Chereads / Aini : Perjuanganku / Chapter 12 - Mencoba Saling Mengenal

Chapter 12 - Mencoba Saling Mengenal

Sebenarnya tubuhku sangat lelah. Aku ingin segera merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Tapi ketika melihat Ara yang tertidur di ranjang itu membuat emosiku kembali meluap. Padahal aku sudah berusaha menenangkan diri dan menekan emosi. Dasarnya si tembok yang menyebalkan itu!

Dan entah apa yang membuat dia terbangun, Ara menghampiriku dan membantu pekerjaanku. Bahkan Ara dengan kakunya mengajakku duduk. Eh tunggu, ajakan atau perintah ya itu tadi?

Apapun sebutannya, nyatanya aku tetap menuruti perkataan Ara untuk duduk.

Kalian tahu apa yang akan dia bahas? Aku sih no.

Dia minta maaf dong ya.

Mengejutkan? Tentu saja.

Kalau dilihat dari bentukannya, Ara sepertinya bukan tipe orang yang mau meminta maaf duluan. Sok tau kamu Ain!

Nyatanya sekarang dia meminta maaf kepadaku. Tapi sepertinya ada hal lain yang dia ingin bicarakan. Terlihat dari gestur tubuhnya yang gelisah dan seolah tidak mau menatap kearahku. Apa aku sehina itu sampai dia tidak sudi untuk menatapku?

Setelah beberapa menit aku bertanya 'apa yang ingin kamu bicarakan?', tidak ada jawaban.

Jadi, Ara ini tipe orang yang harus dipancing dulu gitu ya baru dia mau ngomong?

"Aku nggak ada niatan marah sama kamu. Well, aku memang marah, tapi bukan karena kamu tidak pernah menjawab pertanyaanku dengan perkataan atau respon untukku dan juga soal pindahan. Aku marah karena kamu membaca hal yang seharusnya tidak kamu baca. Kamu tahu kode etik kan?" Ara perlahan menganggukkan kepalanya, jadi aku melanjutkan khotbah, "Tapi makin lama rasanya jadi serasa ngomong sama tembok. Dan seolah hanya aku yang berusaha mengakrabkan diri."

Ara hanya menghela napas.

"Jujur memang lebih baik. Aku nggak masalah dengan drama yang kamu buat dengan orangtua kamu, tapi aku mempermasalahkan kehadiranku dirumah ini. Kalau aku cuma membuat kamu tidak nyaman dirumah kamu sendiri, aku sadar diri untuk keluar. Tapi paling tidak perlakukan aku seperti manusia lainnya."

Ara masih diam. Tidak memberi respon.

Jadi aku masih harus bermonolog?

Oke, pembicaraan selesai. Lebih baik menghabiskan cemilan dan langsung tidur. Peduli setan dengan tubuh yang akan menggendut!

Dan aku melakukannya. Aku segera menghabiskan cemilan dan segera bersiap untuk tidur. Apalagi rasanya mataku sudah berat. Mungkin besok pagi aku akan melewatkan sarapan. Nggak masalah, katena besok aku libur.

Sebelum menutup pintu kamar, aku melirik Ara sebentar. Berharap pemuda itu pada akhirnya mengucapkan suatu kalimat. Nyatanya tidak. Kok kecewa ya?

Menyebalkan.

Sudah satu jam berlalu dan aku masih saja tidak bisa tidur. Hah, maunya apa sih?

Baru saja akan bangun, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Ara masuk. Duduk sebentar ditepian ranjang dan akhimya ikut merebahkan tubuhnya.

Hening. Aku pura-pura tertidur. Kurasakan Ara menggenggap tanganku.

"Maaf, aku membuat segalanya jadi rumit."

Ketika aku ingin berhenti berpura-pura tidur, tampaknya Ara belum selesai dengan ucapannya.

"Aku tidak terbiasa ngobrol. Bahkan dengan keluargaku pun jarang. Jadi rasanya canggung. Aku ingin bisa ngobrol, tapi takut. Karena aku terbiasa sendiri dan berdiam diri."

Lalu Ara menghadap kearahku. Merasakan jarinya yang mengelus kepalaku.

Aku melting ya Tuhan!

"Aku akan berusaha menjawab pertanyaanmu ataupun meresponmu."

Lalu Ara sepertinya tertidur.

Wow, apa itu tadi? Curhat atau pengakuan dosa?

Anyway, terima kasih Arael Narendra, sekarang kantukku lenyap entah kemana!

Ketika napas Ara sudah terdengar teratur, aku mulai menyalakan lampu nakas. Terlihat disana Ara yang tenang dalam tidurnya.

Aku penasara dengan apa yang baru saja Ara ucapkan. Apa dia merasa kesulitan hanya untuk sekedar mengobrol?

Kehidupan macam apa yang dia jalani sehingga dia bisa mengalami hal itu? Apa kedua orangtuanya terlalu menekan Ara untuk menjadi dokter dan membuat dirinya stres?

Aku tahubstiap orang memiliki masalah mereka sendiri. Tapi aku benar-benar tidak menyangka bahwa orang sehebat dan sekaya Ara bisa memiliki beban hidup juga.

Maksudku, lihat Ara. Apa yang tidak dimilikinya? Dia kaya, tampan, pintar, sukses. Tapi kenapa Ara bisa berucap seperti itu?

***

Mata panda.

Aku tidur menjelang subuh, dan terbangun ketika alarm berbunyi tepat pukul 5 pagi. Jadi aku hanya tidur 2 jam ya. Pantas saja kepalaku rasanya pusing. Beruntungnya ini hari liburku.

Menyeduh kopi hitam nan pekat, aku berusaha mengusir kantukku dengan minuman pahit itu. Selain itu, menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah rasanya tepat. Mubgkin aku bisa mengusir Ara keluar rumah untuk beberapa jam kedepan dan aku bisa tidur sebentar.

"Good morning." sapaan itu terdengar.

"Morning."

Tidak biasanya Ara tidak langsung menyerbu mug kesayangannya yang berisi susu coklat panas. Eh tapi, kalau dipikir lagi, kok baru sekarang ya aku penasaran kenapa Ara suka susu coklat panas? Aku pikir dia hanya butuh selingan, atau paling tidak dia sedang ingin hidup sehat dengan meminum susu.

"Hari ini kamu ada acara?" tanyaku. ara menggelengkan kepala. "Hari ini aku mau minta tolong. Beliin beberapa bahan makanan. Bisa?"

Ara menganggukkan kepalanya.

Gezzz. Katanya dia mau berusaha menanggapi perkataanku dengan jawaban. Memang sih dijawab, tapi harusnya dengan kata dong. Suaranya please digunakan. Sayangnya aku tidak bisa mengeluarkan protes itu. Kalau aku mengungkapkannya, itu berarti aku akan ketahuan kalau semalam mendengar apa yang dia katakan.

Setelah sarapan, aku segera menuliskan daftar belanja yang harus dia beli. Cukup banyak. Tidak semuanya aku butuhkan, tapi aku perlu membuat Ara keluar rumah lebih lama dari yang diperlukan. Kalau bisa, Ara tersesat di ousat perbelanjaan dan baru bisa menemukan jalan keluar ketika waktu makan malam tiba.

"Aku nebeng. Mau ketemu sama temen." kataku, ketika Ara sudah bersiap dengan kunci mobil ditangannya.

Tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala.

Terkadang aku suka heran dengan jalan pikiran seorang perempuan. Rencana awal apa, yang dijalani apa. Seperti sekarang ini, hari ini. Aku berencana menyuruh Ara berbelanja agar aku bisa istirahat. Jelas tidak akan nyaman kalau aku tidur dan ada laki-laki di dalam rumah yang berkeliaran.

Ain, ngaca dong. Semenjak disini, lo tidur sama laki-laki tahu. Sadar woy sadar.!

Dan sekarang aku malah ada di dalam mobil Ara, menuju salah satu salon yang paling mewah yang ada di kota ini. Yang kalau kamu mau perawatan saja harus antri dari jauh-jauh hari saking ramenya. Bukan, aku ke salon bukan untuk perawatan, apalagi di salon seberkelas ini.

Aku kesini harus bertemu dengan seseorang. Seseorang yang sangat penting dalam hidup seseorang. Halah, bahasanya belibet banget sih.

"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" sang resepsionis menyapaku. Dari tatapannya, aku bisa melihat kalau dia sedang menilaiku.

Apa itu? Gembel mau perawatan disini? Apa dia mau melamar kerja?

Kira-kira seperti itulah bunyi pemikirannya.

Bukan masalah besar, karena penampilanku memang seperti gembel bila dibandingkan dengan penampilam mereka yang datang ke salon. Bahkan dengan para pegawai pun, penampilan mereka masih lebih baik dari penampilanku. Ya mau bagaimana lagi, aku hanya mengenakan kaos oversized Milik Ara dan juga riped jeans. Sepatu kets yang audah buluk dan juga tas slempang pemberian Arika.

"Hai, aku Aini. Aku ingin bertemu dengan Mrs. Clara." jawabku sesopan mungkin.

"Mohon ditunggu, saya sampaikan kepada beliau." lalu sang resepsionis melakukan panggilan. Tak berselang lama, sang resepsionis mengantarku ke tempat Mrs. Clara.

Aku takjub. Aku udik.

Ketika memasuki ruangan yang di pintu depannya terdapat tulisan "Direktur", aku ternyata memasuki ruangan yang selama ini aku anggap hanya ada di film ataupun drama korea.

Ruang kerja itu didominasi warna coklat kayu yang terkesan hangat. Di belakang meja kerja terdapat dua rak buku tinggi yang mengapit sebuah jendela lebar yang menampilkan pemandangan kota. Dan disana pula terdapat alas duduk yang nyaman dengan beberapa bantal. Disisi kiri meja kerja terdapat sofa besar dan empuk, membuat kantor terlihat semakin mewah. Dan sang empunya ruangan berdiri menyambutku ketika aku memasuki ruangannya.

"Hallo Aini, nice to meet you." sebuah pelukan menyambutku.

"Halo, Maam." jawabku kaku.

"Rosa, jangan lupa minumannya." kata sang empunya ruang kepada orang yang dipanggil Rosa tadi. Dan Rosa hanya mengangguk dan meninggalkan ruangan. "Maaf meminta kamu datang kesini, tapi ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu. Ini soal Arael."