Ketika ingin menyiapkan sarapan tadi pagi, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Ada telepon masuk, dari nomor asing. Siapa gerangan yang menelepon pagi-pagu begini?
Singkat cerita sja ya. Yang telepon adalah Clara Narendra, ibu Ara. Beliau ngajakin aku ketemuan sekalian makan siang. Apa ibu Ara mulai curiga?
"Tunggu sebentar ya, Bunda kelarin kerjaan ini dulu." kata Mrs. Narendra. Memangnya aku harus manggil apa?
Tak berselang lama, beliau menutup laptopnya dan mengemasi barang bawaannya. Memasukkan kedalam tas dan mengajakku keluar. Melupakan permintaannya kepada Rosa untuk menyiapkan minum. Jadilah Rosa sia-sia membuatkan minum untukku. Maaf Rosa, bukan salahku.
"Kamu mau makan siang dimana?" tanya Mrs. Narendra lagi.
Ini baru jam 11 siang oke, kenapa sudah membahas makan siang? Dan lagi aku masih kenyang karena menghabiskan separuh pancake yang aku buat tadi. Sendirian. Tapi jelas aku tidak bisa mengatakan hal itu kepada Mrs. Narendra.
"Nggak usah sungkan. Anggap Bunda ini ibu kamu." Mrs. Narendra mengelus lenganku. "Atau gimana kalau kita belanja dulu? Girls day out gitu."
Entah hanya perasaanku saja atau memang itu kenyataan, tampak sekali kalau mata Mrs. Narendra berbinar cemerlang. Seolah ini adalah hal yang ingin dilakukannya dari dulu.
Pada akhirnya aku menurut saja. Mengekor Mrs. Narendra kemana saja. Berbelanja baju, tas, sepatu, aksesoris perempuan, bahkan belanja pakaian dalam. Yang kesemuanya sesuai dengan ukuranku. Apa ini semua buatku?
Ketika sudah merasa hampir pingsan karena kelelahan, Mrs. Narendra memutuskan untuk beristirahat sejenak. Rosa yang entah sejak kapan mengikuti kami, dengan sigap membawa semua barang belanjaan kami dan menghilang begitu saja.
"Kamu nggak nyaman?" pertanyaan itu membuatku terkejut.
Bagaimana tidak, sedari tadi Mrs. Narendra bercerita tentang banyak hal. Tentang keluarganya dan ketiga putranya. Tentang bisnisnya. Tentang kehidupannya secara umum. Tentang apa yang menjadi kesukaannya. All about her life lah pokoknya. Dan tiba-tiba saja beliau menanyakan hal itu? Terus aku harus menjawab apa?
"Maaf, Bunda terlalu excited keluar sama kamu, sampai Bunda nggak mikir kamu nyaman atau nggak jalan sama bunda."
Hei, kenapa perginya perempuan yang penuh percaya diri dan juga cerewet itu?
"Nggak, nggak gitu, Maam." duh, gimana ya ngomongnya?
"Ngomong aja. Biar Bunda bisa memperbaiki diri."
Jujur aku tidak paham apa maksudnya. Kalau masalah memperbaiki diri, mungkin itu seharusnya aku.
"No, Maam, saya cuma kaget aja tiba-tiba anda menelepon dan mengajak saya keluar. Ini terlalu mengejutkan." akhirnya bisa mengatakannya. Fyuh.
"Panggil Bunda aja. Itu lebih akrab kedengarannya." Bunda? Apa itu boleh?
"Iya, Bunda." nyatanya aku menurut. Dasar nggak punya pendirian lo, Ain!
"Bunda seneng waktu Ara kenalin kamu sebagai pacarnya. Pada akhirnya dia memiliki pacar. Ayah sama Bunda sempet takut kalau dia tidak laku atau tidak mau punya pasangan. Jadi kami beberapa kali mengusulkan untuk mengenalkan Ara dengan anak teman kami. Tapi ternyata itu bukan hal yang bagus, malah membuat Ara semakin menjauh. Dia jadi jarang pulang." bunda nampaknya belum mau mengakhiri ceritanya, beliau hanya ingin mengambil napas.
"Kenapa Bunda nggak ke rumah Ara?" tanyaku.
Bener kan ya? Mereka tinggal satu negara, satu provinsi, dan sepertinya juga satu kabupaten. Apa susahnya datang menjenguk anak? Memangnya aku, yang berharap setengah mati mendapat kunjungan dari orangtuaku?
Bunda menggelengkan kepalanya, "Nggak semudah itu. Ara baru 6 bulan kembali ke Indonesia. Dan begitu kembali, dia tidak pulang ke rumah, malah ke rumah dia yang sekarang. Dan Ara nggak ngasih tahu alamatnya ke kita."
Dasar anak durhaka!
Bisa-bisanya Ara membuat orangtuanya merasa seperti itu. Masih untung dia punya orangtua yang masih lengkap dan sayang sama dirinya. Nanti kalau orangtuanya sudah tidak ada, nyesel baru tahu rasa.
"Bunda mau ke rumah Ara? Aku tahu jalan kesana kok." iya, karena aku juga tinggal disana.
Anehnya, Bunda malah tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Itu nggak sopan. Kan Bunda nggak diundang."
"Tapi kan Ara anak Bunda, jadi harusnya nggak masalah dong ibu mengu jungi anaknya?" ucapku. Antara polos,bego atau sok tahu.
"Meski begitu, Ara adalah pria dewasa yang punya kehidupan pribadi. Bunda nggak mau dianggap mengusik hidup orang. Bunda menghargai pilihannya."
Apa itu termasuk pilihan putra Bunda untuk berkencan dengan perempuan random yang dia temui?
"Coba nanti aku ngomong sama Ara." kataku, dengan tidak yakin.
"Nggak usah, biarin aja. Nanti kalau sudah waktunya, dia pasti akan cerita." masih dengan senyum yang sangat cantiknya itu Bunda berkata.
Aku tidak tahu jalan pemikiran Bunda. Kenapa sangat susah hanya untuk menemui anaknya? Toh anak mereka ada didekatnya kan? Kenapa harus ada alasan menghargai privasi dan kehidupan segala? Apa begini pemikiran bule dan orang kaya?
Tapi aku malah memikirkan hal lain, aku mengagumi Bunda. Diusianya yang sudah tidak muda lagi, Bunda masih terlihat cantik dan segar. Bahkan Bunda masih bisa berjalan tegak dan mantap dengan high heels 7 cm-nya itu. Pokoknya Bunda secara fisik sangat sempurna. Apalagi wajah bulenya yang tak bosan untuk dipandangi. Aku seolah merasa melihat Ara dalam wujud perempuan. Ara benar-benar copycat Bunda.
Dan semakin mengenal Bunda, aku merasa bahwa apa yang Bunda lakukan bukan sekedar dipermukaan saja. Tahu kan maksudku?
Bunda tulus memperlakukan aku dengan baik, meski kami beda kasta sosial. Dan Bunda bahkan tidak ragu untuk memberikan sentuhan yang selalu diberika seorang ibu kepada anaknya. Pelukan, ciuman, sentuhan yang memang sudah sangat lama tidak aku rasakan dan dapatkan dari orangtuaku.
Ah, rasanya jadi kangen ibu dan adik laki-lakiku.
***
Ara menjemputku di restoran western yang paling mewah yang ada di kota. Itu bukan restoran yang jadi wishlistku, tapi aku cukuo bangga bisa masuk dan mencicipi makana di restoran itu.
"Sama Bunda?" pertanyaan sambutan dari Ara. Aku menggelengkan kepala.
Ara memang tidak bertemu secara langsung dengan Bunda, karena beliau sudah pergi lebih dulu. Hanya Rosa yang membantuku memasukkan beberapa barang belanjaanku ke dalam mobil Ara yang ditemuinya. Dan pastinya Ara tahu kalau Rosa adalah asisten Bunda.
"Terima kasih." ucapnya lagi, sambil melajukan mobil.
"Untuk?"
"Menemani Bunda."
Aku tidak paham dengan apa yang dimaksudkan oleh Ara. Jadinya aku hanya diam saja.
Sesampainya di rumah, Ara membawakan semua barang belanjaanku dan menaruhnya di kamar. Awalnya tampak biasa saja, lalu wajahnya mulai berubah. Seperti tidak suka.
"Apa masalah, Bos?" tanyaku, setelah selesai mengecek barsng yang dibeli Ara tadi siang.
Ara menggelengkan kepalanya. Tapi aku merasa ada hal yang mengganggu Ara. Terlebih ketika dia memandang kumpulan tas belanja itu. Apa Ara iri karena hanya aku yang dibelikan?
Ah masa sih seorang Arael Narendra bisa cemburu karena hal sepele seperti itu?
"Kita kan pernah bahas ini. Kalau kamu nggak ngomong, aku nggak tahu mau kamu apa. Dan diam nggak akan menyelesaikan masalah." ucapku sok bijak. Memangnya, kapan kamu ngomong itu, Ain?
Terlihat Ara yang ragu, lalu dia membalikkan badan dan mengambil dompetnya. Dikeluarkannya sebuah kartu baik. Menyerahkan kepadaku.
"Besok belanja pake ini aja. Jangan mau dibayarin."
Aku melongo.
Isi serius? Sebuah kartu debit yang baik?
Apa ara tidak takut aku menghabiskan semua uangnya?
"Pinnya sama kaya kode rumah." imbuhnya, ketika aku masih syok dengan apa yang dilakukannya barusan.