Seluruh badanku rasanya sakit. Perlahan, aku mulai mengumpulkan ingatan tentang apa yang baru saja terjadi. Arael, menangis, truk.
Jadi, apa mati karena tertabrak trus akan sesakit ini? Kalau iya, aku akan memberitahu semua orang bahwa mati dengan cara menabrakkan diri ke truk itu tidak dianjutkan. Mungkin bisa memilih cara lain untuk mengakhiri hidup yang tidak terlalu menyakitkan.
"Ini udah 5 jam, kenapa dia belum sadar juga?" samar-samar aku mendengar suara yang bercakap. Apa menjadi arwah juga bisa mendengar obrolan orang?
"Kamu kan dokter, seharusnya kamu tahu alasannya." ada suara lain yang menyahut.
Apa neraka seramai ini? Apa di neraka ada dokter juga?
"Dia sadar."
Lalu aku merasa ada sebuah tangan yang mengenggam tanganku.
"Can you hear me?" tanya suara pertama itu. Apa itu suara Ara? Sepertinya iya, tapi aku tidak yakin karena suara itu terdengar berbeda.
Mataku serasa dilem sangat kuat. Membuatku berusaha lebih keras untuk bisa membukanya.
Ruangan? Terang benderang? Ini surga atau neraka? Eh bukan ini bukan surga, ini neraka karena aku pasti tidak akan masuk surga. Tapi, kalau ini neraka, kenapa putih dan terang?
Mengedarkan pandangan, aku melihat wajah Ara yang tersenyum ke arahku. Ya ampun Tuhan, terima kasih Engkau masih membiarkanku melihat senyum di wajah Ara. Terima kasih.
Meski sedikit nyeri, aku mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Ara. Aku sih berharap dia akan menghilang, nyatanya tidak. Apa Ara juga ikut ke neraka? Kok bisa? Kenapa orang sesempurna Ara bisa ke neraka? Apa menjadi sempurna adalah sebuah dosa?
"Hei jangan nangis." dengan lembut, Ara mengusap pipiku.
Gue sedih kampret! Rasanya aku ingin berteriak seperti itu di telinganya.
Tujuanku mati agar aku tidak bisa bertemu denganmu lagi. Karena ada banyak alasan yang membuatku takut ketika aku berada di dekatmu. Tapi kini, bahkan ketika aku mati, kamu masih saja mengikutiku hingga ke neraka. Apa sebegitunya cara Tuhan mengejekku?
"Ain, whats wrong?" terdengar suara panik Ara.
Aku tidak bisa melihat, atau lebih tepatnya tidak mau melihat lagi.
"Kenapa dia? Apa ada yang salah?" suara panik Ara terdengar lagi.
"Dia belum sadar sepenuhnya. Jadi wajar kalau dia menutup mata lagi." suara itu terdengar familiar, tapi aku tidak bisa memutuskan siapa pemilik suara itu. "Ya ampun Ara, kemana semua kepintaranmu? Kok tiba-tiba jadi bego gini sih?"
Lalu aku tidak mendengar suara lagi.
***
Ketika tubuhku ditindih, aku bisa merasakan berat tubuh itu diatasku. Tidak hanya menindih, orang itu juga berusaha menciumku dan melepaskan baju yang aku kenakan. Aku ingin melawan, tapi tenagaku tidak cukup untuk bisa menandingi kekuatan orang itu. Ditambah lagi, aku belum sarapan dan makan siang.
"Om jangan. Nanti Bapak marah." kataku seraya menangis.
"Bapak kamu nggak akan marah kalau kamu nggak ngomong."
Aku tahu apa yang akan terjadi kepadaku. Meski aku masih kecil, tapi aku tahu apa yang akan terjadi. Sesuatu yang menyakitkan dan menjijikkan sedang menantiku.
Ketika si Om menurunkan celananya, aku menjerit lebih kencang dari sebelumnya. Sayangnya, tidak ada yang mendengar teriakanku. Bahkan aku malah mendapatkan sebuah pukulan. Menyakitkan. See, benar kan kalau sesuatu yang menyakitkan akan terjadi.
Tapi itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang mendesak bagian bawah tubuhku. Itu lebih menyakitkan daripada sebuah pukulan di pipiku.
"Jangan Om. Sakit."
"Ain, bagian mana yang sakit?" itu bukan suara si Om. Suara itu lebih menenangkan dan juga lembut.
Aku jadi galau. Aku ingin membuka mata dan terbebas dari mimpi buruk itu, tapi aku juga tidak mau kehilangan usapan lembut dikepalaku.
"Just tell me, dibagian mana yang sakit?"
Sadar!
Aku membuka mata dan mendapati berada ditempat lain. Iya, itu hanya mimpi. Mimpi buruk. Tidak mungkin aku kembali ke tubuh kecilku itu. Dan yang lebih penting lagi, tidak mungkin akan ada orang yang mengenaliku lagi disini. Aku aman.
Aku menangis. Menangis lega. Aku aman disini, mereka tidak tidak akan mengenaliku. Tidak akan ada orang yang tahu siapa aku yang dulu. Hanya Ibu panti dan Dokter Arya. Dan aku yakin, kedua orang itu tidak akan membocorkan rahasiaku kepada siapapun. Iya, aku aman.
"Bagian mana yang sakit?" Ara masih menanyakan hal yang sama.
Aku tersadar.
Aku belum mati. Usahaku sia-sia. Nyatanya aku masih hidup, masih bisa merasakan tatapan mereka dengan jelas. Ara yang duduk disampingku, Dokter Arya yang berdiri di depan ranjangku. Ilham yang berdiri tak jauh dari sofa.
Aku menangis lebih keras. Meluapkan apapun yang ada di dadaku.
"Bisa kalian keluar? Ada yang ingin aku bicarakan dengan Aini." itu Dokter Arya.
Lalu Ara dan Ilham keluar kamar.
Lama terdiam, akhirnya Dokter Arya berjalan ke arahku, duduk di kursi yang tadinya diduduki Ara.
"Hows your feeling?" Dokter Arya membantuku duduk.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku baik-baik saja, tapi aku juga tidak baik-baik saja.
"Aku kaget waktu kemarin dikabari Ara. Dia bilang kamu mencoba bunuh diri." Dokter Arya menghela napas.
Kalau kalian bisa dengar helaan napasnya, itu seolah menandakan kalau Dokter Arya lelah. Apa beliau lelah menanganiku? Bertahun-tahun kami mencoba mencari jalan keluar tapi tidak pernah ketemu. Dan bukannya menjadi waras, aku seolah hanya berputar-putar pada hal itu tanpa berusaha untuk keluar.
"Ain, kita sepakat untuk saling terbuka. Aku akan selalu ada untuk kamu, menjadi tempat curhat atau tong sampah kamu. Apa kamu udah nggak percaya sama aku?"
Dokter Arya terlihat terluka.
Apa yang membuatnya terluka? Apa karena seperti yang beliau katakan bahwa aku tidak percaya padanya? Aku hanya beban bagi Dokter Arya?
Aku menggelengkan kepala. Bukan. Aku percaya Dokter Arya. Aku percaya bahwa semua rahasiaku aman bersama Dokter. Aku percaya bahwa Dokter akan membawa perubahan kepadaku. Sejak dulu, sejak pertama kali bertemu Dokter Arya sampai detik ini, aku percaya Dokter Arya. Dan akan terus begitu.
"Apa karena Ara?" Dokter Arya kembali bertanya. Melihatku diam, Dokter Arya melanjutkan kalimatnya, "Ara memang temanku, tapi aku terikat sumpah dan kode etik. Kalau itu yang kamu takutkan, kamu tidak perlu. Karena sampai detik ini Ara tidak tahu apa-apa."
Lihat kan, Dokter Arya adalah orang yang bisa dipercaya. Dan keputusanku untuk mempercayai Dokter Arya adalah tepat.
***
Ara's POV
Apa yang mereka bicarakan? Kenapa lama sekali?
"Kenapa Aini bisa kenal sama Dokter Arya?" pertanyaan Ilham membuatku merasa makin tidak tenang.
Beruntungnya, tak lama kemudian Arya keluar dari ruang rawat Aini. Tapi ada sesuatu yang tidak beres. Wajahnya memerah menahan amarah. Tanpa peringatan, Arya langsung menghajarku di wajah, memberikan beberapa pukulan yang terasa sangat menyakitkan.
"Wow, Dokter, ada apa ini?" Ilham yang melihat langsung menghampiri kami berdua, berusaha melerai.
Setelah mendaratkan beberapa pukulan lagi, akhirnya Arya bangkit dan berdiri dihadapanku.
"Tanya sama kakak kamu yang terhormat ini apa yang udah dia lakuin ke Aini." lalu Arya berlalu meninggalkan kami.
Shit!
Peduli setan dengan indisipliner yang akan kami dapatkan. Ini tentang Aini.
Bukan tentang Aini yang menceritakan semuanya kepada Arya, tapi tentang Aini yang lebih percaya kepada Arya daripada aku.
"Ada sesuatu yang tidak aku tahu?" tanya Ilham sedikit ragu. Karena ini bukan kapasitas dia untuk bertanya.
"Jaga Aini." setelah mengatakan itu, aku pergi meninggalkan rumah sakit.
Aku berkendara tanpa arah dan tujuan. Ingin rasanya aku pergi sejauh mungkin dari hadapan Aini, tapi jelas aku tahu kalau aku tidak akan bisa melakukannya. Karena Aini sudah mengikatku. Hati dan jiwaku.
Kok rasanya geli ya?
Apa yang sudah Aini perbuat sampai dia bisa begitu berkuasa atas diriku? Dia hanya membuatkan aku makanan dan merapikan rumah, dia juga hanya menyiapkan aku baju setiap kali aku akan berangkat kerja. Dan itupun hanya berlangsung selama 6 bulan.
Tidak ada kontak fisik selama itu. Juga tidak ada rayuan maut yang dia lontarkan untuk menjeratku.
Tapi kenapa rasanya aku rela bertekuk lutut dihadapan Aini?
Aku merasa sakit ketika melihat Aini sedih.