lebih bebas bergerak dan tetap bisa jualan batik. Pulangnya, naik lagi dua kali angkutan untuk sampai ke kosan.
Sampai di kosan, keranjang baju kotor sudah diambil Mbak Tuti. Rei taruh tas sebentar dan jalan kaki ke digital printing terdekat. Dekat sekolah mode ini ada beberapa digital printing kualitas bagus dengan harga terjangkau. Maklum, biasanya anak-anak fashion design butuh mencetak gambar dengan resolusi tinggi.
Itu pula yang sekarang harus Rei lakukan. Minggu ini pelajaran tentang figurin. Jadi ternyata, untuk pemula, membuat gambar orang itu ada aturannya. Harus proporsional. Dari mata ke hidung, dada ke pusar atau lebar leher dan mata, semua ada ukurannya.
Awalnya dibuat dulu menggunakan pensil. Lalu dijiplak di kertas baru dengan menggunakan drawing pen. Menjiplak bisa dilakukan di atas light table. Semacam meja kaca yang di bawah kacanya ada lampu panjang. Sinar dari lampu itu membuat gambar yang akan dijiplak lebih mudah dilihat.
Setelah empat hari belajar menjiplak figurin dengan posisi lurus sampai sempurna, sekarang Miss Cindy kasih tugas menggambar figurin dengan berbagai posisi. Dari depan, belakang dan samping. Rei harus mencetak 10 gambar model berbagai gaya, dengan resolusi tinggi di ukuran kertas A4.
Sebagian besar Rei dapat dari internet. Nah, urusan mengatur ukuran dan resolusi, biar orang-orang di digital printing saja. Kadang orang-orang ini lebih tahu. Kalau ada ukuran yang kurang atau gambar yang salah, mereka yang kasih tahu. Mereka hapal karena sering sekali melayani mahasiswa mengerjakan tugas.
Jam 4 sore, Rei sudah di tempat kursus. Ruang kelas masih dipakai. Yang mengajar juga bukan produk lokal. Masih diimpor langsung dari Prancis. Seorang lelaki bule bernama Alex. Kabarnya Alex beda dengan Joan. Alex lebih tertarik pada perempuan.
Miss Cindy datang beberapa menit kemudian. Alex sadar waktunya sudah habis. Bule ganteng itu menyudahi kelasnya dan menyapa mantan mahasiswinya. Miss Cindy membalas Alex dengan sumringah.
Kelas dimulai dengan empat orang. Rei, Anas (panggilan untuk Anastasia), Rissa (panggilan Marissa) dan Tante Sandra. Tante Kath dan Mbak Tiara selalu telat. Mbak Tiara sih wajar terlambat, dia harus kerja dulu. Sebagai sales marketing, kadang jadwalnya bisa berubah mendadak.
Sepuluh gambar yang sudah dicetak lalu digunting. Dari gambar itu dibuat sepuluh figurin sesuai dengan gambar. Bikin figurin lurus saja susah, nah sekarang harus dengan berbagai posisi. Tante Kath langsung menyerah. Otomatis perhatian Miss Cindy lebih banyak untuk membantu Tante Kath.
Miss Cindy bilang, mereka beruntung karena di sesi ini peserta kursus sedikit. Tidak banyak orang membuat Miss Cindy bisa lebih fokus dan perhatian. Satu jam berjalan, mereka mulai bosan bermain dengan light table. Harus berganti-ganti drawing pen pula.
Istirahat sebentar untuk ibadah dan makan. Mereka kembali mengganggu Boy di kafe. Kali ini Rei tidak lagi pesan croissant. Lagipula croissant selalu habis sebelum siang. Makan malam ini rasanya harus dinikmati dengan satu potong tuna.
Hari-hari berikutnya tidak lagi bahas figurin. Mereka harus belajar tentang warna, tekstil dan motif. Huff...ternyata menjadi fashion designer itu susah juga. Tidak asal bisa gambar. Tapi juga harus riset dan selalu tahu perkembangan terbaru. Apalagi, ternyata tren warna yang berkembang dan berubah setiap tahun tidak terjadi dengan sendirinya.
Tren dalam dunia fashion bisa didefinisikan dengan perubahan fashion dari satu periode ke periode berikutnya. Fashion trend adalah segala sesuatu tentang yang lama atau yang baru. Apa yang tahun ini menjadi produk favorit, bisa jadi tahun depan sudah hilang dari pasaran.
Untuk tren warna misalnya, ada Color Marketing Group (CMG) yang mengemban tugas besar untuk mengenali dan mengarahkan tren warna untuk satu sampai tiga tahun ke depan.
Konon sekitar 400 anggota CMG biasa berkumpul di suatu tempat untuk mengalisis dan mendiskusikan tren warna yang akan datang. Prediksi tren warna ini disebar ke sejumlah media.
Selain CMG, nama Pantone pasti sangat diperhitungkan. Perusahaan yang berbasis di New Jersey ini memposisikan diri sebagai penguasa warna sedunia. Setiap tahun Pantone akan merilis tren warna yang dijual ke berbagai industri dalam bentuk jurnal atau newsletter.
Kabarnya Pantone memiliki lebih dari 2000 warna yang unik dan semuanya memiliki nomor seri tersendiri. Bukan rahasia lagi kalau para desainer sering melihat perkembangan tren warna Pantone sebelum membuat desain. Pengaruh pantone bukan hanya pada dunia fashion tapi juga interior, akseseoris dan industri lainnya.
Bagi seorang fashion designer, penting sekali untuk menentukan warna yang akan digunakan dalam setiap koleksi. Pemilihan warna sudah dimulai sejak mendesain pakaian.
Ini sekarang yang harus Rei pelajari. Coloring atau mewarnai gambar pakaian. Desain sudah dibuat dan diperbanyak oleh Miss Cindy. Rei dan teman-teman satu kelasnya harus mewarnai baju itu dengan tiga teknik.
Pertama menggunakan copic. Semacam spidol tapi lebih pekat dan ada ratusan warna—dari transparan sampai yang sangat pekat. Setiap warna punya nomor yang berbeda. Harga satu copic lumayan mahal. Bisa bangkrut kalau harus mengoleksi semua warna. Tapi untuk desainer profesional, sepertinya punya koleksi warna copic yang lengkap jadi keharusan.
Meski bentuknya kayak spidol atau stabilo, tapi copic ini susah digunakan. Harus cepat dan rata. Kalau tidak, bisa-bisa gambar pakaian terlihat belang. Teknik kedua yang juga tidak kalah repot menggunakan pensil warna. Simpel sih kalau hanya satu warna. Nah kalau ada banyak warna jadi susah.
Apalagi Miss Cindy mengharuskan mereka untuk menggambar dengan gradasi warna. Seolah-olah gaun yang digambar itu terkena cahaya dari beberapa sisi.
Teknik terakhir, berhasil bikin Tante Kath rajin bolos dan Rissa mengeluh. Yup, sekarang mereka menggunakan quache. Ini hampir sama dengan cat air tapi jauh lebih kental. Quache hanya punya lima warna dasar (hitam, putih, kuning, merah dan biru).
Otomatis, untuk mendapat warna yang diinginkan, mereka harus mencampur beberapa warna. Karena sering digunakan untuk menetralisir, warna kuning jadi lebih cepat habis.
Tidak ada satu pun hari terlewat tanpa tugas dari Miss Cindy. Rei tidak punya perhatian pada hal lain. Pagi dia kerja, sore sampai malam dia fokus dengan kursusnya. Sabtu dan Minggu harus mengurus jahitan pesanan teman-teman di kantor.
Sin juga tak bisa mengelak dari tugas-tugasnya di kampus. Jarak Bandung-Jakarta tak bisa dihalau dengan cepat. Apalagi Sabtu dan Minggu (jadwal Sin pulang), macetnya tidak bisa lagi dinalar. Sin memilih untuk tidak pulang. Pertemuan jadi satu peristiwa yang langka.
Di sisi lain, ada perkembangan bagus dari hubungan Ben dan Rana. Akhirnya si pangeran itu berani juga melamar Rana. Dan di luar dugaan, Rana bersedia diperistri lelaki yang usianya empat tahun lebih muda. Keluarga Rana juga tidak terlalu mempermasalahkan soal Sunda dan Jawa. Tapi Restu tak yakin semuanya akan berjalan benar-benar mulus. Akuntan itu percaya kalau kutukan Perang Bubat belum berakhir.
Begitu banyak tugas yang mesti Rei kerjakan membuatnya tak bisa lagi mengecek batik di rumah Sin. Ah, padahal ada pesanan dari Mbak Zia. Sin menyempatkan pulang ke Jakarta. Sore itu, Sin yang mengantar batik ke tempat Rei belajar. Bagaimanapun juga, Sin yang pertama kali meminta belajar di sana.
"Itu tas kok gede banget. Memang bawa apa saja?"
Tanya Sin saat bertemu Rei di kafe Boy. Rei sedang makan bersama Rissa yang malas menunggu di kelas sendirian.
"Alat gambar. Kertas, kuas, pensil, penggaris, pensil warna. Banyak deh. Hari ini tambah berat karena harus contoh bahan buat di gambar. Kami mau belajar tekstil dan motif."
Sin belum puas. "Kok Rissa gak bawa apa-apa? Tuh tasnya kecil..."
"Tasnya ada di kelas. Males dibawa ke sini," jawab Rissa.
"Iya. Tadi kan Rissa dari kelas. Kalau aku dari kosan langsung ke sini. Takut Kamu menunggu terlalu lama. Eh, batik pesanan Mbak Zia mana?"
Sin mengeluarkan kain batik yang membuat mata Rissa berbinar.
"Cantik banget batiknya. Rei, ini dijual? Aku mau beli dong. Ini motif apa?"
Rei mengambil batik yang sebelumnya ada di tangan Sin. Membiarkan Rissa meraba kain itu sejenak.
"Ini namanya batik Bakaran motif Gandrung."
"Bakaran?" Mata bulat Rissa membelalak. Dia jadi terlihat semakin cantik.
"Dulu ada pembatik Kerajaan Majapahit yang melarikan diri karena sudah berpindah agama. Namanya Nyi Banowati. Orang-orang percaya, Nyi Banowati melarikan diri ke daerah Bakaran. Lalu mengajarkan cara membatik pada masyarakat sekitar. Batik buatan mereka akhirnya disebut batik Bakaran. Nah, Nyi Banowati punya kekasih bernama Joko Pakuwon. Karena pelariannya, Nyi Banowati tak bisa bertemu sang kekasih. Suatu hari kekasihnya itu berhasil menemukan Nyi Banowati yang sedang membatik. Girang hati Nyi Banowati hingga kain yang sedang dibatik tercoret. Seperti membentuk tanda silang dalam persegi. Sejak saat itu, motif ini dinamakan Gandrung. Menggambarkan kegandrungan atau kerinduan yang sulit diobati."
"Waaaah....romantis sekali." Mata Rissa kembali berbinar. Ada sedikit demi merah di pipinya yang putih mulus.
Rei tersenyum melihat tingkah gadis itu. "Cinta memang bisa jadi inspirasi. Tapi tak jarang membuat orang tergila-gila, bahkan jadi gila."
Rissa membujuk agar batik itu jadi miliknya. Tapi batik yang diinginkan Rissa sudah pesanan orang lain. Sin berjanji akan melihat isi lemari batik di rumahnya dan mencari yang mirip dengan yang Rissa inginkan.
Ketika Miss Cindy datang dan kelas dimulai, Sin harus pulang. Rei tidak tahu kapan lagi dia bisa bertemu Sin. Hanya Rei ingatkan agar Sin jangan sampai lupa mencari pesanan Rissa. Cerewetnya Rei hanya dibalas Sin dengan segaris senyum dan kedipan mata. Ah, lelaki itu.
Di dalam kelas, gambar tekstil dan motif dimulai. Menentukan tekstil dan motif yang akan digunakan juga jadi PR seorang fashion designer. Tidak jauh beda dengan tren warna, setiap tahunnya tren tekstil & motif pun berubah seiring dengan Premiere Vision (PV) yang berbasis di Paris dan Lyon, Prancis.
PV yang berdiri sejak tahun 1973 ini menyelenggarakan pameran dua kali setahun di Paris. Belakangan, PV juga menggelar pameran di sejumlah negara.
Fashion Information menjadi kekuatan PV.
Informasi ini diperoleh dari pertemuan yang dihadiri oleh pakar fashion dunia untuk membahas tren mode. Informasi ini dipercaya turut mengilhami seluruh desain dan kreasi.
Dan untuk memahami berbagai jenis tekstil, hari itu, Rei sendiri harus belajar menggambar beberapa bahan. Bahan satin Velvet polos, denim polos, sifon polos dan bahan bermotif. Bahan itu digunting dadu kecil dan ditempel di kertas karton. Lalu digunting kertas lain untuk menggambar duplikatnya.
Denim digambar menggunakan pensil warna, satin menggunakan quache. Bahan bermotif terserah ingin menggunakan alat yang mana. Rei memilih menggunakan quache dan kuas. Ah, harusnya dia ikut kelas lukis saja, bukan fashion illustration. Baru Rei sadari, dia sangat suka mencampur warna.
Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan jam 21.00. Harusnya Pak Satpam sudah menutup ruang kelas. Tapi Miss Cindy membujuk agar mereka boleh belajar sampai jam 21.30.
Ketika Rei keluar dari pagar, sudah sekitar jam 21.45. Mendadak perutnya lapar. Hanya tinggal minimarket saja yang buka 24 jam. Rei harus cukup puas dengan nasi goreng beku yang dihangatkan di microwave.
Lumayan untuk dinikmati sambil mengerjakan tugas untuk besok. Tentu diiringi lagu sakral para pejuang Jakarta Selatan.
"Ijinkan hamba menutur sebuah cerita. Yang terpenggal di selatan Jakarta. Bukan gegap gempita, serta baik buruk sarana. Tiada angan hampa penuh peluh ataupun nestapa...."
Suara Aprilia Sari atau Nona Sari Sartje mengalun syahdu. Satu tembang lawas dari White Shoes and The Couples Company. Menjelang tengah malam yang kian kelam, sendirian tanpa peluh, Rei mengukir cerita di selatan Jakarta. Cerita tentang perempuan dewasa muda yang meniti mimpi, hasrat dan asanya. Oh renjana, tetaplah menyala di sanubari. Dan esok masih sangat panjang (bersambung).....