Dokter Arya mengirimkan pesan, memberitahu bahwa jadwal untuk bertatap muka adalah hari ini. Dan untuk jamnya, Dokter Arya menyebutkan pukul 2 siang. Jadi, aku harus berangkat setelah makan siang.
[Aku ada urusan sebentar, nanti kalau udah kelar aku kabarin. Siapa tahu pas jam pulang kerja kamu, jadi kita bisa pulang bareng.]
Selesai mengirimkan pesan kepada Ara, aku langsung berjalan kearah halte bus dan menaiki bus yang akan mengantarkanku ke rumah sakit.
Ternyata Dokter Arya sudah menunggu kedatanganku. Beliau duduk di kursinya sembari membaca sebuah buku.
"Halo Aini, apa kabar?" Dokter Arya bangkit dan meletakkan bukunya, menyambut kedatanganku.
Kami bersalaman. "Baik, Dok. Apa aku terlambat?"
"Seperti biasa, tidak." lalu Dokter Arya tersenyum.
Ya ampun, senyumnya itu lho, menggemaskan. Jadi ingin mencubit pipi dokter deh.
Tanpa basa-basi, aku memulai sesi kami kali ini. Jangan heran kalau aku yang memulai, karena itu sudah biasa. Terkadang bahkan tanpa salam sapa, aku langsung memulai sesinya.
Pada akhirnya aku menceritakan apa yang mengganggu pikiranku. Tentang Ara yang tiba-tiba membahas tentang pernikahan. Tapi tentu saja aku tidak menyebutkan nama Ara dihadapan Dokter Arya. Rahasia.
"Apa kamu takut?" tanya Dokter Arya kalem. Aku menganggukkan kepala. "Karena?"
"Apa masih ada yang mau menerima aku?" hampir saja tangisku pecah.
Setiap kali membahas hal itu, aku merasa semua pertahanan yang aku bangun selama ini runtuh. Tidak ada tameng yang akan mellindungiku.
"Apa kamu pernah membicarakan hal ini dengan kekasihmu? Tentang masa lalumu." aku menggeleng. Untuk apa?
Karena dia bukan kekasihku Pak Dokter Ganteng!! teriakku dalam hati.
"Aini, kita semua tahu, bahwa kunci hubungan yang langgeng dan harmonis adalah kepercayaan dan komunikasi. Kalau pada akhirnya dia tidak menerima kamu, itu akan lebih baik kalau diketahui sekarang, agar waktumu tidak habis untuk memikirkan orang yang tidak menerima mau kamu apa adanya."
"Aku takut." kini air mataku berjatuhan.
Iya, aku takut ditolak. Aku takut diabaikan. Aku takut dengan pandangan menghakimi itu.
Apa ini artinya aku belum menunjukkan progress yang bagus? Setelah sekian lama berkonsultasi dengan Dokter Arya, kenapa aku masih memikirkan hal itu?
Pada akhirnya aku hanya bisa sesenggukan. Dan Dokter Arya tidak mengatakan apapun, karena beliau tahu bahwa saat ini menangis adalah hal yang aku inginkan. Bahkan Dokter Arya tidak bergerak ketika 30 menit berlalu dan aku masih menangis.
"Sudah enakan?" tanya Dokter Arya ketika aku menghentikan tangisanku. Aku menganggukkan kepala.
"Maaf. Aku berlebihan." kataku lirih.
Dokter Arya memang dokter terbaik yang pernah bertemu denganku. Meski aku bersikap sangat menyebalkan, tapi Dokter Arya tidak pernah menunjukkan wajah kesal. Dan selama aku berkonsultasi dengan Dokter Arya, semakin lama aku merasa bahwa Dokter Arya adalah sosok kakak yang terkadang aku inginkan.
"Apa kamu masih mau melanjutkan perbincangan kita?"
Satu lagi, Dokter Arya selalu tahu bagaimana kondisiku. Ketika aku terlihat tidak baik, Dokter Arya tidak akan memaksaku untuk melakukan sesi konsultasi. Terkadang aku berharap Dokter Arya masih single, jadi aku bisa berharap bahwa suatu saat Dokter Arya akan melirikku sebagai seorang perempuan. Tapi aku sadar diri, laki-laki mana yang mau dengan perempuan sepertiku.
"Bisa kita sambung lain waktu?" tanyaku.
"Oke, kapanpun kamu mau melanjutkan sesi kali ini, jangan sungkan untuk menghubungi." senyum cerah Dokter Arya terkadang memang sangat menyilaukan.
Aku keluar dari ruangan Dokter Arya, dan langkahku langsung berhenti begitu saja. Seolah aku membeku.
Arael.
Sejak kapan dia ada disana? Apa yang dia lakukan disana? Kenapa dia ada disana?
***
Ara's POV
Kaget. Tak kusangka aku akan bertemu dengan Aini di rumah sakit. Dan aku juga tidak menyangka, bahwa pamitnya Aini untuk urusannya ternyata di rumah sakit. Kenapa?
Kalau melihat Aini baru saja keluar dari ruangan Dokter Arya, aku bisa menarik sedikit kesimpulan. Bahwa Aini tidak mungkin sedang sakit fisik. Karena meski seorang dokter, Dokter Arya tidak melayani sakit fisik. Apa ini ada hubungannya dengan surat yang pernah aku temukan ketika membantu Aini pindahan?
"Hai." Aini adalah orang yang pertama berhasil menguasai diri.
"Hai." balasku. Tatapanku masih tertuju kepada Aini.
"Pulang jam berapa?" pertanyaan itu terdengar aneh. Apa masih bisa dianggap biasa saja pertanyaan itu?
"Jam 4." aku melirik jam tanganku, sekarang jam 3. "Tunggu diruanganku. Kita pulang bareng."
Aku langsung berjalan ke arah ruanganku. Ketika Aini sudah ada di dalam ruangan, aku meminta perawat jaga untuk mencegah siapapun masuk ataupun keluar, kecuali aku.
Dokter Arya. Apa sebenarnya yang dilakukan Aini bersama Dokter Arya? Aku menjamin mereka tidak akan melakukan tindakan yang tidak bermoral, tapi tetap saja menjadi pertanyaan besar bagiku.
"Wah Ara, tumben kesini. Ada apa?" sambutan ramah khas Arya.
"Ada perlu apa Aini kesini?" tanyaku langsung. Tanpa perlu membalas basa basi Arya.
"Kami berbincang-bincang. Apa kamu kenal Aini?" kini Arya memasang wajah penasaran.
"Tentang?" mengabaikan pertanyaan Arya tentang apakah aku mengenal Aini atau tidak.
"Ayolah Ara, kamu tahu kode etik kan. Apapun yang kami perbincangkan, kamu tidak mempunyai hak untuk mengetahuinya." Arya masih dengan tenangnya menjawab pertanyaanku. Hal itu membuatku semakin diliputi kemarahan.
Tanpa banyak kata, aku langsung saja mengambil kertas yang ada dihadapan Arya. Berharap ada sedikit petunjuk tentang Aini kenapa dia kesini. Tapi kertas itu hanya berisi coretan Arya dan beberapa huruf yang dia tulis.
Aku melihat senyuman terukir di wajah Arya. Apa dia mengejekku?
"Apa kamu mau berbincang denganku sebentar? Sembari menunggu jam pulang tiba."
Perasaanku tiba-tiba tidak enak. Seolah aku bisa melihat bahwa Arya sedang merencanakan sesuatu dikepalanya itu.
Dikuasai oleh rasa penasaran tentang Aini, aku memilih untuk duduk dikursi. Kursi yang tadi diduduki oleh Aini.
"Ada apa?" tanyaku langsung. Rasanya menyesal sudah mau duduk bersama dengan Arya.
"Apa kamu sudah memiliki kekasih? Karena sepertinya kamu sudah jarang ngobrol denganku." apa itu pertanyaan jebakan?
Kuamati Arya. Teman yang sudah lama ku kenal ini terlihat antara serius dan juga tidak. Jelas bahwa motif utama dia mengajakku berbicara hanyalah untuk mencari tahu hubunganku dengan Aini. Tapi sayangnya terlalu sulit untuk tidak berkata jujur dengan Arya, mengingat aku pernah beberapa kali berbincang dengannya untuk sesi konsultasi.
Tunggu. Apa Aini juga melakukan sesi konsultasi dengan Arya?
"Apa dia konsultasi denganmu?"
"Ara, jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Kamu tahu itu nggak sopan." Arya masih setia meladeniku dengan santai. Bahkan dia kini tampak sangat rileks karena menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
"Persetan dengan sopan santun."
"Wow, apa ini Arael yang aku kenal? Kenapa dia bisa berkata kasar seperti itu?"
Diantara sekian banyak dokter kesehatan jiwa, kenapa Aini bisa berakhir dengan Arya? Apa karena dia tampan? Yah, walaupun dia tidak setampan aku.
Aku menghela napas panjang dan berat. Berusaha menenangkan diri dan juga emosi, agar aku tidak langsung menghajar wajah menyebalkan Arya.
"Times up. Aku pulang." lalu aku meninggalkan ruangan Arya.
Bisa dipastikan kalau Arya akan sedikit kesal kepadaku karena dia tidak mendapat apa yang dia inginkan. Tapi aku juga yakin kalau Arya akan berusaha dengan keras untuk bisa mengulik info apapun tentang aku atau Aini.
Aini. Ah Aini, ada apa sebenarnya?
Di ruang kerjaku, Aini masih setia duduk disana. Bahkan sepertinya dia tidak berubah posisi duduk. Langsung saja aku menarik Aini untuk keluar ruangan dan menuju mobil. Ditengah perjalanan menuju parkiran, aku bertemu dengan Arya.
Lagi, senyuman licik tergambar jelas diwajah Arya. Andai tidak ada Aini, aku tentu saja langsung akan menerkam Arya dan menghujaninya dengan pukulan yang sangat keras.