Sementara itu, Raja, Permaisuri, dayang- dayang dan beberapa pengiring lainnya tengah asyik menyaksikan acara itu dari balik tandu yang cukup jauh dari pintu masuk Hutan Larangan.
Di dalam tandu, angin menghembus perlahan mencumbu wajah mungil putri Mahkota.
"Yang Mulia Raja!"
Tiba-tiba permaisuri yang tengah menggendong bayinya itu memanggil suaminya dengan perasaan bersalah.
"Ada apa permaisuri ku?" sahut Sang Raja.
"Sebenarnya kita telah melakukan dua kesalahan," kata permaisuri.
"Apa maksudmu, aku semakin tidak mengerti tentang ucapan mu." Tanya Raja dengan bingung.
"Sebenarnya sudah lama saya ingin mengatakannya, namun entah kenapa lidah saya seperti terkunci. Saya takut yang mulia akan tersinggung dan marah," kata permaisuri dengan sedih.
"Kenapa aku harus marah? Selama itu tidak buruk maka katakanlah karena aku tidak mungkin marah dan tersinggung."
"Yang mulia, kita sudah melakukan kesalahan, aku melihat janji yang dibayar hari ini tidak sesuai dengan janji yang pernah yang mulai ucapkan dulu."
Raja langsung terdiam mendengar perkataan Permaisuri.
"Apa maksudmu permaisuri ku?" Tanya Raja.
"Bukankah yang mulai mengatakan akan mempersembahkan sepuluh ekor sapi betina dengan sekantong emas untuk penghuni hutan larangan jika kita dikaruniai penerus tahta. Akan tetapi sekarang yang mulia hanya membawa dua ekor Domba yang kurus dan melempar kepalanya saja. Inilah kesalahan pertama kita," jelas permaisuri.
Raja termenung sebentar, pandangannya menerawang ke arah Hutan Larangan sembari berkata," Lalu apa kesalahan kita yang kedua?"
"Kesalahan kita yang kedua adalah kita tidak menepati janji pada waktu yang sudah kita tentukan. Bukankah kita berjanji akan membawa anak kita membayar janji kesini tepat saat anak kita berusia satu bulan. Tetapi kenyataannya putri mahkota telah berusia lebih dari itu, ini berarti kita sudah tidak menepati janji," kata permaisuri sambil berderai air mata di kedua pipinya yang merah.
"Permaisuri ku, engkau tidak perlu memikirkan kesalahan itu. Itu namanya kesalahan kecil yang tidak akan mengakibatkan apa-apa buat kita. Tenangkan hatimu, jangan kau membiarkan dirimu diselimuti oleh perasaan yang tidak-tidak!" kata Raja Yeonggi.
"Tapi jika kamu memang tidak enak hati, makan kita akan datang lain kali untuk membayar janji itu sesuai dengan apa yang kita ucapkan! " sambungnya.
"Hatiku bukannya tidak enak, tapi hatiku sangat berdebar-debar seakan sesuatu yang buruk akan terjadi." Kata permaisuri sambil melihat wajah mungil anaknya yang tertidur pulas dan kelihatan sangat tenang.
Angin yang datang dari dalam hutan larangan menghembus lembut membuat putri mungil itu tertidur pulas, di pangkuan Ibunya.
"Istriku, jangan berpikir yang tidak-tidak di depan Hutan Larangan. Lihatlah langit yang sangat terang dengan gumpalan awan putih menggelantung di angkasa. Itu pertanda tidak akan pernah terjadi apapun. Sebaiknya kamu serahkan putri mahkota kepada pengasuhnya karena sepertinya kamu terlihat sangat lelah makanya berfikir yang macam-macam."
"Yang mulia mungkin benar. Baiklah aku akan menyerahkannya pada pengasuhnya. "
Setelah itu Permaisuri menyerahkan putri mahkota kepada pengasuhnya.
Tepat saat itu nenek sihir itu muncul dan merebut putri Mahkota dari tangan pengasuhnya.
"Arrgg... "
Raja dan permaisurinya langsung menoleh saat mendengar teriakan pengasuh anak mereka.
Seketika itu mereka kaget saat melihat anak mereka sudah berada di tangan nenek sihir yang dulu mereka temui untuk membantunya melakukan permohonan.
"Yang mulia, itu anak kita... " Permaisuri langsung histeris melihat anaknya ada dalam dekapan wanita tua itu.
"Tenanglah istriku, dia adalah nenek yang dulu kota temui, oleh karena itu dia tidak mungkin mencelakai putri Mahkota. " Kata Raja menenangkan istrinya.
"Anda benar yang mulia, aku tidak mungkin mencelakainya melainkan andalah orang yang akan melakukannya. " Kata nenek itu dengan suara lantang.
"Apa maksud mu nenek? " Tanya Raja dengan geram.
"Karena kesalahanmu yang tidak menepati janji, maka putrimu anda akan dikutuk sebagaimana aku mengutuk anak pertamamu. Apa yang anda dapatkan akan diambil kembali. " Sahut nenek itu dengan ekspresi gelap.
Tidak lama kemudian, putri Mahkota yang ada dalam gendongannya langsung ia lemparkan ke sungai yang tidak jauh dari Hutan Larangan.