Chereads / Aini : Perjuanganku / Chapter 14 - Harga Diri

Chapter 14 - Harga Diri

Ara's POV

Ara bodoh!

Apa coba tujuannya ngasih kartu ke Aini? Semudah itukah harga diriku tersakiti?

Ketika melihat belanjaan yang dibawa Rosa, jujur saja aku terkejut. Bukan karena belanjaan yang sangat bejibun itu. Tapi karena ternyata kepergian Aini untuk shopping. Kalau tahu begitu kan aku bisa ikut. Tapi bukan Bunda namanya kalau tidak memilikir rencana terselubung.

Meski begitu, aku tetap berterima kasih kepada Aini, karena dia berhasil membuat Bunda merasa 'hidup' lagi.

Aku sadar, Bunda pasti merasa kesepian. Ketiga putranya sudah memiliki kesibukannya masing-masing, dan yang lebih parahnya lagi, kami terpisah jarak yang sangat jauh. Berbeda benua. Ditambah lagi Ayah yang masih aktif mengajar di kampus, membuat Bunda seolah merasa terabaikan.

Ketika beberapa tahun yang lalu Bunda protes karena aku belum juga mengenalkan kekasihku, aku sedikit curiga. Curiga kalau Bunda sudah menunjukkan tanda-tanda minta cucu. Hahaha tentu saja bukan. Aku hanya merasa curiga kalau Bunda sudah benar-benar merasa kesepian. Dan kekasih yang selalu dimintanya itu hanya agar beliau memiliki teman untuk melewati hari-hari sepinya. Ditambah lagi, beberapa teman Bunda yang anakku seumuran denganku sudah menikah dan memiliki anak.

Maafkan aku Bunda, anakmu ini belum bisa membahagiakanmu.

Dan sekarang aku merasa tersinggung karena Bunda berbelanja untuk Aini. Padahal kan dia pacarku, tanggung jawabku. Yah walau itu hanya akting belaka. Tapi ada sesuatu di dalam diriku yang terluka.

"Kamu serius ngasih kartu ini ke aku?" pertanyaan itu terus saja terlontar dari mulut Aini. Entah untuk yang keberapa.

"Iya." jawabku singkat.

"Gimana nanti kalau aku foya-foya? Trus uangnya abis?" Aini pun masih saja mengekor dibelakangku. Dengan membawa kartunya.

Aku menaikkan bahu. "Silahkan."

Bukan mau sombong, tapi uang kan bisa dicari lagi kalau habis. Aku selama ini aku tidak pernah memiliki keinginan untuk membelanjakan uang. Lalu ketika mengetahui jumlah uang di rekening itu, aku hanya merasa bingung.

Mungkin Tuhan mengirim Aini untuk mengurai kebingunganku dengan rekening itu.

"Pak Bos serius?" mata berbinar itu terlihat mempesona. Aku menganggukkan kepala.

Ya Tuhan, kenapa mata itu harus begitu indah?

Aku berharap bisa menghentikan waktu. Karena sedektik kemudian Aini merengkuh wajahku dan mencium pipiku. Gerakan cepat itu tidak aku sadari. Ketika menyadarinya, Aini sudah berlari masuk ke dalam kamar dan menguncinya.

Damn!

Aku tidak tahu jalan pikiran orang. Terlebih perempuan. Tapi terlihat jelas bahwa Aini terlihat bersinar. Aura bahagia menguar sangat dahsyat. Pikirku, dia akan segera menggunakan kartu itu dan menguras habis isinya, nyatanya setelah seminggu kartu itu ada ditangan Aini, belum ada notifikasi transaksi. Serius?

Aku ingin bertanya, tapi tidak yakin. Mungkin saja pertanyaanku akan menyinggung perasaan Aini.

Aini lebih bahagia. Suasana rumah jadi lebih cerah. Rumah terlihat lebih rapi dan bersih.

Dia masih bekerja di kedai kopi, dan aku masih bekerja di rumah sakit.

Setiap hari dia akan membuatkan aku bekal yang sehat dan mengantar kepergianku dengan senyum yang terkembang.

Sebegitu hebatnya kah efek sebuah kartu?

Yang sampai detik ini belum digunakannya.

Hingga suatu hari, Aini mengirimi pesan kepadaku bahwa dia akan berbelanja bahan makan dan keperluan rumah lainnya.

[Aku pulang jam 4, kita bisa belanja ketika aku pulang.]

[Kita ketemu disana aja.]

Benar saja, Aini sudah menungguku di tempat belanja. Dengan wajah sumringah yang masih setia terukir diwajah. Perempuan dan belanja. Memang dua hal yang sulit untuk dipisahkan.

Dan untuk pertama kalinya, aku mendapatkan notifikasi transaksi dari rekening bank. Dan untuk pertama kalinya Aini menggunakan kartunya untuk berbelanja. Berbelanja bahan kebutuhan rumah. Rasanya ingin tertawa kencang. Menertawakan kebodohanku yang sudah berpikir bahwa Aini akan menghabiskan isi rekening hanya dalam waktu tak kurang dari satu bulan. Faktanya, Aini tidak seperti itu, bahkan dia menggunakan kartu bukan untuk kebutuhannya sendiri.

***

Apa hal menyenangkan yang bisa didapat dalam waktu singkat? Jawabannya adalah belanja. Meskipun hanya belanja bulanan.

Hahaha semudah itulah membuatku bahagia. Apalagi kalau ternyata aku tidak perlu memikirkan berapa uang yang harus aku keluarkan untuk belanja itu. Double kill of happiness.

Setelah berbelanja, aku merapihkan barang belanjaan dan memasukkan kedalam kilkas. Juga beberapa tempat penyimpanan yang memang sudaj aku persiapkan beberapa hari. Badan memang meronta untuk istirahat, tapi rasanya memang tidak tenang kalau masih belum beres pekerjaan rumah.

"Boleh aku bantu?" hampir saja aku menjatuhkan satu pack telur ayam kampung yang menjadi favorit Ara.

"Ish, bisa nggak sih kalau nggak ngagetin?" omelku kepada Ara. Karena memang Pak Dokter memang selalu saja datang mengagetkan. "Sini, bantu masukin sayuran ke wadahnya."

Duduk di lantai dapur dan mulai memilih sayuran yang layak dan tidak untuk disimpan.

"Kamu beresin ini semua, aku mau masak buat makan malam." kataku, sembari bangkit menuju kompor.

Masak apa? Tadi, ketika sedang berkeliling untuk berbelanja daging, aku melihat udang dan cumi. Rasanya sangat menggiurkan memasak kedua seafood itu, padahal aku belum pernah memasak cumi. Jadilah aku membayangkan capcay seafood yang sangat menggiurkan. Bahkan aku harus menelan air liur ketika membayangkannya. Dan juga aku menolak tawaran Ara yang mengajakku makan malam di luar.

"Masak apa?" tanya Ara singkat.

"Capcay seafood. Kamu nggak alergi kan?" tanyaku balik. Ya ampun, kenapa baru kepikiran alergi ya?

Ara menggeleng. Benar-benar bersyukur dengan jawaban Ara.

Ketika aku sibuk dengan bahan makanan, Ara dengan kesadarannya menyiapkan piring dan juga meja. Wah, kemajuan besar nih. Atau ada maunya?

Adegan ini terlihat seperti kami adalah pengantin baru. Saling bahu membahu dalam urusan rumah dan masih terlihat hangat karena kami masih dalam masa manis. Kata orang sih begitu. Tapi kita tunggu saja, ketika kami sudah tinggal lama dan mengetahui sifat asli masing-masing, apakah masa manis ini masih akan terlihat?