Ara's POV
Saat ini aku hanya ingin segera sampai di rumah dan menikmati guyuran air dingin. Tak peduli dengan apapun, hanya itu yang aku inginkan. Bahkan aku mengendarai mobil dengan sembarangan. Membuat Aini beberapa kali harus menahan napas karena terkejut, juga berteriak ketika hampir menabrak pengguna jalan lainnya.
"Ara, nyawa gue cuma satu. Dan gue belum malam pertama tau!" entah itu protes keberapa yang aku dengar. Padahal perjalanan dari rumah sakit menuju rumah hanya 45 menit.
Apa tadi katanya? Malam pertama? Apa Aini bercanda?
Oke, kalau memang itu yang dia mau, itu yang akan dia dapatkan.
Tanpa mempedulikan Aini yang kesulitan mengikuti langkahku, aku menarik tangan Aini menaiki tangga menuju rumah. Beberapa kali Aini harus berjuang karena hampir jatuh. Kakinya terkantuk anak tangga.
"I'll give you what you want."
Dengan kasar aku menarik Aini memasuki rumah. Tanpa permisi ataupun basa basi, aku langsung menindih tubuh mungil Aini di tempat tidur. Menghirup aroma tubuhnya yang selalu membuatku tenang. Menciumi setiap inci kulitnya yang halus dan lembut.
Dibawahku, Aini meronta. Dia berteriak meminta untuk dilepaskan, berusaha mendorong tubuhku yang menindihnya. Itu terlihat lucu. Meski tahu bahwa Aini tidak akan bisa menyingkirkan tubuhku dengan mudah, tapi tekad untuk berusaha terus saja ditampakkannya.
Ada sesuatu yang mendesak untuk segera dilampiaskan. Rasanya aku bisa gila, bahkan meledak menjadi kepingan kalau tidak menyalurkan hal itu. Tapi, ketika aku melihat Aini yang kini mulai menangis, semuanya hilang.
Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa Aini menangis?
Langsung saja aku menyingkir dari atas tubuh Aini. Menatap wajah Aini yang sudah kusut dan basah oleh air mata. Itu pemandangan yang sangat memilikan.
"Ain, I'm so sorry. Aku ... Aku..." aku tidak mampu melanjutkan kalimat itu.
Dengan segenap kekuatan yang masih dimilikinya, Aini segera berjalan keluar kamar. Tanpa sempat merapikan baju ataupun rambutnya. Tentu saja aku mengejar. Takut kalau Aini akan bertindak hal yang tidak-tidak.
Blam! Pintu kamar sebelah tertutup. Tepat ketika aku mencapai depan pintu. Dan Aini menguncinya.
Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan? Kenapa aku bisa bertindak sebegitu mengerikannya?
Tok tok tok.
"Ain, buka pintunya. Bisa kita bicara sebentar?"
Entah usaha yang keberapa yang aku lakukan untuk membujuk Aini keluar dari kamar. Aku hanya ingin meminta maaf dan menjelaskan semuanya kepada Aini. Dan juga melihat bagaimana keadaannya saat ini.
Tapi apa yang akan aku katakan ketika Aini membuka pintu? Penjelasan macam apa yang bisa diterima oleh Aini akibat perbuatanku tadi?
Sampai malam, Aini masih betah mengurung diri di kamar. Dan akupun tak berani berpindah tempat. Aku lapar, tapi rasanya tidak tepat kalau aku malah makan disaat seperti ini. Tapi, bagaimana kalau Aini juga lapar?
"Ain, kamu mau makan apa? Kita pesen makanan dari luar aja gimana?" masih tidak ada sahutan.
pada akhirnya aku memesan beberapa masakan yang disukai Aini. Berharap Aini akan suka dan keluar ketika mencium bau harum masakan kesukaannya itu. Sayangnya tidak. Aini tetap mendekam di dalam kamar tanpa mengeluarkan suara.
Apa Aini baik-baik saja?
Memikirkan itu, seketika saja aku panik. Bagaimana kalau ternyata Aini berbuat nekat untuk menyakiti dirinya sendiri?
"Ain, buka pintunya. Kalau nggak, aku dobrak." teriakku. Mulai panik.
Kalau saja kakiku tidak menghentikan langkahnya disaat yang tepat, mungkin aku akan menubruk tubuh Aini.
Wajahnya datar, dengan mata yang sembab dan juga rambut yang berantakan. Tak ada senyum yang terulas diwajah itu. Bekas air mata tergambar jelas di wajahnya.
Hukuman apa yang pantas untukku?
Aini berjalan keluar kamar dan memasuki kamar kami. Aku mengikutinya. Setelah menemukan baju yang akan dia kenakan, Aini berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar. Dan aku masih setia mengikutinya.
Ketika berbalik hendak menutup pintu, Aini melihatku dengan tatapan yang sangat mengiris hati. Jelas ada luka yang tergores yang bisa kulihat dimatanya. Itu pertama kalinya kami bertatapan setelah kejadian sial itu.
"Ain, please, bisa kita bicara?" aku memohon sekali lagi. Dia hanya diam. Lalu menutup pintu.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Bahkan ketika selesai mandi, Aini tidak keluar kamar untuk makan malam. Dia langsung tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
Bad Ara!
***
Kadang aku berterima kasih kepada insomnia. Karena hal itu, aku tidka bisa tidur sama sekali. Membuatku bisa bangun lebih awal.
Aku tidur di sofa depan televisi. Padahal ini rumahku, tapi aku terlihat seperti penumpang.
Lupakan. Lebih baik kita membuat sarapan. Siapa tahu Aini akan tertarik untuk keluar kamar setelah mencium bau sarapan yang wangi. Masak apa kira-kira?
Pancake. Iya, menu sarapan yang mudah itu pasti akan menguarkan bau wangi yang akan memenuhi rumah. Membuat Aini keluar dan berniat untuk memakannya, karena ternyata semalam gadis itu tidak keluar kamar. Tidak makan malam.
Bahkan ketika aku selesai membuat pancake, Aini tidak keluar dari kamar.
Dengan semua perjuanganku ini, Aini tidak tersentuh?
Pukul 8 pagi aku baru berangkat menuju rumah sakit. Itu terjadi karena beberapa bagian ditanganku terluka ketika mencoba membuat pancake tadi. Ini aku yang terlalu payah atau memang para perempuan itu yang terlalu hebat? Mereka bahkan tidak melukai tangan mereka ketika membuat sarapan.
***
Aini's POV
Aku berharap ini mimpi buruk. Mimpi yang ketika aku membuka mata dan terbangun, semuanya tidak terjadi. Nyatanya bukan. Hal itu benar-benar terjadi. Arael Narendra, yang aku pikir dia adalah laki-laki yang berbeda. Laki-laki baik yang tidak akan melakukan hal bejat. Ternyata dia sama seperti laki-laki kebanyakan.
Apa aku yang terlalu polos dengan berfikir bahwa Ara berbeda?
Sadar, Ain, dia tetap laki-laki normal yang memiliki napsu. Dan bego aja kalau kamu menganggap Ara tidak akan menjamah tubuhmu. Apalagi kalian tidur satu ranjang.
Apa aku terlalu lengah sehingga aku tidak menyadari bahwa Ara sedang menunggu waktu yang tepat untuk melakukan hal itu?
Air mataku rasanya sudah habis dan kering, tapi nyatanya tetap saja mengalir. Seberapa keraspun aku berusaha, air mata itu tetap saja mengalir.
Aku takut. Takut memejamkan mata. Takut kalau bayangan mengerikan itu akan terus berputar diotakku. Aku takut, Ara akan melancarkan aksinya lagi saat aku sedang lengah.
Ketika mendengar suara berisik di dapur, aku memutuskan untuk tidak keluar kamar. Aku takut. Kalau aku keluar kamar, hal yang diluar kendaliku akan terjadi. Pintu tertutup ketika waktu menunjukkan pukul 8 pagi. Akhirnya aku sendiri. Lalu, apa yang akan aku lakukan?
Hanya mengambil ponsel dan dompet serta jaket, aku lalu keluar rumah. Meninggalkan tempat yang sudah 6 bulan lebih menjadi tempatku untuk kembali. Tempat dimana aku merasa dianggap dan diperlukan.
Lalu aku harus kemana?
Aku tidak punya uang. Aku tidak punya tempat tujuan.
Sebenarnya ada satu tempat yang sangat ingin aku kunjungi, tapi kalau aku kesana, aku kemungkinan besar akan bertemu dengan Ara. Aku ingin bertemu dengan Dokter Arya. Aku ingin menumpahkan segala keluh kesahku kepada beliau agar aku bisa mendapatkan ketenangan.
Ketenangan ya?
Bagaimana kalau aku mati saja? Pasti aku tidak akan merasakan sakit seperti ini kan?
Aku rasanya tidak peduli akan masuk surga ataupun neraka. Toh makhluk kotor sepertiku, sekeras apapun aku berbuat kebaikan, akan tetap masuk neraka kan?
Lagi pula, kalau aku mati, tidak akan ada orang yang bersedih. Bapak dan Ibu juga tidak akan masalah kalau anak mereka mati, karena bagi mereka aku hanyalah aib. Angga? Apa adik laki-lakiku itu tahu kalau dia punya seorang kakak perempuan yang hina? Aku sih berharap dia tidak tahu.
Ara? Apa artinya aku bagi ara? Aku hanya teman yang diajak kerjasama untuk mengelabuhi keluarganya. Kalau saatnya nanti aku sudah tidak diperlukan, Ara pasti akan melepas aku.
Siapa lagi?
Dokter Arya? Tentu Dokter Arya akan bagahia karena salah satu pasiennya yang tidak pernah sembuh ini akhirnya berhenti. Membuat Dokter Arya akan terbebas dari satu orang yang menyebalkan.
Arika? Aku yakin, seiring berjalannya waktu, Arika akan melupakanku. Dia tidak akan merugi kehilangan salah satu temannya.
Oke, ini keputusanku.
Tuhan, aku minta maaf kalau selama hidup terlalu banyak berkeluh kesah. Aku sadar siapa diriku. Jadi untuk kali ini, mohon kabulkanlah permintaanku. Semoga dengan matiku ini, bisa membuat orang-orang disekitarku merasa tenang.
Aku takut, kalau ternyata tertabrak itu menyakitkan. Kalau ternyata kematianku tidak akan semudah itu. Tapi aku yakin dengan keputusanku.
Sepertinya Tuhan mendengar dan mengabulkan permintaan terakhirku. Tak berselang lama, ada sebuah truk yang lewat. Dengan kecepatan tinggi.