Kujalankan mobil sport biru milikku meninggalkan gedung pencakar langit milik keluargaku. Menjijikan, dimana aku telah kembali bersetubuh dengan salah satu kakak tiriku. Mengingat itu semua membuatku seperti jalang yang digilir oleh mereka. Takdir macam apa yang kuhadapi kali ini? Tapi, setidaknya aku harus bertahan demi Rosaline dan diriku sendiri. Teringat kembali kata-kata manis yang keluar dari bibir Zerfist.
"Mencintaiku? Dasar bodoh, lelaki robot sepertinya mencintai gadis jalang sepertiku? Apa dia pikir aku akan terlena dengan kata-kata manisnya? Tidak akan pernah!"
Kembali kulajukan mobil sport milikku dengan kecepatan sedang, saat melihat lampu menyala hijau langsung saja kulajukan mobilku. Tapi tanpa diduga aku melihat mobil dengan kecepatan penuh menuju ke arahku dari arah sebelah kiri.
"Sial."
Braaak
Mobil itu menghantam body sebelah kiri belakang mobilku, kubanting stir ke kiri agar hantaman itu tidak membuat mobilku terbalik.
Sraaakkkk
Kepalaku menghantam stir dan kembali terbentur kaca mobil, dan sialnya body kanan mobilku menghantam sebuah tiang, sial aku tidak boleh mati sekarang.
Tiiiinnnn
Sepertinya mobilku benar-benar hancur, kurasakan darah mengucur dari pelipisku. Kulihat semua orang mengerubungi mobilku, saat kulihat mobil yang menghantamku tadi kabur begitu saja. Benar-benar menjengkelkan, tangan kananku memar dan sepertinya tidak ada yang patah.
"Syukurlah, mereka bertiga tidak boleh mengetahui tentang kondisiku saat ini."
"Nona, Nona, apa kau baik-baik saja? Nona, apa kau mendengarku?" Suara orang-orang terdengar dan mengerubungi mobilku.
Sial, badanku tidak bisa digerakkan. Dengan paksa seseorang mengeluarkanku dengan merusak pintu mobil, lelaki itu menggendong dan membawaku masuk ke dalam mobil ambulan.
'Sejak kapan mobil ini datang? Aku tidak mendengarnya, apa aku setengah sadar?'
"Nona, bertahanlah," ucap lelaki itu sambil memberikan alat bantu pernapasan padaku.
Sial, aku mengantuk sekali. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di rumah sakit kurasa, karena kini aku sudah berada di ruang UGD. Kulihat para dokter langsung saja menangani luka di kepalaku dan juga lenganku yang memar. Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengobati luka-lukaku.
"Nona, apa anda memiliki keluarga? Biar kami sampaikan jika anda terkena sebuah insiden kecelakaan," ucap salah satu suster padaku.
"Tidak perlu, ini hanya luka ringan. Dan bisakah aku pulang saat ini juga?" jawabku.
"Maaf, Nona. Anda sebaiknya beristirahat untuk beberapa hari di sini. Kami juga harus mengecek luka di kepala Anda. Akan sangat berbahaya jika Anda mengabaikannya," jawab perawat lainnya.
"Baiklah, pindahkan aku ke kamar VVIP," jawabku sambil meminta salah satu perawat mengambilkan tasku.
Untung saja tas jinjingku dibawa juga ke sini, dan syukurlah masih ada semua isi tasku. Kuambilkan Gold card dari dalam tas dan kuberikan pada perawat itu. Seketika perawat itu membelalakan matanya dan langsung saja membungkuk hormat padaku.
"Saya akan menyiapkan kamar untuk anda, Nona Verleon," kata perawat itu lalu meninggalkan ruangan itu dan perawat lainnya pun juga keluar dari ruangan itu.
Oh ya, di mana lelaki yang membawaku ke sini? Kuedarkan pandangan mataku ke sekeliling dan pintu ruangan itu terbuka kembali menampilkan lelaki tampan yang tadi menolongku.
"Nona, bagaimana keadaanmu?" tanya lelaki itu.
"Cukup baik," jawabku sambil tersenyum ramah, kulihat wajah lelaki itu memerah saat melihat senyumanku.
"Namaku Linx Connor." Lelaki itu memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangannya.
"Ivy, panggil aku Ivy. Maaf tanganku tidak bisa bergerak," jawabku sambil mencoba menggerakkan tanganku tetapi tidak bisa, apa mungkin tanganku patah?
"Baiklah, Ivy, aku rasa mobil itu sengaja menabrakmu. Aku sudah menelepon polisi dan mereka sedang mencari orang yang mengendarai mobil yang menabrak mobilmu. Dan mobilmu kini tengah dibawa ke bengkel," jelas Linx panjang lebar.
"Terima kasih atas bantuanmu, Tuan Connor," jawabku lemah masih dengan senyumanku.
Kami kembali terdiam, kulihat lelaki itu seperti seusia Zerfist. Keluarga Connor, huh? Sepertinya aku mengetahuinya.
"Nona Ivy–"
"Cukup panggil aku Ivy, usiaku baru saja 19 tahun," potongku saat lelaki itu memanggilku.
"Baiklah, Ivy, apa kau punya keluarga? Aku akan memanggil keluargamu jika–"
"Tidak perlu, aku tidak ingin mereka datang." Kembali aku memotong perkataannya.
Ya, mereka semua tidak perlu mengetahui keadaanku. Aku tidak ingin membuat mereka mengkhawatirkan diriku, luka seperti ini cukup aku yang menanggungnya sendiri.
"Mengapa? Mengapa kau tidak ingin keluargamu datang? Mereka–"
"Nona Verleon, kami sudah menyiapkan kamar VVIP untuk Anda," Seorang perawat masuk begitu saja, memotong perkataan Linx.
Terlihat wajah lelaki itu menegang saat mendengar perawat itu memanggil nama keluargaku. Ada apa dengannya?
"Permisi Tuan, kami ingin mengantar Nona ke kamarnya," kata perawat itu sambil tersenyum ke arah Linx.
Linx mengangguk dan memilih mengikuti para perawat itu untuk mengantarku ke kamar yang kupesan. Menaiki sebuah lift yang luasnya bisa dimasuki ranjang rumah sakit, setelah sampai pintu lift terbuka dan para perawat kembali mendorong ranjang rumah sakit yang kutempati saat ini. Dan apa yang baru saja kulihat? Dengan cepat aku menoleh ke sebelah kiri saat seseorang melewati kami dari arah sebelah kanan.
'Sial, apa yang dilakukannya di sini?!'
Aku berdoa agar orang itu tidak melihatku dan sepertinya doaku terkabul, lelaki itu melewati kami begitu saja dengan wajahnya yang tertutup buku yang sedang ia baca. Ku hembuskan napas perlahan, dan saat itu juga kami memasuki sebuah kamar yang megah. Kamar yang dilengkapi dengan sebuah tv, kulkas, sebuah laptop dan ranjang rumah sakit yang terlihat mewah daripada yang kugunakan saat ini. Tidak lupa kamar itu memiliki ruang tamu yang lumayan besar.
Setelah aku menaiki ranjang kamar itu dan para perawat itu pergi, tinggallah kami berdua. Suasana kembali menjadi canggung dengan raut wajah lelaki itu sulit terbaca. Kuhembuskan napasku perlahan, aku tahu lelaki itu sedang kebingungan menghadapiku.
"Santai saja, tidak perlu tegang seperti itu," ucapku dan terlihat Linx menjadi sedikit relaks.
"Maaf, aku tidak tahu jika Anda adalah salah satu keluarga Verleon," jawab Linx berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Semua orang memang tidak mengenalku, kecuali karyawan dari semua perusahaan milik keluarga Verleon. Aku tidak suka terlalu diekspos seperti kakak-kakakku," jawabku sambil tersenyum, terlihat ia memberikan senyum kaku padaku.
"Kubilang santai saja, aku tidak akan memakanmu." Lelaki itu terkekeh lalu tersenyum lepas menatapku.
"Maafkan aku, aku tidak terbiasa berbicara dengan orang penting seperti dirimu," jawab Linx sambil mengusap rambutnya asal.
"Anggap saja aku bukan orang penting," Kurasa suasana yang canggung kini mulai mencair.
"Ahh ya, mengapa kau tidak ingin keluargamu tahu? Maaf jika aku terlalu mencampuri urusanmu."
Aku terdiam tidak ingin menjawab, lelaki yang baru kukenal itu tidak perlu mengetahui apa pun tentangku. Aku hanya memberikan senyum lembut kepadanya dan lagi-lagi wajahnya memerah. Lantunan suara musik terdengar, kuambil kembali ponsel milikku yang berada dalam tas dan melihat siapa yang menghubungiku. Bagus, Zerfist meneleponku. Kurasa ia mencariku saat ini.
"Ya," jawabku setelah menggeser icon hijau di layar ponsel milikku.
"Di mana kau? Aku baru saja kembali dan kau tidak ada di rumah," jawabnya terdengar ia sedang marah.
"Apa kau lupa jika kau memberikanku hadiah liburan selama 10 hari? Jadi aku ambil hadiahku saat ini juga, tidak masalah, bukan?" jawabku acuh.
"Kembali sekarang juga atau aku kan mencarimu ke ujung dunia sekalipun!" jawabnya tegas.
"Zerfist! Aku sedang berlibur dan berhentilah menggangguku selama 10 hari ke depan, jika kau mencariku akan kupatahkan kedua kaki dan tanganmu!" Baru kali ini aku membentaknya.
"Ivy, aku tidak peduli saat ini juga kau harus kembali!" jawabnya tidak kalah dingin.
"Kumohon," ucapku lemah, jika ia sudah bersikeras seperti itu mau tidak mau aku harus melunak.
"Kumohon, aku akan kembali setelah aku bosan. Bisakah aku menyendiri? Aku membutuhkan waktu privasiku sendiri, Kakak," lanjutku dan hening sepertinya Zerfist sedang berpikir.
"Apa kau baik-baik saja, Ivy?"
Tentu saja tidak, "Tentu saja aku baik-baik saja, kumohon, Zerfist, sebelum aku–"
"Aku mohon jangan berbuat yang tidak-tidak, aku tidak ingin ada luka sayatan di pergelangan tanganmu atau bekas luka tercekik di lehermu lagi saat kau kembali," potong Zerfist kini dengan nada khawatir.
Aku hembuskan napas beratku, "Baiklah aku berjanji, jadi jangan menggangguku. Dan katakan itu pada Grim dan Spade, aku tidak ingin mereka mencariku," jawabku dan kutahu saat ini Zerfist tengah tersenyum.
"Baiklah, selamat beristirahat,." jawabnya membuatku mengerutkan keningku.
Kumatikan sambungan telepon dari Zerfist dan saat ingin kuletakkan di atas nakas ponsel itu kembali berdering. Tanpa melihat siapa yang meneleponku, aku langsung saja mengangkat sambungan telepon itu.
"Ada apa lagi, Zerfist?"
"Ivy, ini Daddymu, Nak." shit, aku pikir lelaki robot itu yang meneleponku lagi.
"Da-Daddy, aku pikir Zerfist yang meneleponku," jawabku gugup.
"Zerfist memberitahuku jika kau ingin berlibur beberapa hari, mengapa tidak menghubungiku?"
"Apa Daddy dan Mommy sedang berkunjung ke mansion?" jawabku tidak bisa menghilangkan kegugupanku.
"Ya, karena itu Zerfist menghubungimu, dan Daddy diberitahu jika kau sedang berlibur."
"Apa Daddy ingin aku pulang saat ini juga?"
"Tidak, kau beristirahatlah dan jangan memikirkan hal lain. Bersenang-senanglah," jawab Alexander.
"Ya, terima kasih Daddy," jawabku dan sambungan telepon itu terputus.
Aku hembuskan napas beratku lega, setidaknya kali ini Daddy percaya. Dan aku lupa dengan satu hal, lelaki yang menyelamatkanku tengah duduk sambil menonton tv dengan suara kecil. Sepertinya lelaki itu tidak ingin mengganggu percakapanku, lelaki yang baik.
"Maafkan aku, Tuan Connor," ucapku dan lelaki tampan itu menoleh.
"Ahh, tidak masalah. Dan panggil aku Linx, seperti aku memanggilmu Ivy," jawab lelaki itu sambil bangkit dan mematikan tv di hadapannya.
"Baiklah," jawabku sambil tersenyum.
"Kau benar-benar merahasiakan ini? Aku pikir kau tidak akan bisa pernah merahasiakan apa pun dari keluargamu, Ivy." aku mengernyitkan dahiku dan menatap bingung ke arah lelaki tampan itu.
"Keluarga Verleon sangat-sangat mengetahui hal sekecil apa pun, apalagi saat ini kau sedang mendapatkan musibah dan pasti cepat atau lambat mereka mengetahui kondisimu meskipun kecelakaan ini tidak akan disiarkan di tv mana pun." Linx menjelaskan dan aku hanya bisa tersenyum kecil.
Ya Linx benar, mereka cepat atau lambat pasti akan mengetahui keadaanku. Jaringan mereka sangat luas, hingga aku tidak mungkin menutup mulut mereka semua. Tidak akan sempat untuk menutupi mulut mereka semua, sebelum aku melakukan itu kabar tentang diriku dirawat mungkin sudah terdengar oleh mereka saat ini.
"Tidak masalah, untuk saat ini aku butuh sendiri, terima kasih atas semuanya, Linx," jawabku dan lelaki itu tersenyum manis kepadaku.
"Kalau begitu aku akan pulang, dan kau beristirahatlah," jawab Linx dan aku hanya mengangguk.
Lelaki itu keluar kamar dan aku kembali mengambil ponselku dan menghubungi orang kepercayaanku.
"Trace, cepat ke Romarias Hospital. Temui aku di ruang VVIP kamar nomor 1-A. Aku butuh bantuanmu," ucapku begitu saja.
"Baiklah, Nona."
Kumatikan sambungan telepon itu dan menunggu Trace untuk menemuiku. 15 menit telah berlalu dan ketukan pintu terdengar, Trace masuk dengan beberapa bodyguard miliknya yang kini berjaga di luar kamar.
"Nona, maafkan saya yang tidak ada di sisi Anda," ucap Trace terlihat sangat khawatir dan wajah tampannya yang memucat.
"Kau berlebihan, Trace. Aku baik-baik saja," jawabku sambil terkekeh melihatnya yang panik saat ini juga.
"Tapi, Nona–"
"Cari tahu siapa yang menabrakku dan bawa orang itu ke hadapanku," titahku dan Trace mengangguk cepat.
"Saya, saya akan menemukan orang itu, apakah boleh saya membunuhnya?" jawab Trace cepat masih dengan wajah paniknya.
"Jangan, kau akan menggagalkan rencanaku jika membunuhnya. Aku ingin tahu siapa yang ingin mencoba membunuhku," jawabku setengah terkekeh karena aku tahu Trace orang seperti apa.
"Baiklah, Nona," jawabnya lesu.
"Cepatlah pergi sebelum keluargaku yang menemukannya," jawabku sambil menutup mataku, aku lelah sekali.
"Baiklah, Nona. Beberapa pengawal akan berjaga di luar pintu," jawabnya, aku hanya mengangguk dan mendengar pintu ruangan itu tertutup.
Trace, dia adalah seorang lelaki yang lugu, pintar, dan sangat setia. Lelaki yang pertama kali aku temukan di sudut gang yang gelap sebelum aku menjadi salah satu Keluarga Verleon, bahkan saat ayah kandungku masih hidup. Ia terluka parah dan sedang kelaparan, aku menolongnya, ibu dan juga ayahku merawatnya. Dan aku sudah menganggapnya seperti saudaraku, usianya hanya berbeda 3 tahun dariku. Sejak kejadian itu ia mengabdikan diri pada keluargaku dan hanya menuruti perintahku seorang. Sejenak aku berpikir, mengapa aku selalu dikelilingi lelaki tampan?
Ah, aku jadi teringat ayahku. Ayah kandungku adalah Arnold Dreas Valkyrie, ia adalah seorang Marinir. Sejak kecil aku selalu diajari berbagai macam bela diri dan berbagai macam pelajaran yang sulit untuk aku pahami, aku tidak pernah dimanja olehnya dan selalu disakiti olehnya. Lebih tepatnya, ayahku menyiksa fisikku agar aku menjadi kuat di masa depan nanti. Dan benar saja hasilnya, mengingat semua itu membuatku tertawa kecil. Ayah dan Ibuku tidak pernah memelukku bahkan mencium keningku saja tidak pernah.
Tetapi aku menyayangi mereka, meskipun dengan akhirnya ayahku mati karena dibunuh saat aku berusia 15 tahun. Dan aku tidak tahu siapa yang membunuh ayahku, aku akan membunuh orang itu jika kelak aku mengetahuinya. Perlahan aku mengantuk dan akhirnya aku memilih untuk tidur saat ini, melepas semua kewaspadaanku.