Ara's POV
Aku mulai terbiasa dengan kehadiran Aini. Ketika aku pulang ke rumah dan tidak bisa menemukan dimana Aini, rasanya aneh. Ada bagian dari diriku yang kosong. Tapi ketika aku melihat wajahnya yang mengulas senyum, aku merasa bahwa aku lengkap. Kalau kata Bunda, aku jatuh cinta. Entahlah.
Tapi memang Aini adalah gadis pertama yang memiliki hubungan spesial denganku. Meski awalnya canggung, kami pada akhirnya bisa akrab. Segala tingkah ajaibnya yang terkadang membuatku merasa heran, kini sudah biasa dimataku. Apalagi kalau Aini sudah memasuki masa PMS. Kucing yang jinak dan lucu itu akan berubah menjadi singa galak yang bahkan akan menggigit hanya karena aku salah melangkah.
Aku menceritakan apa yang aku rasakan ini kepada Ayah. Dan respon Ayah tidak berbeda jauh dengan apa yang Bunda berikan meski dengan gaya penyampaian Ayah. Apa cinta seperti itu?
"Tapi bisa juga karena kamu sudah terbiasa dengan kehadirannya, makanya kamu merasa seperti itu." kata Ayah, ketika aku melakukan sesi curhat untuk kesekian kalinya untuk memastikan apa yang aku rasakan. "Kamu tahu ungkapan Jawa, 'witing tresno jalaran soko kulino'?"
Aku menggelengkan kepala. Tidak tahu, karena memang tidak ada darah Jawa dalam keluargaku dan bahasa Jawa adalah bahasa tersulit yang pernah aku temui.
"Itu artinya, ada rasa cinta dan sayang yang tumbuh karena sering bertemu dan berinteraksi."
"Aini pernah bilang, kalau dia takut ketika kami berpisah, dia akan menuntut banyak hal karena selama ini dia menikmati fasilitas yang aku berikan."
"Apa kalian akan berpisah suatu saat?" tanya Ayah.
Aku menggelengkan kepala. "I don't know."
"Apa kalian pernah membicarakan tentang pernikahan?"
Sedikit terkejut dengan pertanyaan Ayah, tapi aku segera menggelengkan kepala.
Pernikahan? Rasanya itu topik pembicaraan yang tidak pernah terpikirkan untuk dibahas. Jangankan pernikahan, topik tentang perasaan kami pun tidak pernah dibahas.Tapi aku tidak bisa megatakan hal itu kepada Ayah, karena itu artinya aku akan membongkar sandiwara kami.
Tunggu. Apa itu masih berlaku? Sandiwara kami maksudnya.
Karena selama beberapa bulan ini kami menikmati kebersamaan yang ada. Memang tidak ada pembicaraan lagi tentang sandiwara itu, tapi entah kenapa rasanya aku ingin menegaskan kepada Aini bahwa hal itu sudah tidak berlaku lagi.
Apa alasannya? Akutidak yakin. Yang jelas, untuk saat ini aku hanya ingin bersama dengannya untuk waktu yang lebih lama. Selama-lamanya.
Ketika pulang ke rumah, aku menemukan Aini sedang tidur di kamar.
Senang menemukan dia ada di dalam rumah. Meski sedang tertidur. Paling tidak, aku bisa melihatnya.
Apa aku harus membicarakan apa yang aku dan Ayah bahas tadi? Maksudnya tentang pernikahan.
"Hei, udah pulang?" Aini menyapaku ketika melihatku sedang duduk di sofa. Dia, dengan rambut berantakan sehabis tidur, berjalan ke dapur untuk minum.
Rambut berantakan yang dia kuncir keatas, yang memamerkan leher jenjangnya. Ya Tuhan, kenapa setiap inci tubuh Aini adalah godaan?
Itulah Aini. Tidak pernah merasa risih ataupun ribet dengan tatanan rambutnya yang berantakan setelah bangun tidur. Dan entah kenapa, melihat Aini seperti itu malah membuatku senang. Dia terlihat manis.
Setelah minum dan merapikan rambutnya, Aini duduk disampingku. Menyandarkan kepalanya di pundakku dan mulai menyalakan televisi. Padahal aku tahu, Aini tidak begitu suka acara televisi.
Kenapa tiba-tiba jantungku berdebar kencangnya? Padahal aku hanya ingin membahas tentang pernikahan kepada Aini. Itu kan bukan topik yang berat.
Oke, inilah waktunya.
"Ain." panggilku. Dia diam saja. Ketika kulirik, dia hanya mendongakkan kepala tanda memperhatikan panggilanku. "Have you ever thought about marriage?"
Aini langsung menegakkan tubuhnya. Seolah pertanyaanku memiliki sengatan listrik.
"Kenapa?" tanyanya.
Aku harus menjawab apa untuk pertanyaan itu?
"Entah."
"Trus kenapa kamu menanyakan hal itu?" tuntutnya.
"Ayah yang memulai." maaf Ayah, aku mengunakan nama Ayah untuk berdalih. Tapi memang Ayah yang memulai membahas pernikahan kan?
"Entah." itu perkataan Aini.
Jadi, apa itu artinya?
Apa Aini tidak pernah memikirkan tentang pernikahan atau memang dia tidak mau memikirkannya?
"Aku pikir itu untuk orang dewasa. Aku belum mampu untuk memikirkannya." tambah Aini.
Dewasa? Berapa usia yang pas untuk dikatakan dewasa? Apa usia 18 tahun yang notabene sudah bisa memiliki KTP termasuk dalam bagian dewasa? Apa usia 30 tahun yang bisa dikatakan dewasa? Atau mereka yang berusia 35 tahun? Atau mereka yang sudah memiliki napsu bisa dikatakan dewasa?
"Kenapa ada pembahasan tentang itu?" kini Aini yang bertanya.
"Entah."
Aku melihat kearah Aini. Disampingku, dia memasang wajah yang kesal. Tipe wajah yang akan dia tampakkan ketika aku tidak menjawab pertanyaannya ataupun tidak memberikan tanggapan yang diinginkannya.
"About you ... your worried about the future." rasanya aku tidak rela kalau pembicaraan ini mengambang disini tanpa ada penjelasan lainnya lagi.
Tapi apa ini saat yang tepat untuk membicarakan masa depan? Tentang pernikahan?
"Apa Ayah dan Bunda menuntut kamu untuk segera menikah?" aku menggelengkan kepala untuk pertanyaan yang satu ini. Tidak. Tidak secara gamblang. "Lalu?"
Menghela napas rasanya tidak mampu membuat rasa resahku berkurang. Ditambah lagi tatapan mata Aini yang tidak biasa, membuatku sulit untuk bernapas dengan normal.
***
Aini's POV
Pernikahan?
Kenapa Ara tiba-tiba mengangkat topik itu? Apa Ayah dan Bunda memojokkan dirinya dengan pernikahan? Apa kedekatan kami membuat keluarganya yakin bahwa aku bisa membina sebuah hubungan pernikahan?
Aku sedikit panik. Sedikit oke.
Aku pernah membayangkan sebuah pernikahan yang indah dan harmonis. Memiliki suami yang sayang dan cinta kepadaku dan keluargaku, juga anak-anak kami. Memiliki 2 orang anak yang keduanya laki-laki, sehingga aku adalah perempuan tercantik dalam keluarga. Iya, meski hanya dalam keluarga, aku cukup bangga menjadi yang tercantik. Sama seperti Bunda.
Itu dulu.
Meski keluargaku bukanlah keluarga yang harmonis.
Ayahku, yang aku panggil Bapak, bukanlah ayah seperti Ayah Ara. Bapak kasar dan suka main tangan. Tidak hanya sekali dua kali beliau melayangkan tangannya ke tubuhku, juga tubuh Ibu. Bapak juga ayah yang tidak peduli dengan keluarganya. Setiap hari bapak akan bangun siang. Setelah itu pergi bersama teman-temannya dan pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Mengenaskan.
Yang lebih mengenaskan lagi, Bapak bahkan tidak pernah mau melihat kearahku lagi setelah kejadian itu. Sampai akhirnya aku diusir dari rumah dan mulai hidup sendiri. Beruntungnya aku bertemu dengan Ibu panti yang baik.
Jadi, ketika Ara menanyakan tentang pernikahan, aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku ingin memiliki pernikahan, tapi aku juga takut gagal, apalagi kalau suamiku ternyata tak berbeda jauh dengan Bapak. Aku ingin memiliki suami yang sayang kepadaku dan menerimaku apa adanya, tapi aku juga takut kalau suamiku akan membenciku ketika tahu masa laluku. Aku ingin memiliki anak-anak yang lucu dan baik, tapi aku juga takut kalau mereka akan meninggalkanku ketika tahu bagaimana ibu mereka dulunya.
Ketika Ara terlelap dalam tidurnya, aku memilih untuk menikmati malam di atap. Hal yang sudah lama tidak aku lakukan. Angin malam yang dingin sepertinya bisa mendinginkan kepalaku yang sedari tadi panas memikirkan tentang pernikahan.
Ah, sepertinya aku harus menemui Dokter Arya. Atau memang ini sudah jadwal kunjunganku?
Aku terkejut ketika melihat Ara berdiri dibelakangku, dengan napas yang terengah-engah seperti habis berlari.
"Ada apa?" tanyaku, sembari mendekat kearah Ara.
Seperti biasa, dia tidak menjawab. Hanya memandangku dengan tatapan yang lega. Lega?
Lalu Ara memelukku dengan erat. Wow, ada apa ini?
Pelukannya erat, seolah dia tidak ingin aku menghilang. Memangnya aku mau kemana? Lompat dari atap?
Tapi aku merasa bahwa ada sesuatu yang menganggu pikiran Ara. Dan menjadi cerewet bukanlah pilihan yang tepat. Jadilah aku memeluk Ara balik dan menepuk punggungnya pelan. Membiarkan Ara memelukku sampai dirasa puas.
Kembali ke rumah, aku tidak berani bertanya tentang alasan Ara memelukku. Tapi kalau tidak bertanya kok mulut rasanya gemes ya?
Dua mug coklat panas kesukaan Ara tersaji. Jadilah malam ini kami menikmati malam dalam keheningan dengan coklat panas ditangan masing-masing.