Di rumah Ara ada 2 kamar. Kamar terbesar yang ada di rumah ini sudah menjadi kamar Ara, jadi aku menempati kamar yang lebih kecil. Tidak masalah, karena barangku tidak begitu banyak.
Rencananya, setelah makan siang, aku akan memasukkan barang-barangku ke dalam kamar dan menyusunnya. Karena jujur saja, marah dan kesal karena Ara membaca surat dari rumah sakit tadi benar-benar menguras tenaga.
Bukannya apa-apa, tapi itu adalah rahasia terbesar dalam hidupku. Dan aku mungkin tidak akan pernah membaginya kepada siapapun, kecuali Ibu panti dan juga suamiku kelak.
Selesai memasak, aku tidak bisa menemukan Ara di ruang tengah. Padahal biasanya dia adalah orang yang paling bersemangat kalau sudah mencium bau masakan. Mungkin dia sedang bersemedi dikamarnya. Merenungi kesalahan apa saja yang sudah diperbuatnya.
"Ayo makan siang." kataku, ketika menemukan Ara ternyata ada di dalam kamarnya. Dan aku juga tidak berusaha bermanis-manis ria ketika mengajaknya makan siang.
Iya, ngapain bermanis-manis ria kalau yang diajak bermanis ria nyatanya sangat ketus. Respon Ara ketika aku mengajaknya makan siang hanyalah mengangguk dan berjalan menuju dapur. See, rugi bandar kalau aku bersikap manis. Yang ada malah sakit hati.
Setelah makan siang, aku bersiap untuk memindahkan barang-barangku ke kamar yang masih kosong. Tapi aku tidak menemukan barang-barangku. Apa Ara dengan teganya meninggalkan barangku dimobil? Kalau iya, awas saja, dia harus membayarnya dengan tidak mendapat jatah makan malam.
Turun ke parkiran dan berniat mengambil barangku, aku melupakan hal penting. Kunci mobil. Bagaimana aku bisa mengambil barang di mobil kalau kuncinya saja tidak ada? Memangnya mau didobrak pintu mobilnya?
Kembali naik ke lantai 3, mencari kunci mobil yang biasanya tergeletak disebelah televisi. Tidak ada. Kemana kunci mobilnya?
"Mana kunci mobilnya?" tanyaku ketika Ara berjalan keluar dengan gelas kosongnya.
Hal pertama yang dilakukan Ara adalah melirik ke tempat biasanya dia meletakkan kunci, setelah televisi. Tidak ada. Lalu dia pergi menuju dapur, mungkin pikirnya kunci ada disana. Tidak ada juga.
Masih belum memberikan jawaban dimana letak kunci, Ara lalu berjalan ke kamarnya. Tidak ada hasil juga. Sang kunci belum ketemu.
"Nggak ketemu?" tanyaku sekali lagi.
Ara tidak mengagguk ataupun menggelengkan kepalanya. Bahkan tidak menjawab pertanyaanku. Aku ingin marah, tapi dari raut wajah Ara, aku melihat kalau Ara tampaknya sedang berpikir.
Dan ternyata kunci ada disaku celananya. Gubrak!
Tanpa mengucapkan terima kasih, aku langsung merebut kunci mobil dan turun. Mengambil barang-barang yang sudah teronggok terlalu lama di mobil. Tidak ada!
Hah, dimana baju dan barangku?
Kembali naik ke lantai 3 lagi. "Dimana barang-barangku?"
Ara melihat kearahku sejenak, lalu menjawab, "Di kamar."
Ya Tuhan, beri hamba Range Rover Evoque untukku.
Rasanya emosiku sudah berkumpul diubun-ubun. Dan sudah siap untuk menyembur memuntahkan umpatan. Setelah mengatur napas dan menenangkan diri, aku meletakkan kunci disebelah televisi dan memasuki kamar.
Kosong.
"Kamar yang mana?!" teriakku mulai tak bisa mengendalikan emosi.
Jawaban Ara hanyalah mengedikkan dagunya menunjuk kearah kamarnya. Kamarnya you know!!
"Arrrkkk ngomong ngapa sih? Gue ngomong pake kata dalam bahasa Indonesia, seharusnya lo paham. Kenapa dari tadi cuma diem aja? Lo paham kan sama kata-kata gue??"
Akhirnya, meletus sudah gunung emosiku. Tak sampai disitu, aku juga menghampiri Ara dan melampiaskan kemarahanku dengan memukul pundaknya. Entah dia merasa kesakitan atau tidak, yang penting emosiku tersalurkan. Beruntungnya, Ara tidak menghindar ataupun protes ketika aku memukulnya. Benar-benar puas!!
***
Ara's POV
Aini shift malam. Dan karena masih marah, dia tidak menyiapkan makan malam untukku.
Beruntungnya, Ayah mengajak makan malam berdua. Ayah juga sedang kesepian karena ditinggal Bunda dan Bima keluar kota. Mungkin sedang berbelanja.
Tepat pukul 7 malam, aku sampai di restoran. Ayah ternyata juga baru sampai, karena kami bertemu di lobi restoran.
"Gimana kamu sama Aini?" pertanyaan itu langsung meluncur ketika sang pelayan pergi meninggalkan kami.
"Dia lagi marah." jawabku.
"Karena apa kalau Ayah boleh tahu?"
Kalau kebanyakan orang akan dekat dengan ibu mereka, itu tidak berlaku denganku. Bukan berarti aku tidak dekat juga dengan Bunda, tapi aku lebih nyaman ngobrol dengan Ayah.
Dan tanpa beban, aku menceritakan semuanya kepada Ayah. Tentu saja dengan beberapa filter yang aktif. Ini untuk pertama kalinya aku menyembunyikan beberapa hal dalam hidupku.
Ayah tampak diam dan tenang mendengarkan ceritaku, karena memang begitulah kebiasaan Ayah. Dan Ayah baru akan berkomentar ketika aku selesai bercerita. Mungkin hal itu yang membuat aku nyaman berbagi dengan Ayah.
Ayah tersenyum. "Mungkin Aini sudah mencapai batas kesabarannya. Itu sebabnya dia meluapkan emosinya dengan mengatakan hal itu. Juga memukul kamu."
"Apa itu artinya Aini benci sama aku?" pertanyaan ini terus bergelayutan dipikiranku setelah mendengar luapan emosi Aini tadi.
"Kalau menurut Ayah, nggak. Aini cuma ingin ada komunikasi 2 arah diantara kalian." Ayah menyesap tehnya. "Dalam suatu hubungan, komunikasi itu adalah kuncinya. Dan komunikasi itu 2 arah. Nggak bisa hanya satu saja yang berbicara."
Aku meresapi apa yang dikatakan oleh Ayah. Kalau dipikir lagi, itu memang benar. Selama ini aku memang jarang mengeluarkan kata-kata. Bukan karena aku tidak mau, tapi aku tidak yakin apa kata yang aku ucapkan benar atau tidak. Menyakiti perasaan orang lain atau tidak. Karena aku jarang berkomunikasi dengan orang lain. Aku lebih memilih menyendiri dan menikmati apa yang aku lakukan tanpa perlu diganggu orang lain.
"Apa itu artinya aku harus lebih cerewet lagi?"
"Nggak harus gitu. Tapi cobalah untuk berbicara dengan Aini. Nggak ada salahnya kok berbasa-basi. Toh itu untuk kebaikan kalian juga." dengan bijaknya Ayah memberikan nasihat.
Ayah memang panutanku.
"Tapi mungkin kamu harus menjelaskan keadaan kamu kepada Aini terlebih dahulu. Karena Ayah yakin, untuk memulai suatu percakapan itu memang tidak mudah. Dan saling pengertian itu juga diperlukan dalam suatu hubungan."
Intinya, memang perlu ada yang dirubah dari diriku. Dan untuk memulai sebuah hubungan memang tidak semudah yang kubayangkan. Wajar kan kalau aku lebih memilih untuk melewatkan waktu dalam kesendirian?
Setelah makan malam dan berbincang dengan Ayah, aku kembali ke rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika aku sampai di rumah. Dan Aini belum pulang. Apa aku harus menunggunya dan membicarakan tentang apa yang menjadi kesulitanku selama ini?
Tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat. Karena jelas Aini hanya ingin istirahat setelah kembali dari bekerja.
Ternyata aku tertidur ketika sedang berpikir untuk memulai pembicaraan dengan Aini. Dan suara berisik di dapur membangunkanku. Mengintip dari kamar, aku melihat Aini yang sibuk dengan cucian piring kotor dan juga baju kotor.
Tadi aku sempat berpikir bahwa Aini lelah? Itu ternyata tidak benar. Kalau Aini lelah, tentu dia tidak akan mencuci piring dan baju. Bahkan Aini masih sempat merapikan meja di depan televisi.
"Istirahatlah."
Tubuh mungil Aini terlonjak. Terlihat dia kaget mendengar suaraku.
"Tanggung." jawabnya.
Kulirik jam, sudah jam 2 pagi.
Untuk pertama kalinya tanpa diminta, aku membantu pekerjaan Aini. Mungkin aku kerasukan, sehingga mau membantu Aini. Tapi memang itulah yang aku lakukan. Dan pekerjaan selesai lebih cepat. Tidak hanya mencuci piring, aku bahkan mebantu Aini menjemur baju. yang ternyata sebagian besar adalah bajuku. Memangnya aku ganti baju berapa kali dalam sehari?
"Mau ngobrol apa?" aku terkejut mendengar pertanyaan Aini. Apa gadis itu memiliki indera keenam atau bisa membaca pikiran orang?
"Duduk." itu sebuah ajakan, bukan perintah.
Dengan patuh Aini duduk di sofa. Oh, sebelumnya dia mengambil minuman ringan dan beberapa cemilan. Apa ini akan menjadi sesi 'ngobrol cantik' yang menyenangkan?
"Aku minta maaf." perlu waktu lama bagiku untuk mengucapkan kalimat itu.
Jujur saja, aku mengharapkan reaksi kaget dari Aini, tapi nyatanya gadis itu tetap tenang dan menikmati cemilannya.
Menghela napas dengan kasar, Aini menaruh minuman dan cemilannya. "Aku juga minta maaf karena udah kasar. Yah gimana ya, terkadang kamu nyebelin banget. Apa susah menjawa pertanyaanku?"
Oke Arael, susun kalimat dan ucapkan. Itu tidak sulit.
Faktanya, aku hanya menatap Aini tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Padahal kalimat yang panjang sudah berbaris dimulutku, siap untuk diucapkan.
Payah!