Kata Dokter Arya, aku hanya perlu memikirkan hal-hal positif agar lebih tenang, tapi setiap kali aku berusaha berpikir positif, ada saja hal buruk yang terjadi. Seperti malam ini.
Setelah mengunci kedai, aku berjalan menuju kos Arika seperti sebelum-sebelumnya. Dan jalan menuju kos Arika terlihat sepi. Membuat bulu kudukku berdiri. Uji nyali ini mah ceritanya.
Tapi sekali lagi, Arael datang dan menolongku. Dan dengan baik hatinya Ara mengajakku untuk ke rumah dia.
"Pindah kesini." itu bukan ajakan, tapi sebuah perintah.
Kalau boleh jujur, aku sih mau saja tinggal disini. Secara lebih dekat dengan tempat kerja. Tapi entah kenapa aku merasa sungkan untuk melakukannya.
Ara langsung meninggalkanku di kamarnya. Dengan baiknya Ara memberiku waktu untuk membersihkan tubuh dan berganti pakaian. Sayangnya tidak ada pakaian perempuan di rumah ini, jadi aku kembali mengenakan kaos Ara yang ada di lemari bajunya. Bahkan ara tidak marah ketika aku membuka lemari bajunya dan memakai satu lagi kaosnya.
Lalu aku merebahkan tubuh di tempat tidur Ara yang besar itu. Yang akan memenuhi kamar kos kalau ranjang itu dipindahkan ke kamar kosku.
Aku hampir tertidur ketika pintu terbuka, tapi aku tidak bergerak. Ternyata Ara.
Ya iya lah, Ain, ini kan kamar doski.
Lalu Ara ikut merebahkan tubuhnya disampingku. Hening. Apa Ara sudah tidur?
Ternyata belum, karena nyatanya dia malah membalikkan tubuhnya menghadap kearahku. Meski dalam gelap, aku bisa merasakan tatapannya yang tajam. Lama dia menatap sebelum akhirnya mendekatkan tubuhnya ke arahku.
Ya Tuhan, Ara mau ngapain?
Aku langsung memasang tubuh waspada.
Ternyata Ara hanya mendekatkan tubuhnya dan memelukku. Sangat lembut. Seolah aku adalah barang yang rentan pecah. Meski berusaha untuk relaks, nyatanya aku tidak bisa. Apalagi tubuh Ara yang wangi membuatku tidak bisa fokus. Rasanya ingin menciumi setiap inci tubuh Ara yang wangi itu.
Sadar, Ain, jangan sampai otak mesum kamu menguasai tubuh. Bisa bahaya. Alarm itu berdering dengan nyaringnya diotakku.
Tak sampai 10 menit, napas Ara menjadi teratur. Apa sekarang dia sudah tertidur?
Perlahan aku menolehkan kepala menghadap Ara. Terlihat disana, wajah tenang yang terlihat nyaman dan tentram. Berbeda dengan Ara yang membuka matanya, dimana wajah yang terlihat ketika pria itu membuka mata hanyalah wajah datar tanpa ekspresi.
Ada rasa bangga yang menyusup ke dalam dadaku. Bangga karena aku adalah orang yang paling beruntung di dunia ini, bisa melihat sosok tampan Ara yang terlihat tenang dalam tidurnya. Perlahan, aku mengelus pipi Ara. Ya ampun halusnya kulit wajah Ara, perawatan apa dan dimana dia? Wajahku saja kalah.
Ternyata ada respon. Ara semakin mendekatkan wajahnya ke arahku. Membuat wajahnya dekat dengan wajahku.
Jantung, please behave. Jangan katrok gitu dong detaknya, biasa aja.
Berkali-kali aku mengingatkan jantungku sendiri untuk tidak berdetak berlebihan. Tapi kalau dipikir lagi, itu memang wajar. Siapa yang tidak akan deg-degan ketika wajah mereka sedekat ini dengan pemuda tampan yang selama ini hanya bisa kamu lihat dari kejauahan?
***
Ara's POV
Rasanya aku sangat segar.
Pagi ini rasanya aku seperti memiliki tenaga yang cukup untuk melakukan banyak aktifitas. Apalagi semalam tidurku sangat nyenyak. Tidak ada interupsi saat tidur, juga tidak ada obat tidur yang terkadang membuat dadaku serasa sesak.
Padahal ini weekend.
Ketika melihat Aini masih meringkuk ditempatnya tidur, aku perlahan bangun. Bersiap untuk melakukan aktifitas lari pagi yang beberapa hari ini tidak aku lakukan.
Jam menunjukkan pukul 7 pagi ketika aku kembali. Dan Aini ternyata sudah bangun.
Meja makan sudah penuh dengan sarapan dan segala pelengkapnya.
Sekali lagi, hatiku terasa penuh dengan rasa bahagia. Apa begini rasanya kalau sudah menikah?
Maksudnya, ada yang menyiapkan sarapan untuk kita. Ada yang menemani tidur hingga nyenyak dan melupakan obat tidur.
Well, kata orang-orang yang sudah menikah, kehidupan pernikahan tidak melulu tentang hidup bahagia pernikahan seperti yang aku sebutkan tadi. Tetap akan ada goncangan dalam pernikahan. Jadi memang perlu persiapan mental untuk menikah.
"Nggak ke rumah sakit?" suara Aini menyadarkan lamunanku.
"Weekend." jawabku singkat.
Ketika aku duduk di kursi, dengan cekatan Aini langsung memberiku minum. Air hangat. Jujur saja, perlakuan itu terlihat asing bagiku. Karena aku memang lebih banyak tinggal sendiri. Tapi aku menyukai perlakuan itu.
Setelah sarapan, aku langsung mengistirahatkan badan sebelum mandi.
"Ayo pindahan." ucapku, ketika keluar dari kamar dan mendapati Aini sedang menikmati cemilannya.
Kulihat Aini diam sejenak, seolah memikirkan perkataanku.
Kalau kali ini Aini menanyakan alasan kenapa aku terus mengajaknya pindah kesini, aku akan dengan mantap menjawab 'lebih dekat dengan tempat kerja' lagi. Iya, aku tidak mau Aini pulang malam sendirian lagi. Apalagi jalan yang dia lewati lebih banyak sepinya.
"Oke."
Hampir saja aku menganga membuka mulutku ketika mendengar jawaban Aini. Padahal sejak kemarin aku sudah menyiapkan jawaban kalau-kalau dia akan menanyakan alasanku mengajaknya pindah. Tapi itu sudah tidak berguna lagi.
Kok tiba-tiba aku curiga Aini menyembunyikan sesuatu ya?
Mari manfaatkan waktu. Mumpung Aini menyetujui untuk pindah, aku tidak membuang waktu. Sebelum perempuan mungil itu berubah pikiran.
Lansung saja aku dan Aini menuju kosnya.
Aku pikir kos Aini ada didekat kedai, tapi nyatanya tidak. Jauh, perlu waktu 30 menit untuk sampai ke kosnya. Itu pun kalau tidak macet.
Kamar berukuran 3x3 meter itu terlihat rapi dan khas perempuan. Ketika aku masuk ke kamarnya, beberapa tatapan perempuan yang menghuni kos tampak menyelidik. Seolah aku dan Aini tertangkap basah sedang melakukan kegiatan yang tidak senonoh.
"Tumben balik, Ain?" tanya seseorang yang kamarnya ada disebelah kamar Aini. Karena Aini memang beberapa hari ini lebih banyak tinggal dirumahku.
"Iya, Mbak Vi, mau pindahan." jawab Aini sambil tersenyum.
"Pindah kemana?" lalu pembicaraan dua perempuan itu berlanjut. Melupakan tujuan utama Aini kembali ke kamar kosnya.
Lalu, apa yang aku lakukan? Menyusun buku yang ada di meja. Membuatnya ringkas dan memasukkannya ke dalam kardus yang memang sudah kami bawa tadi.
Ketika sedang merapikan buku, sebuah amplop jatuh. Awalnya aku ingin membiarkan, tapi logo yang ada diamplop itu menarik perhatianku. Logo NAR Hospital. Rumah sakit tempatku mengabdikan diri setahun ini.
Aku tahu kode etik dokter dan pasien. Dan membuka amplop itu aku berarti telah melanggar kode etik itu. Tapi rasa penasaranku lebih besar.
Dalam kertas yang terlipat itu, aku bisa membaca judulnya, 'Laporan Analisis', dengan nama dokter yang memberikan laporan. Dokter Arya Mahesa, dengan nama pasien Nur Aini Tedjo.
Aini? Kenapa dia harus menemui Dokter Arya? Ah, apa ini ada hubungannya ketika kami bertemu di rumah sakit beberapa waktu yang lalu?
"Kamu baca apa?" suara Aini membuatku kaget. Dan ketika Aini melihat apa yang sedang aku baca, dia langsung merebut kertas itu. Meremas kertas itu dan memasukkan asal kedalam tasnya. "Kok nggak sopan banget baca surat orang?" nada suara Aini tidak terdengar ramah.
Great Ara! Sekarang kamu dalam masalah.
"Maaf." kataku, tak berani menatap Aini.
Aini tidak lagi berkomentar. Meski begitu, aku bisa melihat perubahan diraut wajah Aini. Marah.
Oke, acara pindahan yang menyenangkan. Selama hampir 4 jam memindahkan barang-barang Aini, perempuan itu tidak mengucapkan sepatah katapun. Ternyata didiamkan oleh perempuan lebih mengerikan daripada diomeli.
Bahkan dalam perjalanan dari kos Aini menuju rumah pun perempuan itu masih mengunci mulutnya dengan rapat.
"Mau makan siang apa?" tanyaku, memecah keheningan. Dan tampaknya Aini tidak berniat menjawab pertanyaanku.
Oke, mungkin diam adalah cara teraman sekarang, agar suasana canggung ini tidak semakin memburuk.
Begitu sampai di parkiran, Aini langsung naik ke lantai 3. Tidak berniat membawa barang-barangnya ke rumah. Dengan terpaksa aku mengangkut barang-barang itu ke rumah. Beruntungnya, hanya ada 2 kardus sedang buku dan perlengkapan Aini, juga satu koper baju.
Mungkin Aini adalah perempuan tersimpel yang pernah aku temui. Karena meski aku menganggap Bunda adalah perempuan tersimpel yang pernah aku temui, nyatanya Bunda tetap saja ribet ketika bepergian. Apalagi Bunda tidak pernah mau terlihat biasa saja ketika bepergian, berbeda dengan Aini yang tidak malu untuk mengenakan kaos kebesaran milikku.
Ketika memasuki rumah, aku mencium harum masakan. Ternyata, meski sedang ngambek, Aini masih berbaik hati memasak makan siang. Makin sayang kalau perlakuannya semanis ini.