Sudah 6 bulan aku tinggal bersama Ara.
Semakin lama, Ara semakin membaik. Maksudnya, dia sudah semakin banyak mengobrol denganku. Yah, walaupun terkadang dia bisa sangat menyebalkan karena mengunci rapat mulutnya. Seharian tanpa mengeluarkan suaranya. Pelit suaranya masih.
Tidak hanya itu. Perlakuan Ara kepadaku juga semakin manis. Terkadang dia akan pulang larut malam dan membawakan makanan kesukaanku tepat ketika aku pulang shift malam, walaupun dia sendiri tidak suka. Apalagi kalau bukan sate kelinci.
Biasa saja kan? Tapi menurutku itu manis. Karena ketika kamu pulang dari shift malam dan kelaparan, itu adalah hal yang sangat patut disyukuri karena ada makanan tanpa perlu bersusah payah memasak.
"Makasih." aku langsung ke dapur dan menyantap sate kelinci kesukaanku. Ara hanya akan melihatku memindahkan sate dari piring ke mulut. Dan aku tidak akan repot-repot menawarinya, karena dia hanya akan muntah ketika melihat wujud satenya.
Apa kami ada kemajuan lainnya selain dalam hal berbincang? Maksudnya tentang hubungan kami yang menjalin kasih. Jawabannya tidak.
Kami memang masih menjadi sepasang kekasih dihadapan keluarga Ara. Bahkan aku pernah diajak berkunjung ke rumah orangtua Ara. Juga berlibur bersama ketika seluruh keluarganya ada di Indonesia. Tapi tidak terjadi apa-apa diantara kami. Bukan bermaksud bahwa aku menginginkan hal apapun itu yang ada dipikiranku untuk terjadi, tapi memang begitulah faktanya.
Tapi aku akui, kami menjadi semakin dekat.
Salah satu bentuk kedekatan kami adalah menonton televisi bersama.
Meski sudah larut malam, kami akan menonton televisi meski pikiran kami melayang entah kemana. Dan akan ada obrolan ringan yang terjadi. Meski kebanyakan aku bermonolog sih. Tapi paling tidak Ara mendengarkan apa yang aku ucapkan. Atau paling tidak itu yang terlihat.
Ara kadang akan memegang laptopnya dan membaca beberapa email dan juga jurnal tentang kedokteran. Atau mungkin mengurusi pekerjaan lainnya. Kalau tidak, dia hanya akan membaca buku. Karena sejatinya Ara bukanlah orang yang suka menonton televisi.
Kalau sudah tidak ada yang bisa menjadi bahan pembicaraan, aku hanya akan diam saja menonton televisi yang sudah tidak menarik hati. Walau di rumah ini tersambung tv kabel, aku lebih suka menonton siaran tv lokal yang terkadang membuatku ingin muntah dengan tingkah para artis.
Oh, satu lagi. Ara sudah tidak keberatan kalau kami melakukan kontak fisik. Bukan yang aneh-aneh sih, tapi itu terjadi. Masih ingat jelas, kalau dulu kami tidak pernah melakukan kontak fisik. Bahkan bersalaman pun kami tidak pernah. Tapi sekarang, Ara tidak merasa risih ketika aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Kalau dulu, dia akan segera menjauh.
Eh tapi, Ara dulu pernah memelukku ketika aku sedih. Tapi aku lupa, kenapa aku sedih.
Pekerjaan.
Untuk pekerjaan, Ara sudah beberapa kali menyuruhku untuk berhenti dari pekerjaan itu. Alasannya? Ara ingin aku dirumah saja dan menemani Bunda. Wow, apa aku sudah telrihat sebagai menantu keluarga Narendra?
Alasan lain adalah dia tidak ingin aku terlalu lelah, karena Bunda pernah memarahi Ara karena membiarkan aku melakukan pekerjaan rumah. Kalau yang ini sedikit berlebihan.
Well, aku pernah memiliki 2 pekerjaan sekaligus, di kedai dan di sebuah rumah makan. Jadi bagiku, mengurus sebuah rumah bukanlah hal yang merepotkan. Apalagi rumah Ara bukanlah tipe rumah yang luas, tidak seperti rumah utama keluarga Narendra yang seluas lapangan bola.
Bukan apa-apa, tapi aku takut nantinya merasa besar kepala karena diperlakukan sangat manis. Aku takut ketika aku sudah merasa nyaman dengan semua perlakuan Ara dan keluarganya, tiba-tiba saja aku harus berpisah.
Jujur saja, siapapun orangnya, akan merasa spesial andai diperlakukan seperti itu.
Dan memang keluarga Narendra memperlakukan Bunda bagaikan ratu. Karena Bunda adalah satu-satunya perempuan yang ada di keluarga itu.
Bayangkan saja, setiap hari kerjaan Bunda hanya mempercantik diri dan berbelanja. Terkadang ketika beliau merasa bosan dengan kedua hal tersebut, Bunda akan mengikuti Ayah kemanapun Ayah pergi. Bahkan mengajar di kelas pun Bunda akan ikut. Bukan karena takut Ayah akan main mata dengan mahasiswa ataupun perempuan liar diluar sana, tapi karena Bunda bosan dan tidak tahu harus melakukan apa.
Satu hal yang unik dalam pernikahan Bunda dan Ayah, keduanya tampak sangat saling percaya. Entah lah, meski keduanya terlihat tidak akur dan cuek satu sama lain, tapi mereka tetap terlihat seperti pasangan yang solid.
"Kuncinya saling percaya dan komunikasi." itu adalah jawaban Bunda ketika aku bertanya tentang apa rahasia diantara keduanya.
Sederhana, tapi sangat susah untuk dilakukan. Apalagi kalau mengingat usia pernikahan mereka sudah hampir 35 tahun. Wow!
Apa aku bisa memiliki pernikahan seperti Bunda?
***
Weekend.
Ara bangun pagi dan langsung jogging. Aku bangun setelah Ara keluar dari rumah. Dan Ara tidak pernah protes aku bangun siang. Benar-benar surga dunia.
Hari ini jadwal Mbak Siti untuk membersihkan rumah. Padahal aku sudah berulang kali mengatakan kepada Ara bahwa aku bisa melakukan pekerjaan rumah. Dengan tegas Ara menolak, karena mata Bunda ada dimana-mana. Rupanya Ara sangat meminimalisir mendapatkan ceramah dari Bunda.
Setelah menyiapkan sarapan dan selesai mencuci baju, Mbak Siti datang dan mulai membereskan rumah. Hanya membersihkan rumah dan menyetrika baju. Mau apa lagi? Sebagian besar sudah aku lakukan.
"Bunda ngajakin liburan akhir bulan ini. Cuma ke Bali sih." disela sarapan, Ara mengucapkan kalimatnya dengan mulut masih berisi sarapan.
"Berapa lama?"
Ara mengangkat bahunya.
Ini adalah liburanku kesekian kalinya bersama keluarga Narendra. Beberapa bulan lalu, Bunda mengajakku ke Bandung selama seminggu penuh. Membuatku harus mengajukan cuti. Tapi karena tidak enak karena terlalu banyak mengambil cuti, pada akhirnya aku mengajukan resign.
You know what? Ara tersenyum penuh kemenangan ketika tahu aku mengajukan resign.
Bunda apalagi. Itu artinya beliau mendapat rekan untuk berfoya-foya.
Aku langsung menghubungi Bunda setelah selesai sarapan. Memastikan kapan waktu keberangkatan dan berapa lama kami akan berada di Bali. Kali ini sedikit lebih lama, karena kami akan berada di Bali selama 3 minggu. Bertepatan dengan Ara yang harus keluar kota selama itu pula.
Lihat, aku hanyalah pegawai kedai yang beruntung.
Berliburan dengan fasilitas mewah padahal aku hanya menumpang.
"Ara, aku punya kekhawatiran." kataku memulai percakapan ketika kami berdua menikmati waktu senggang. Mbak Siti sudah pamit untuk pulang.
Aku mengamati respon Ara. Tidak tampak tanda-tanda dia akan mengatakan sesuatu. Jadi aku melanjutkan perkataanku.
"Aku nggak sekaya kamu, tapi selama aku tinggal disini, aku mendapatkan fasilitas yang kamu miliki. Aku takut, kalau suatu saat kita udahan, aku akan menuntut banyak hal ke kamu."
Ara menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Tatapan tajam yang biasanya dia tampilkan. Antara bingung, heran dan entahlah apa arti dari tatapan itu.
"Kenapa harus udahan?" akhirnya Ara bersuara.
"Mungkin karena kamu udah nemuin perempuan yang tepat untuk jadi pendamping kamu. Ataupun sebaliknya."
Lalu hening.
Apa yang dipikirkan Ara?